Hikmah Alawiyah
Image default
Uncategorized

Sayyid Usman dan Kontribusinya di Bidang Ilmu Falak

Oleh : Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar

Dalam tradisi penetapan awal bulan Islam, ada dua metode populer yang berkembang yaitu metode rukyat dan metode hisab. Masing-masing dari dua metode ini terus berkembang sesuai perkembangan zaman dan pemahaman, dan selanjutnya masing-masing dari keduanya berkembang dan terbagi kepada banyak prasyarat dan kriteria yang seluruhnya menunjukkan kekhasan khazanah fikih Islam yang dinamis dan fleksibel.

Dalam metode rukyat, salah satu prasyarat yang harus dipenuhi dan atau terpenuhi adalah adanya kesaksian (syahadah) dari seseorang atau sejumlah orang yang melihat hilal di lapangan. Dalam praktiknya, karena cukup dominannya subyektifitas dalam pelaporan keterlihatan hilal, menyebabkan ada banyak dinamika di dalamnya, dan selanjutnya pembahasan dan pengkajian tentangnya terus berkembang.

 

Di Nusantara silam, permasalahan saksi atau kesaksian melihat hilal ini juga pernah dan kerap terjadi. Hal ini antara lain terekam dalam sebuah buku berjudul “Iqāzh an-Niyām fīmā Yata’allaq bi al-Ahillah wa ash-Shiyām” karya seorang ulama Nusantara terkenal bernama Al-Habib Sayyid Usman (w. 1331 H/1913 M). Buku ini secara umum membahas aneka persoalan penentuan awal puasa dan hari raya dari sudut syariat, realita, dan sosial. Buku ini ditulis dalam bahasa Arab, dengan ketebalan 72 halaman, dicetak oleh Percetakan al-Mubarakah Betawi tahun 1321 H.

 

Seperti dijelaskan di bagian mukadimah, buku ini ditulis berdasarkan standar dalam Mazhab Syafii, yaitu berupa pembahasan terkait masuk dan keluarnya bulan Ramadan. Seperti dijelaskan Sayyid Usman, buku ini berisi nukilan-nukilan dari para imam (dalam mazhab Syafii), terdiri dari satu mukadimah, tiga bab, dan satu penutup. Bagian mukadimah berisi 6 pembahasan (tiap-tiap pembahasan disebut dengan “maqshid”). Adapun pembahasan tentang “syahadah” (kesaksian hilal) dan hal-hal yang terkait dengannya berada pada pembahasan (maqshid) yang pertama (hlm 2-7).

 

Di bagian ini Sayyid Usman memulai dengan menjelaskan sebab perbedaan masuk dan keluarnya bulan Ramadan di berbagai wilayah dan negeri (al-mudun, al-amshar, al-aqalim, al-aqthar) yang kerap berulang terjadi setiap tahunnya. Perbedaan (ikhtilaf) itu diantaranya adalah karena perbedaan hasil rukyat dan keterlihatannya di berbagai tempat serta karena perbedaan matlak (hlm. 2).

 

Di bagian ini Sayyid Usman menyoroti secara cukup detail perihal saksi dalam melihat hilal. Menurutnya, masalah ini selalu terjadi berulang-ulang selama bertahun-tahun, diantaranya disebabkan ada dan terjadinya kesaksian yang keliru (asy-syahadah al-muzawwarah) dan serta-merta menerima kesaksian (tasahul man yaqbaluha) tanpa autentifikasi dan verifikasi [hlm. 3]. Memandang begitu pentingnya hal ini, Sayyid Usman menukil pendapat sejumlah ulama yang menekankan pentingnya saksi yang otoritatif serta tidak bolehnya saksi yang tidak amanah, antara lain ia mengutip Syaikh Muhsin bin Hasan al-‘Atthas, lalu Al-Habib Thahir bin Muhammad bin Hasyim, lalu Al-Habib Abdurrahman bin Abdillah Balfaqih dalam karyanya “Qathi’ al-Jidal fi Mas’alah al-Hilal”, dan lain-lain.

 

Selanjutnya Sayyid Usman juga menjelaskan faktor-faktor yang mendorong terjadinya kesaksian keliru tersebut yaitu dengan menukil pendapat Al-‘Allamah Syaikh Abdullah bin Ahmad Basudan, yang mana diantaranya karena ketiadaan marwah dan kualitas agama sang perukyat yang memandang tidak dari sisi agama, melainkan dari sisi manusia (ingin mendapat apresiasi atau perhatian dari manusia). Parahnya, menurut Sayyid Usman, hal ini mendapat apresiasi dari orang-orang yang tidak mengerti (bodoh). Selain itu, para pelanggar rukyat juga menduga, karena kebodohan mereka, dengan membawa dan mengantarkan manusia kepada masuknya awal puasa merupakan sebuah pahala dan memandang itu merupakan sarana mensucikan diri, dan karena itu kesaksiannya dapat diterima di hadapan hakim (hlm. 6).

Sayyid Usman juga menjelaskan fenomena yang berkembang di lapangan ketika itu, yaitu dimana adakalanya seorang saksi yang melihat hilal sejatinya ia melihat cahaya bintang di balik awan, atau melihat sebongkah cahaya merah (Matahari) yang mendorong seorang saksi berilustrasi bahwa itu adalah hilal. Lebih lanjut Sayyid Usman juga menjelaskan adanya fenomena kebohongan pelaku rukyat hilal Syawal (kidzb syuhud ru’yah hilal Syawwal) yang telah terjadi di tahun-tahun sebelumnya.

 

Karena demikian merebaknya kesaksian ilegal kala itu, Sayyid Usman merinci beberapa faktor yang menjadikan orang-orang ketika itu sangat mudah menerima kesaksian hilal, yaitu: pertama, karena fanatisme dan pembangkangan. Kedua, karena takut malu dari celaan orang-orang bodoh dan dungu manakala puasa dan hari raya di negerinya jatuh terlambat satu hari dari wilayah (negeri) lain. Ketiga, karena rendahnya pemahaman agama dan adanya celah Syetan, dan lebih mengedepankan gengsi.  Fenomena semacam ini menurut Sayyid Usman umum terjadi di Jawa (Nusantara) [hlm. 7].

 

Demikian sekilas pandangan Sayyid Usman tentang “syahadah” hilal, dimana dalam sub-sub pembahasan lain dalam “Iqazh an-Niyam fima Yata’allaq bi al-Ahillah wa ash-Shiyam” adakalanya fenomena dan permasalahan kesaksian ini kembali dibahas sesuai konteks pembahasannya. Demikian lagi dalam karya-karya Sayyid Usman lainnya, pembahasan tentang ini juga banyak dibahas. Artikel singkat ini hanya berupa tinjauan singkat dan sekilas, para pengkaji tokoh ulama Nusantara perlu mengkaji dan menggali hal ini lebih jauh lagi, terlebih lagi para pengkaji hisab-rukyat dan kalender Islam. Wallahu a’lam

(Sumber : https://oif.umsu.ac.id/2021/04/syahadah-hilal/)