Hikmah Alawiyah
Image default
Hikmah Manaqib

Humanisme dalam Islam

Kedamaian dan kerukunan merupakan dua kondisi yang diinginkan suatu negara. Sebab kondisi-kondisi itu membawa dampak positif bagi perkembangan ekonomi dan sosial. Kita melihat negara-negara di kawasan Jazirah Arab telah luluh lantah akibat peperangan dan perebutan kekuasaan. Keadaan tersebut berimplikasi pada rakyat sipil di antaranya kelaparan, kemiskinan, kegelisahan, dan ketakutan yang mendera. Hal tersebut terjadi karena kurangnya perhatian dan pemahaman terhadap humanisme.

Humanisme berasal dari bahasa Latin humanus dan mempunyai akar kata homo yang berarti manusia. Humanus berarti sifat manusiawi atau sesuai dengan kodrat manusia. Humanisme diartikan sebagai paham yang menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia (Zainal Abidin: 2011:41). Dengan kata lain, humanisme, berkaitan dengan saling menghargai, saling menghormati, dan saling membantu antar sesama manusia. Namun untuk menciptakan humanisme perlu mengesampingkan ego dan hawa nafsu.

Rasulullah merupakan sosok yang humanis. Karena beliau menafikan rasisme dan fasisme. Seperti kisah, Abu Dzar r.a, seorang berbangsa Arab dari suku Ghiffar, pernah berselisih paham dengan Bilal al-Habasyi, budak hitam (Negro) yang dimerdekakan oleh Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a, dan menjadi majikannya. Abu Dzar dan Bilal adalah dua sahabat beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Perselisihan itu berkembang sedemikian rupa hingga Abu Dzar marah sekali dan berkata kepada Bilal, “Hai anak Si Hitam!

Kemudian Bilal mengadukan ucapan Abu Dzar itu kepada Nabi SAW. Maka beliau menegur Abu Dzar. Beliau berkata kepada Abu Dzar, “Apakah engkau mengejeknya dengan kehitaman ibunya? Sungguh engkau masih memiliki sifat jahiliyah.”

Abu Dzar r.a yang mengira sifat jahiliyah sebagai penyimpangan akhlak dan syahwat yang hanya diperbuat oleh anak-anak muda, bertanya, “Apakah saat aku tua begini masih bersikap Jahiliyah, Wahai Rasulullah?”

Rasulullah SAW. kemudian menjawab, “Ya, mereka adalah saudara-saudaramu.” Mendengar itu Abu Dzar menyesal dan bertobat sampai ia menyuruh Bilal untuk menginjak mukanya karena berlebihan dalam penyesalannya (H.R Al-Bukhari, Muslim, dan imam-imam hadis lainnya).

Kisah tersebut mencerminkan bahwa Rasulullah merupakan sosok bijak dalam memberikan solusi dalam hal kemanusiaan. Kemanusiaan berkaitan dengan hak asasi manusia, dimana manusia mempunyai hak yang sama dalam hidup. Hidup tanpa relasi kemanusian membuat kedamaian dan ketentraman tidak akan menjadi kenyataan. Malahan sesama manusia akan menjadi homo homini lupus.

Pada suatu hari, ‘Adi bin Hatim, sebelum ia masuk Islam, datang ke Madinah dan menghadiri majelisnya Rasulullah SAW. Saat itu Rasulullah SAW dikelilingi oleh para sahabat yang baru saja pulang dari sebuah peperangan dan mereka masih menggunakan baju besi. ‘Adi bergetar melihat penghormatan dan pengagunggan para sahabat Nabi kepada nabi mereka. Tiba-tiba datang kepada Nabi Muhammad SAW. seorang wanita miskin dari kalangan hamba sahaya Madinah. Wanita itu berkata kepada Nabi SAW., “Wahai Rasulullah, aku ingin menceritakan suatu rahasia kepada engkau.”

Kemudian beliau bangkit bersama wanita itu dan berdiri lama sekali mendengar ceritanya. Setelah itu, beliau kembali ke majelis. Ketika ‘Adi melihat pemandangan itu, ia merasa kagum kepada kecenderungan kemanusiaan yang dimiliki Rasulullah SAW. sehingga ia pun masuk Islam.

Bijaknya Nabi Muhammad diikuti oleh para sahabat, yang merupakan pengikut setianya. Ketika Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. menjadi khalifah, ia tergolong pemimpin yang rendah hati. Hati dan jiwanya selalu dipenuhi oleh kemanusiaan. Jika ia datang kepada anak-anak perempuan yang kehilangan bapaknya dalam peperangan, ia membantu memerahkan susu kambing mereka, “Aku berharap kekhalifahan tidak mengubah diriku dari perilaku yang biasa kumiliki sebelumnya.”

Kisah di atas mendeskripsikan bahwa pemimpin yang ideal harus mengetahui keadaan rakyatnya. Jika pemimpin acuh terhadap nasib rakyatnya maka ia tidak mempunyai rasa simpati, dan rasa simpati itu merupakan bagian dari sisi kemanusiaan. Perilaku yang sama dilanjutkan oleh Sayyidina Umar bin Khaththab. Suatu ketika saat berada di pasar, Sayyidina Umar bin Khaththab r.a melihat seorang tua renta yang meminta sedekah. Umar bertanya kepadanya, “Siapakah engkau ini, wahai orang tua?”

Orang itu menjawab, “Saya hanyalah seorang tua renta yang meminta jizyah (upeti) dan nafkah.”

Ia adalah seorang Yahudi penduduk Madinah.

Sayyidina Umar yang manusiawi dan mulia berkata kepadanya, “Kami tidak adil kepadamu, wahai orang tua. Kami ambil jizyah darimu ketika engkau masih muda dan kami sia siakan engkau ketika sudah tua.”

Umar, sang Khalifah menuntun orang tua itu ke rumahnya, kemudian ia memberinya makan. Setelah itu Umar mengirim surat kepada penjaga Baitul Mal. Kata beliau, “Tetapkanlah untuk orang ini dan orang-orang lain seperti dia tunjangan yang mencukupinya dan mencukupi keluarganya.”

Kisah-kisah inpiratif di atas berkaitan dengan moral, karena moral berkaitan dengan cara bertindak terhadap orang lain. Kita tidak akan mempertimbangkan ukuran sampai ke mana moral itu dihormati dan dilakukan sekarang (Marcel A Boisard: 1980:70). Akan tetapi moral merupakan implementasi dari manusia yang religius. Manusia yang membantu manusia lainnya tanpa melihat agamanya apa, sukunya apa, dan rasnya apa.