Hikmah Alawiyah
Image default
Kolom Mahya

Tingkat Puasa Orang-Orang Saleh

Bagi sebagian orang, puasa adalah menahan makan, minum, dan kemaluan mulai dari terbit fajar hingga tenggelamnya matahari. Sehingga setelah malam tiba kehidupannya tak ubahnya seperti ketika hari-hari di luar puasa, dengan menuruti nafsu makan dan minum. Seolah semua makanan yang ada di meja makan di kala berbuka ingin dilahap semua. Padahal yang dibutuhkan tak lebih dari satu piring.

Namun, bagi sebagian orang lagi, yaitu orang-orang saleh, puasa tak sekadar menahan makan, minum, dan kemaluan seperti orang-orang kebanyakan. Mereka juga mencegah anggota tubuhnya dari perbuatan dosa. Begitu kata Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin.

Al-Ghazali mengatakan, ada enam perkara kesempurnaan puasa orang-orang saleh selain mencegah memenuhi keinginan perut dan kemaluannya, yaitu :

1. Menjaga Mata
Menghindari pandangan dari hal-hal yang dilarang dan dimakruhkan oleh Allah untuk dilihat. Bahkan dari pandangan yang membuat hati lalai dari mengingat Allah SWT. Artinya menjaga pandangan karena dan hanya untuk Allah SWT, sehingga apa-apa yang dilihat saat puasa selalu membuatnya mengingat kepada Allah SWT dan meninggalkan pandangan yang berlawanan dengan itu.

Sebab pandangan mata merupakan panah beracun milik iblis yang berusaha menjauhkan diri manusia dari Allah SWT seperti dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda, “Pandangan mata adalah panah beracun dari panah-panah iblis. Maka barangsiapa meninggalkan pandangan karena takut kepada Allah, niscaya didatangkan oleh Allah SWT kepadanya keimanan yang terasa lezat di dalam hatinya.” (diriwayatkan al-Hakim dari Huzaifah dan shahih isnadnya)

2. Menjaga Lisan
Menjaga lidah dari perkataan sia-sia, berdusta, mengumpat, berkata keji, berkata memecah belah, permusuhan, riya’. Senantiasa bertafakur serta menggunakan waktu untuk berzikir kepada Allah SWT dan membaca Al-Qur’an. Inilah puasa lisan. Diriwayatkan dari Laits dari Mujahid, “Dua perkara yang merusak puasa: mengumpat dan berbohong.”

Diriwayatkan dalam hadits al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Puasa itu adalah perisai. Karenanya, siapa pun di antara kalian yang berpuasa, maka janganlah berbuat keji dan jahil. Jika ada orang yang menyerangnya atau mencaci dirinya, maka katakanlah, ‘Aku berpuasa, aku berpuasa’.”

3. Menjaga Telinga
Yaitu mencegah pendengaran dari mendengar tiap-tiap hal yang dilarang dan dimakruhkan oleh Allah untuk didengar. Sebab tiap-tiap yang haram diucapkan maka haram pula untuk mendengarkannya. Bahkan berdiam diri mendengar umpatan adalah haram. Maka sebaiknya menghindari dan menjauhkan diri dari mendengar hal-hal yang dilarang Allah SWT. Seperti menjauhi mendengar ghibah atau gosip.

Bahkan, mendengarkan segala sesuatu yang membuat hati lalai dari mengingat Allah SWT juga harus dijauhi. Bila perlu, pendengaran kita isi dengan mendengarkan lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an sehingga dapat lebih mendekatkan diri kita kepada Allah SWT. Diriwayatkan dari Ath-Thabarani dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW bersabda, “Yang mendengar dan yang mengumpat adalah bersekutu dalam dosa.”

4. Mencegah Anggota Tubuh dari Segala Dosa
Mencegah tangan dan kaki dari segala yang makruh serta mencegah perut dari segala harta syubhat, pada waktu berbuka. Menurnut Al-Ghazali tidak ada arti puasa, yaitu mencegah dari makanan halal, namun kemudian berbuka dengan makanan yang haram.

Dia menggambarkan hal itu serupa dengan orang yang membangun istana dan meruntuhkan kota. Dia menambahkan, bahwa makanan halal itu sesungguhnya memberi mudharat dengan banyaknya, bukan disebabkan macamnya. Maka berpuasa itu menyedikitkannya.

Dan juga seperti orang yang meninggalkan memperbanyak obat karena takut kemudharatannya, kata Al-Ghazali, maka apabila ia beralih kepada makanan racun, adalah dungu. Dan yang haram itu adalah racun yang membinasakan agama. Dan yang halal adalah obat, yang bermanfaat sedikitnya dan memberi mudharat banyaknya. Sebab, maksud dari puasa adalah menyedikitkan.

Rasulullah SAW bersabda, “Betapa banyak orang yang berpuasa tapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan haus.” (HR. an-Nasai dan Ibnu Majah)

5. Tidak Berlebihan Saat Berbuka
Terkait ini Al-Ghazali mengatakan, “Tidak ada bejana yang lebih dimurkai Allah SWT daripada perut yang penuh dengan yang halal.” Sebab menurutnya, bagaimana seorang bisa dapat faedah dari puasa dengan memerangi musuh Allah dan menghancurkan hawa nafsu, sementara ketika tiba waktu berbuka malah mengumbarnya. Bahkan pada bulan Ramadhan sering kali seseorang saat berbuka menyiapkan makanan-makanan yang dalam sehari-hari di luar Ramadhan tak dilakukannya. Sampai-sampai pengeluaran untuk makan di bulan Ramadhan lebih besar dari hari-hari biasa karena makanan yang berlebihan.

Padahal, maksud dari puasa adalah mengosongkan perut dan menghancurkan hawa nafsu, untuk menguatkan jiwa kepada ketaqwaan. Lalu bagaimana bisa kita lakukan jika pada siang hari kita hancurkan hawa nafsu, namun pada malamnya kita bangkitkan kembali. Bukankah itu perbuatan yang sia-sia?

Maka jiwa dan rahasia dari puasa adalah melemahkan kekuatan yang menjadi jalan setan untuk mengembalikan kejahatan. Dan yang demikian itu tidak akan berhasil selain dengan menyedikitkan makanan, yaitu memakan makanan yang dimakan tiap-tiap hari saat tidak berpuasa.

Al-Ghazali mengatakan, “Barang siapa menjadikan di antara hati dan dadanya tempat menampung makanan, maka dia terhijab dari-Nya. Dan barang siapa mengosongkan perutnya, maka yang demikian itu belum mencukupi untuk mengangkat hijab, sebelum keinginannya kosong dari selain Allah SWT. Dan pangkal semua itu adalah menyedikitkan makanan.”

6. Penuh Kehati-hatian
Ketika selesai berpuasa dan tiba saat berbuka, muncul kekhawatira bila puasanya tak diterima. Seolah-olah hatinya bergantung dan bergoncang di antara takut dan harap, karena khawatir puasanya tak akan diterima Allah SWT. Sehingga, untuk memikirkan selain Allah SWT saja sudah tidak berani, karena khawatir Allah tak berkenan dengan puasanya. Maka dalam menjalankan puasa ia selalu berhati-hati, baik terhadap segala hal yang makruh, apalagi yang haram. Dengan kehati-hatiannya itu, maka pelaku puasa akan mati-matian menjaga puasanya agar sempurna, bukan cuma hanya sah saja, sehingga puasanya berkualitas.

*Sumber gambar: Aramco Expats