Hikmah Alawiyah
Image default
Hikmah Kisah Kaum Shalihin

Syafaat Atthas Di Bumi Sapuro

بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله رب العالمين و الصلاة و السلام على سيدنا محمد
الصادق الأمين و على آله و صحبه و التابعين، أما بعد

Berikut ini adalah terjemah dari syair yang saya gubah dengan bahasa Arab sebagai ungkapan hati saya atas Al Qutb Ar Rabbani Tuan kami dan Pemimpin kami Al ‘Allamah Ad Da’i ilallah Al Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al Atthas. Saya menggubah syair ini di saat perjalanan dakwah ke kota Sampang Madura. Kami gubah pada waktu Dzuhur, hari selasa 2 Rajab 1439 H / 20 Maret 2018 S.

“Syafaat Atthas Di Bumi Sapuro”

Wahai para pelantun nyayian merdu untuk kafilah unta menuju sang kekasih yang indah kepang rambutnya. Kalian telah memulai perjalan dan laju kalian sangat cepat, sedangkan jiwaku menjerit. Sesungguhnya aku sedang sakit, namun aku bertekad mengejar kalian, maka jangan haramkan diriku untuk bersama kalian, aku pasti datang. Perpisahanku dengan kekasihku sudah teramat lama. Sungguh harapanku adalah perjumpaan dengan Lubna-ku, dan ini adalah impianku.

Aku akan menceritakan kepadanya apa yang selama ini terpendam dalam jiwaku dari kerinduan dan kecintaan yang agung kepadanya. Dan aku akan bertanya kepada sang kekasih tentang janji setia yang dahulu dinyatakan di antara kami, apakah dia masih tetap setia dan tidak ingkar?. Aku tak peduli ucapan orang-orang yang hasud terhadapku, dan aku tidak akan mendengarkan segala apa yang mereka tuduhkan. Sesungguhnya jika para penghasud mengetahui apa yang terjadi antara aku dan kekasih dan mengetahui apa yang

terpendam dalam hatiku, maka mereka tidak akan murka kepadaku dan tidak akan menghasudku. Wahai para pelantun nyayian merdu untuk kafilah unta, bawa aku bersama kafilah kalian. Tidakkah kalian mengasihani seorang yang sekarat karena cinta hingga kalian membawanya kepada kekasihnya? Membawanya ke tempat para kekasih hati berkemah dan menetap. Ke tempat di mana awan mendung anugerah Tuhan menaunginya.

Wahai sa’ad, parkirkan untaku di sisi kemah Lubna-ku. Di Sapuro, tempat di mana engkau akan menjumpai hujan anugerah turun nan deras. Sehingga bumi Jawa menjadi subur karena air derasnya, tumbuh berbunga, maka Maha Suci Allah Yang telah menurunkan hujan-Nya. Wahai (Al Habib) Ahmad (bin Abdullah bin Thalib) Al Atthas, aku adalah tetamu-mu. Sungguh engkau adalah sebaik-baiknya pemimpin dan sebaik-baiknya rumah penjamu tamu adalah rumahmu.

Wahai (Al Habib) Ahmad (bin Abdullah bin Thalib) Al Atthas, aku datang kepadamu. Sekalipun di luar sana banyak orang yang hebat dan mulia, namun aku tidak akan pernah berpaling darimu. Di tamanmu segala impianku aku raih dengan sempurna. Dan dengan berkatmu aku mendapatkan bagian terbesar dan teragung dari anugerah. Sungguh aku telah datang kepadamu dengan harapan yang jelas dan nampak. Oleh karena itu berikan keinginanku dan aku tidak perlu menjelaskan lebih banyak.

Dusun Bani ‘Aamir telah kosong dan redup karena wafat para Masyayikh yang telah pergi berlalu ke puncak yang tinggi. Tidak tersisa kebaikan pada dusun kami dan pada penduduknya. Dusun-dusun kekasih pondasinya telah usang dan hancur. Penduduk zamanku adalah generasi buruk dan ghoflah. Mereka sibuk dalam kemaksiatan dengan penuh semangat. Mereka melihat dan mengira bahwa kesibukan mengejar dunia adalah jalan yang dahulu ditempuh oleh manusiamanusia suci para ‘Arifin yang mulia.

Mereka habiskan malam-malam mereka dalam ghibah, cacian, fitnah, membahas dan tenggelam dalam dunia dan terus meributkannya. Mereka mengubah Al Qur’an saat fajar dengan kelalaian dan kesesatan. Nampak kesesatan itu pada diri mereka. Mereka tidak lagi mengenal arti kata As Sidq (kesungguhan), kebijkasanaan, ketaatan. Dan kemaksiatan mereka wahai sahabatku semakin menggila. Hati mereka penuh dengan dengki, kebencian, angkara murka dan kotoran. Dan di dalamnya penuh dengan kehinaan.

Hari-hari mereka adalah hari-hari balas dendam dan hasud. Demi Tuhan, wahai kekasihku, apa lagi yang dapat aku harapkan dari mereka? Padahal para leluhur dan pendahulu sebelum mereka, langkah mereka menuju puncak yang tinggi terus bergerak tiada henti. Malam-malam mereka penuh dengan air mata dan kesungguhan. Ruku’ , sujud, mendekat kepada Tuhan dan terus menerus menghamba. Dalam kajian Al Qur’an, dzikir mengingat Tuhan, air mata mereka bak hujan yang turun dengan derasnya.

Dalam ilmu dan amal telah menjadi indah hidup mereka. Dan ketulusan dalam niat telah menghiasi jiwa mereka. Hadits-hadits Sang Nabi Al Mushthafa telah membuat mereka menjadi tinggi mulia. Dan akhlaq Taahaa telah membuat orang-orang mulia menjadi berwibawa. Ihya’ Ulum Ad Diin karya Al Ghazzali adalah jalan hidup mereka. Tatkala engkau memandang mereka, engkau akan melihat cahaya sujud berkilau di wajah mereka. Mereka tidak pernah mengenal cacian, makian, ghibah. Ucapan mereka terhadap orang bodoh yang berbuat bodoh adalah “Salaam” dan kedamaian.

Mereka menjalankan tugas mereka dalam memberi nasehat dan bimbingan dengan penuh hikmah, bijaksana dan hati yang penuh kasih sayang kepada umat manusia. Dan inilah perilaku mereka. Mereka tidak pernah menyimpan dalam hati mereka kedengkian, kebencian, dendam kepada makhluk sama sekali. Dan inilah akhlaq mereka. Mereka adalah orang-orang yang bersaudara satu sama lain dengan persadaraan sejati, dalam kasih sayang, taqwa, kesucian jiwa. Sungguh mereka adalah orang-orang suci dan mulia.

Mata pasti meneteskan air matanya tatkala memandang sosok mereka. Kerinduan dan cinta akan merasuki hati saat mata menatap mereka. Mereka adalah leluhur dan salaf-ku. Bawakan untukku semacam mereka wahai orang-orang yang hasud. Sungguh para pendengki akan murka dan marah tatkala menyerah dan tidak mampu menandingi mereka. Wahai anak-anakku, wahai Bani Alawi. Kembalilah kepada Tuhan kalian. Bangunlah, bangunlah. Ini adalah tidur yang berkepanjangan.

Bersemangatlah dalam berjalan malam, karena puncak yang tinggi sulit dicapai. Dan tidak mampu mencapai puncak agung kecuali sosok agung yang tekun. Sampai kapan kalian lelap dalam tidur dan ghoflah? Dalam hiburan dan kebohongan? Sungguh demi hidupku, itu adalah kehinaan. Alangkah sedihnya diriku mengingat kehidupan para kekasih yang telah berlalu dalam ilmu dan amal serta kebaikan yang mengalir.

Semoga Allah memelihara hari-hari yang telah berlalu di dusun Lubna. Di sana kami mengenal saudara-saudara yang tulus yang kami banggakan. Alangkah sedih hatiku menangisi perkemahan itu dan penduduknya. Sungguh di sana adalah malam-malam indah yang berlalu yang kenangan manisnya terus terngiang. Aku akan terus menangisinya dengan air mataku sepanjang hidupku dan sepanjang hati ini terus di rasuki kerinduan dan jeritan.

Wahai (Al Habib) Ahmad (bin Abdullah bin Thalib) Al Atthas, aku telah ceritakan kepadamu perkara yang mencengangkan yang telah menimpa dusun kami dan dusun Bani ‘Aamir. Bangkitlah wahai singa, selamatkan keturunan mulia Nabi dari kehinaan dan dari fitnah yang merusak dan mewabah serta bermacam-macam. Mohonlah kepada Tuhan Yang Maha Dermawan agar memperbaiki keadaan Bani Alawi. Wahai tuanku, keadaan kami sangat memalukan. Halaman 29 dari 34 Setiap hari kubangan lumpur kami semakin busuk. Kapankan matahari akan terbit di atas kami sehingga kami dapat memulai harapan baru? Aku berdiri di hadapan pintu kedermawananmu dengan berharap kepadamu. Cukup bagiku engkau wahai kekasih sebagai perantaraku kepada Tuhanku. Aku punya banyak mimpi dan harapan kepadamu yang aku berharap agar terwujudkan. Dan dari pintumu, sungguh aku tidak akan pernah berpaling. Air mataku membasahi pipiku, tidakkah engkau sudi mengusapnya? Dengan telapak muliamu, sungguh air mata makin deras mengalir.

Aku berharap, dan perasangkaku baik dan besar kepada tuanku. Di bawah pintunya aku berdoa, memohon dan meminta. Hidayat bagi Bani Alawi, adalah puncak impianku. Berikanlah kepadaku permintaanku. Anugerahmu sangat agung. Rombongan, para peziarah datang ke Sapuro dengan berharap Syafaat Al Atthas. Dan itulah tumpuan utama. Dan yang kami kenal darimu selama ini adalah tangan membentang. Memuliakan yatim, menjamu tamu dan menyampaikan harapan.

Dan kami berharap apa yang dahulu engkau harapkan dari karunia agung Tuhan. Wahai hujanku, pelindungku dan tempat aku bertumpu. Wahai Ka’bah yang dituju, wahai keanggunan dunia ini, kasihanilah kehinaanku ini karena sesungguhnya aku terbelenggu. Aku datang dengan hina sebagai tamu yang berharap di pintumu. Sungguh di pintumu segala harapan dan impian terpenuhi. Tidak pantas bagi seorang yang mulia, penjamu tamu yang agung, sedangkan tetamunya pulang tanpa dimanja?

Shalawat dan salamku semoga tercurah atas Pemimpin manusia, Nabi pembawa hidayat, yang senantiasa kami harapkan. Dan semoga tercurah atas keluarga dan para sahabat sepanjang Ahmad titisan Bani Jindan menempuh perjalan malam bersama kafilah. Dan sepanjang burung-burung bernyanyi rindu dengan bait syair kami yang berbunyi “Di Sapuro, tempat di mana engkau akan menjumpai hujan anugerah turun nan deras”.

Wahai (Al Habib) Ahmad (bin Abdullah bin Thalib) Al Atthas, aku mohon terimalah persembahanku ini, pujianku dan kerinduanku untukmu, wahai kekasih hati, terimalah.

Syair gubahan: Asy Syariif Ahmad bin Novel bin Salim bin Jindan ibn Asy Syaikh Abi Bakar bin Salim. Saya menggubah syair ini di saat perjalanan dakwah ke kota Sampang Madura. Kami gubah pada waktu Dzuhur, hari selasa 2 Rajab 1439 H / 20 Maret 2018 S.