Hikmah Alawiyah
Image default
Hikmah Manaqib

Habib Muhammad bin Ali Al-Habsyi, Probolinggo

Habib Muhammad bin Ali Al-Habsyi lahir di Desa Wonosari, Surabaya pada 20 Februari 1945. Ayahnya adalah Habib Ali Al-Habsyi, seseorang yang dikenal keras dalam memegang prinsip. Di Surabaya beliau berdagang, mengajarkan agama dan pencak silat kepada masyarakat.

Sejak kecil Habib Muhammad gemar membaca, giat mengkaji pelajaran-pelajaran dan ringan membantu orang yang lemah. Saat berusia 7 tahun beliau masuk ke Sekolah Rakyat Menteng Mereng I, Surabaya. Kemudian melanjutkan ke SMP Santo Carolus di Kepanjen, Surabaya. Sekolah Katolik diambil pada saat itu karena lembaga pendidikan yang dikelola kalangan Islam masih langka pada masa itu.

Lulus dari SMP Santo Carolus, beliau melanjutkan ke SMA Astra di Tegalsari, Surabaya dan lulus pada 1964. Tak berhenti sampai di SMA, Habib Muhammad kemudian melanjutkan ke perguruan tinggi dan diterima di Institut Teknologi Bandung (ITB). Sayang, hanya 8 bulan beliau menempuh pendidikan di universitas, akibat peristiwa G30S, ayahnya menyuruhnya pulang ke Surabaya.

Kembali dari Kota Kembang, dorongan Habib Muhammad untuk mendalami ilmu agama semakin kuat. Beliau kemudian belajar kepada Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih, pengasuh Pesantren Darul Hadits, Malang Jawa Timur. Kemudian beliau melanjutkan belajar kepada Habib Muhammad bin Husein Ba’abud, di Pesantren Darul Nasyi’ien. Lawang, Jawa Timur.

Tak cukup hanya di situ, Habib Muhammad kemudian terbang ke Tanah Suci dan berguru kepada Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki. Selama beberapa tahun, beliau menimba ilmu kepada ulama besar dan masyhur tersebut. Beliau termasuk generasi awal santri Al-Maliki.

Selain menimba ilmu dengan intensif, beliau juga kerap mengunjungi ulama sepuh untuk meminta doa dan ijazah serta bertabaruk pada keberkahan ilmu mereka. Setelah sekian lama malang melintang menuntut ilmu, atas desakan ayahnya, Habib Muhammad kemudian menikah.

Setelah menikah, atas petunjuk ayah dan gurunya, Habib Muhammad kemudian berdagang di sebuah kota bernama Probolinggo, kota yang terletak di timur kota Surabaya. Kota itu dijuluki Bayuangga, yaitu singkatan dari Bayu (angin) dan Angga (anggur dan mangga). Ini karena kota itu dikenal dengan anginnya yang kuat serta buah anggur dan mangganya.

Pertama kali menginjakkan kaki di kota Probolinggo, Habib Muhammad menetap di Desa Ketapang. Beliau mulai berdakwah, yang benar-benar dari nol sebab beliau tak memiliki banyak teman dan kenalan di kota itu. Namun beliau seorang yang kuat hati dan istiqamah.

Aktivitas dakwahnya dimulai dari membangun mushalla di samping rumahnya, membuka pengajian Al-Qur’an dan majelis-majelis ilmu bagi masyarakat setempat dengan membaca kitab panduan ibadah sehari-hari. Sementara pada malam Ahad, beliau membuka pengajian umum bagi para orangtua.

Gaya hidupnya yang sederhana, penuh keikhlasan, rela menolong orang lain meski dirinya sendiri membutuhkan membuat masyarakat semakin mendekat kepada dirinya. Sehingga tak membutuhkan waktu lama bagi dakwahnya untuk diikuti oleh jamaah yang cukup banyak. Sebagian dari mereka bahkan datang dari luar kota Probolinggo.

Di luar aktivitas dakwahnya, beliau juga banyak membantu kesulitan orang-orang, seperti menolong orang yang sedang sakit dengan pengobatan alternatif, mendoakan dan sebagainya. Beliau juga gemar bersilaturahmi. Hampir setiap hari beliau pergi keluar mengunjungi orang-orang mekipun tak ada acara. Beliau mengunjungi siapa pun tak pandang bulu baik orang besar atau kecil, kaya ataupun miskin.

Selain itu beliau juga membantu biaya pendidikan bagi anak yang kurang mampu, terutama mereka yang yatim. Bahkan jika diperkenankan oleh keluarganya, anak-anak yatim itu akan diboyongnya ke rumahnya untuk dididik dan dibesarkan. Bahkan semua kebutuhan hidup anak yatim itu beliau tanggung semua. Kecintaan beliau kepada anak yatim memang luar biasa bahkan bisa dikatakan melebihi orang tua mereka sendiri.

Tak hanya mengadakan pengajian di kediamannya, beliau juga berdakwah ke desa-desa sekitar sambil berdagang. Lambat laun orang-orang mulai mengenal keluhuran budi dan ketinggian ilmu yang dimilikinya. Kemuliannya itu karena beliau menonjolkan akhlaqnya.

Kemuliaan akhlaqnya tampak jelas dari kesederhanaannya. Beliau rela datang ke setiap undangan masyarakat meskipun tempatnya cukup jauh. Bahkan ke tempat yang sulit dilalui dengan kendaraan, beliau tetap bersedia datang, meski harus naik becak atau dokar, ataupun dengan berjalan kaki.

Suatu ketika, Habib Hasan bin Ismail Al-Muhdhar, pengasuh pesantren Az-Zahir, Widoro, Probolinggo bercerita dirinya mendapat undangan ke sebuah lokasi di pedalaman. Ketika baru setengah perjalanan, beliau bilang, jalanan mulai menyempit dan mobil tak bisa masuk. Selanjutnya perjalanan diteruskan dengan sepeda motor.

Tak lama kemudian perjalanan terpaksa harus berhenti lagi. Sebab jalan setapak yang begitu terjal tak mampu dilewati oleh sepeda motor. Berikutnya perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki. Begitu sampai tempat yang dituju, segera disambut shahibul bait yang kemudian mengatakan, “Alhamdulillah akhirnya antum sampai juga ke sini. Sebelumnya, Habib Muhammad juga sering sampai ke sini.”

Habib Hasan terkejut mendengar itu. Sebab karena medan yang begitu sulit dijangkau, dirinya sempat merasa bahwa dirinya adalah habaib pertama yang menjangkau tempat itu. Ternyata Habib Muhammad sudah sering sampai ke tempat itu, bukan hanya pernah.

Pada 1976-an, Habib Muhammad kemudian mendirikan pondok pesantren bernama Riyadhush Sholihin. Dalam waktu relatif singkat jumlah santri di pondok pesantren itu mencapai ribuan. Ini tentu buah dari ketekunan dan kesabaran Habib Muhammad dalam membina umat di sekelilingnya.

Dalam berdakwah Habib Muhammad cenderung memberi contoh daripada mengajari. Misalnya dalam hal shalat berjamaah, disiplin dalam belajar, lebih dulu dalam mengucapkan salam, sayang kepada yang muda dan hormat kepada yang tua, berperilaku Islami dan kecintaannya kepada keluarga.

Dengan berbekal akhlaq yang mulia itu akhirnya dalam waktu singkat, kehadiran beliau dapat memikat masyarakat di Probolinggo.

Pada Ahad, 20 Februari 2005 M/12 Muharram 1426 H, Habib Muhammad wafat. Kewafatannya terjadi beberapa bulan setelah wafat gurunya, Sayyid Muhammad Al-Maliki. Beliau meninggalkan seorang istri, Syarifah Laily Assegaf dari Bangil, Pasuruan dan dua putra, yaitu Habib Ali dan Habib Hadi.

*Sumber : Majalah Alkisah No. 10/17-30 Mei 2010, Rubrik “Manaqib”.