Hikmah Alawiyah
Image default
Hikmah Manaqib

Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi, Dari Keturunan dan Lingkungan Pilihan

Dari pihak ayah, Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi adalah keturunan Habib Ahmad bin Zain Al-Habsyi, seorang tokoh ulama terkenal, murid terkemuka Habib Abdullah Al-Haddad. Sedangkan ibunya adalah putri Syaikh Salim bin Sumair, pengarang kitab Safinatun-Naja, yang sangat populer di Indonesia.  

Jika melihat sejarah kehidupan para tokoh ulama di Indonesia, di Hadhramaut, dan di mana saja di dunia ini, kita dapat menyimpulkan, tokoh-tokoh ulama yang pernah dikenal orang, kebanyakan adalah juga keturunan ulama, atau, jika tidak, mereka berada di lingkungan ulama. Jarang sekali ditemukan tokoh ulama yang bukan keturunan ulama dan jauh dari lingkungan ulama. Kenyataan ini menjadi bukti pentingnya keturunan dan lingkungan dalam kehidupan seseorang.

Para pakar psikologi pun sejak lama mengkaji pentingnya kedua hal tersebut. Meskipun pada awalnya terjadi perdebatan panjang tentang mana yang lebih berpengaruh terhadap perkembangan kehidupan seseorang, apakah keturunan ataukah lingkungan. Pada akhirnya, kebanyakan ahli sepakat bahwa keduanya sama-sama memberikan pengaruh yang penting. Hanya saja, pada aspek-aspek tertentu pengaruh keturunan lebih kuat, dan pada aspek lainnya keturunan lebih memberikan pengaruh yang nyata.

Di antara tokoh ulama di Indonesia yang berasal dari kalangan habaib dan memiliki kedua hal tersebut, artinya keturunan ulama dan juga berada di lingkungan ulama, adalah Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi. Memang, di Indonesia dan di negeri-negeri muslim lainnya cukup banyak ulama yang demikian. Di samping itu ada hal-hal lain yang menarik pada tokoh ini, sehingga kehidupannya penting untuk diketahui, dijadikan sebagai renungan, dan kemudian diteladani.

Salah satunya, ia banyak mempelopori berbagai kegiatan bersifat dakwah yang sebelumnya tidak ada atau belum banyak dilakukan orang. Ia pun memunculkan banyak tokoh lain melalui berbagai interaksi dengannya, baik pengakuan maupun semacam pelatihan.

Cahaya Ilmu dan Kewalian

Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi, atau lebih lengkapnya Habib Muhammad bin Idrus bin Muhammad bin Ahmad bin Ja`far bin Ahmad bin Zain Al-Habsyi, lahir di kota Hauthah (Khala` Rasyid), Hadhramaut, pada 20 Syawwal tahun 1265 H.

Sebelum ia lahir, ayahnya, Al-Imam Al-`Arif Billah Al-Habib Idrus bin Muhammad Al-Habsyi, telah pergi ke Indonesia untuk berdakwah. Habib Muhammad tak sempat mengenal ayahnya, bahkan tak pernah melihatnya, karena ketika sang ayah wafat, di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, ia belum lahir.

Ayahnya adalah keturunan Habib Ahmad bin Zain bin Alwi bin Ahmad (1069-1145 H), seorang imam dalam berbagai ilmu, baik aqli maupun naqli. Ia memiliki banyak karya, di antaranya Syarh al-`Aniyyah, sebuah kitab yang berisikan riwayat hidup para ulama yang nama-namanya disebutkan dalam kitab `Ainiyyah, karangan salah seorang guru utamanya, Imam Abdullah Al-Haddad. Habib Ahmad bin Zain memang salah seorang murid terpenting Habib Abdullah Al-Haddad. Kepadanya ia membaca tak kurang dari 70 kitab.

Guru-gurunya yang lain adalah Habib Abdullah bin Ahmad bin Abdullah Bilfaqih, Syaikh Muhammad bin Abdullah Bajamal, Syaikh Ahmad bin Abdullah Basyarahil. Sedangkan di antara temannya sesama ulama adalah Syaikh Abdullah bin Utsman Al-`Amudi.

Ibunya, Syaikhah Salamah, adalah putri Syaikh Salim bin Abdullah Bin Sumair, seorang ulama terkenal di masanya, pengarang kitab Safinatun Naja, sebuah kitab matan dalam ilmu fiqih yang sangat terkenal yang hingga kini masih dipelajari di berbagai tempat di Indonesia. Kitab ini pun diberi syarah oleh para ulama. Di antara syarahnya yang peling terkenal adalah kitab Kasyifatus Saja, oleh Syaikh Nawawi Al-Bantani.

Status sebagai yatim tidak berpengaruh terhadap diri Habib Muhammad, karena ibunya dengan penuh kesabaran mendidiknya dan tidak menikah lagi. Ditambah lagi asuhan dan perhatian dari para pamannya, terutama Habib Sholeh bin Muhammad Al-Habsyi, yang menjadi munshib Al-Habsyi di negerinya. Ia dibesarkan dalam didikan pamannya ini sehingga mengikuti jalan dan perilakunya.

Sebelum genap berusia tujuh tahun ia telah mulai mempelajari Al-Quran kepada Muallim Ali Syuwai` pada tempat pengajian umum di Hauthah. Kemudian ia mengkhatamkannya pada Syaikh Ahmad Al-Baiti, munsyid di kubah datuknya, Sayyidina Ahmad bin Zain Al-Habsyi.

Dalam perjalanan menuntut ilmunya, Habib Muhammad begitu bersungguh-sungguh, baik ketika masih di Hauthah maupun di berbagai tempat lain di Hadhramaut. Al-Ghorfah, Sewun, Tarim, Syibam, dan Du`an adalah sebagian di antara kota-kota yang didatanginya.

Selain mempelajari Al-Quran, sejak kecil Habib Muhammad juga belajar ilmu fiqih, hadits, tafsir, tasawuf, nahwu, sharaf, dan sebagainya. Di dalam Qurrah al-`Ain disebutkan, di antara kitab-kitab yang dibacanya pada pamannya, Habib Sholeh, dan pamannya yang lain, Habib Abdullah, adalah kitab ar-Risalah al-Jami`ah, karya datuknya, Habib Ahmad bin Zain, Bidayah al-Hidayah dan Umdah as-Salik (dalam fiqih), Al-Jurumiyyah dan Al-Mutammimah (dalam nahwu). Kepada gurunya, Habib Abdullah bin Thaha Al-Haddar Al-Haddad, ia membaca kitab Fathul-Mu`in, rujukan sangat penting dalam fiqih Syafi`i.

Guru-gurunya yang lain dalam fiqih dan tasawuf adalah Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi, Habib Idrus bin Abdul Qadir bin Muhammad Al-Habsyi, Habib Muhsin bin Alwi Asseggaf, Habib Hasan bin Husain bin Ahmad Al-Haddad, dan lain-lain. Di antara semua gurunya, yang menjadi syaikh fath (guru pembukanya)-nya adalah Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi.

Sejak kecil, Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi sering didoakan dan di-ilbas-kan oleh para ulama. Muridnya, Al-Allamah As-Sayyid Abdullah bin Thohir Al-Haddad, mengatakan dalam kitab Qurrah al-`Ain bahwa di antara yang mendoakan dan meng-ilbas-kannya adalah Habib Al-Hasan bin Sholeh Al-Bahr, seorang tokoh ulama terkemuka. Banyak gurunya yang telah melihat kelebihannya sejak kecil. Mereka telah melihat tanda-tanda kewalian pada dirinya.

Di tahun 1281 H, pada usia 16 tahun, ia menunaikan haji untuk pertama kalinya dengan menaiki kapal dagang yang menuju ke Jeddah. Setelah itu ia kembali ke negerinya, Hauthah. Tetapi hanya beberapa bulan ia berada di tengah-tengah keluarganya. Ia kemudian kembali lagi ke Hijaz, untuk menunaikan haji yang kedua.

Setelah musim haji selesai, ia tidak pulang, melainkan menetap di Haramain dan menimba ilmu kepada para ulamanya. Di antara para gurunya di Haramain adalah Sayyid Fadhl bin Alwi bin Muhammad bin Sahl Maulad Dawilah (yang kemudian menjadi tokoh habaib di Turki), Al-Allamah Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, mufti Syafi`i di Makkah, Al-Allamah Sayyid Umar bin Abdullah Al-Jufri, dan Al-Allamah Asy-Syaikh Muhammad bin Muhammad Al-`Azab. Ia juga mendalami tajwid kepada Sayyid Muhammad An-Nuri. Kemudian ia pergi ke India, Singapura, dan akhirnya ke Jawa.

Selama beberapa tahun ia tinggal di Jakarta, menggeluti perdagangan, di samping belajar kepada Al-Allamah Al-Habib Ahmad bin Muhammad bin Hamzah Al-Attas, Al-Allamah Al-Habib Umar bin Hasan Al-Jufri, dan sejumlah tokoh ulama lainnya.

Demikianlah terus berlanjut sampai Allah melimpahinya cahaya ilmu dan kewalian yang membuatnya terkenal di mana-mana. Maka berdatanganlah orang-orang yang ingin belajar dan yang ingin mendapatkan manfaat darinya dari berbagai tempat. Di antara mereka adalah Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar, Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi, Habib Alwi bin Thohir Al-Haddad, Habib Alwi bin Muhammad bin Thohir Al-Haddad, Habib Abu Bakar bin Muhammad Asseggaf.

Membesarkan Murid-muridnya

Habib Muhammad bin Idrus ikut berperan dalam mengangkat dan membesarkan murid-muridnya itu. Contohnya, Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf, tokoh ulama yang sangat terkenal kelahiran Besuki dan kemudian menetap di Gresik. Salah satu bagian dari perjalanan kehidupan Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf tak terlepas dari peran Habib Muhammad bin Idrus.

Di suatu hari pada tahun 1321 H, tepatnya pada hari Jum’at, ketika khatib berdiri di atas mimbar, Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf mendapat ilham dari Allah SWT. Terlintas dalam hatinya untuk mengasingkan diri dari manusia, dan terbukalah hatinya untuk melakukan itu. Seketika itu juga ia keluar dari masjid jami` menuju rumah kediamannya.

Kemudian Habib Abu Bakar beruzlah, dengan melakukan khalwat dari manusia selama lima belas tahun. Ia senantiasa bersimpuh di hadapan Allah SWT. Tatkala tiba saat untuk keluar dari khalwatnya, gurunya, Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi, mendatanginya dan memberi isyarat kepadanya untuk mengakhiri masa khalwatnya.

Habib Muhammad bin Idrus berkata, “Selama tiga hari kami bertawajjuh dan memohon kepada Allah agar Abu Bakar bin Muhammad Assegaf keluar dari khalwatnya.” Lantas ia menggandeng Habib Abu Bakar Assegaf dan mengeluarkannya dari khalwatnya.

Kemudian, masih ditemani Habib Muhammad Al-Habsyi, Habib Abu Bakar menziarahi Habib Alwi bin Muhammad Hasyim. Setelah itu meluncur ke Surabaya, menuju kediaman Habib Abdullah bin Umar Assegaf. Sambil menunjuk kepada Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf, Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi menyatakan kepada hadirin, “Ini, Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf, termasuk murtiara berharga dari simpanan keluarga Ba `Alawi. Kami membukanya agar bisa menularkan manfaat bagi seluruh manusia.”

Muridnya yang lain yang juga sangat dekat dengannya adalah Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar, Bondowoso, yang kemudian menjadi menantunya. Antara mereka berdua terdapat perasaan saling mencintai yang kuat dan hubungan yang rapat yang jarang terlihat pada orang lain. Masing-masing memandang kelebihan pada yang lainnya. Tidak banyak hubungan mertua dan menantu yang demikian.

Habib Muhammad Al-Muhdhar wafat pada malam Selasa tanggal 21 Syawwal 1344 H (4 Mei 1926 M). Keesokan harinya ia dimakamkan dalam sebuah acara yang besar yang dihadiri orang-orang Arab dan kaum muslimin pribumi dari segala tempat. Ia dimakamkan di pemakaman Habib Hasan Al-Habsyi di samping makam Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi, mertuanya dan orang yang sangat dekat dengannya.

Habib Muhammad bin Idrus pun turut berperan dalam mendorong Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (Habib Ali Kwitang) berdakwah sehingga menjadi seorang dai yang sangat terkenal. Dialah salah seorang tokoh ulama habaib, selain Habib Ahmad bin Thalib Al-Attas dan beberapa gurunya yang lain, yang pernah memintanya untuk berbicara dalam suatu kesempatan acara Maulid di Surabaya. Itulah salah satu pengalaman istimewa Habib Ali Al-Habsyi, berbicara di depan guru yang sangat dihormati, yang kemudian menempa dirinya sehingga menjadi dai yang dikagumi karena dakwahnya sangat menyentuh.

Ayah bagi Kaum Dhuafa’

Akhlaq dan budi pekerti Habib Muhammad bin Idrus sangatlah baik. Ia adalah seorang yang pemurah dan berkasih sayang terhadap orang lain, apalagi kepada orang-orang yang lemah. Apa-apa yang Allah berikan kepadanya, ia tidak segan-segan memberikannya kepada siapa saja yang mendatanginya. Setiap orang yang duduk di sampingnya akan merasa bahwa dirinyalah yang paling dicintai, dan memilihnya sebagai sahabat karib.

Bagaimana tidak. Ia seorang yang murah senyum, lemah lembut tutur katanya, dan sangat baik sambutannya. Itulah perangainya, meneladani perangai datuknya, Nabi Muhammad SAW.

Apabila ada orang bertamu kepedanya, ia selalu bertanya tentang hal ihwal anak-anak dan cucu-cucu orang tersebut. Demikian juga dengan tamu dari luar kota, ia menyambutnya dengan ramah dan senang hati. Bahkan apabila yang datang fakir miskin, ia berikan ongkos pulang disertai hadiah untuk anak-istrinya. Itulah kebiasaannya selama hidupnya.

Rumahnya selalu terbuka untuk para tamu dan tak pernah kosong dari mereka. Terlebih lagi fakir miskin yang tidak mempunyai penghasilan menentu, mereka bahkan menginap di rumahnya.

Anak-anak yatim yang dipelihara olehnya menilainya lebih baik daripada ayah-ayah mereka, karena ia menyamakan mereka dengan anak-anaknya sendiri dalam memberikan pakaian, makanan, minuman, dan tempat tidur. Apabila anak-anak yatim itu telah besar, ia jugalah yang mengurus perkawinan mereka dan memberikan apa-apa yang mereka butuhkan. Tidak mengherankan apabila ia dikatakan sebagai ayah dari anak-anak yatim dan orang-orang miskin.

Di antara amal jariyahnya yang lain adalah pembangunan masjid di Purwakarta, Masjid Ar-Raudhah di Jombang, dan lain-lain. Ia pun  perintis penyelenggaraan haul para wali Allah dan orang-orang shalih. Ia juga yang pertama kali mengadakan haul Al-Imam Al-Habib Muhammad bin Thohir Al-Haddad yang terkenal di kota Tegal.

Berziarah ke tempat bersejarah, makam para wali dan orang-orang shalih, banyak dilakukannya, yang kemudian diikuti pula oleh khalayak ramai. Semasa hidupnya ia rajin berdakwah ke beberapa daerah. Dalam perjalanan dakwahnya, ia tak pernah menginap di hotel atau penginapan, melainkan bermalam di rumah salah seorang habib.

Pada setiap akhir Kamis bulan Rabi’ul Awwal, ia mengadakan pembacaan Maulid Nabi, seperti yang dilakukan juga oleh gurunya, Habib Ali bin Muhammad bin Husein Al-Habsyi, di Seiwun. Ia melaksanakannya di daerah Jatiwangi, dekat Cirebon.

Lalu ia memindahkannya ke Bogor, tapi di sana timbul rintangan-rintangan dan fitnah dari orang-orang yang dengki. Kemudian ia memindahkannya ke Surabaya dengan bantuan kapten Arab dari keluarga Boubseith. Demikianlah, itu berlangsung terus sampai ia wafat.

Setelah ia wafat, yang melaksanakannya adalah Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi di Jakarta di sekolah Jamiat Kheir, setelah meminta izin kepada para pengurusnya yang kemudian mengizinkannya.

Maulid itu berlangsung sejak tahun 1338 H/1920 M sampai tahun 1355 H/1936 M (17 tahun). Ketika Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi membangun masjidnya di Kwitang, ia pun memindahkan Maulid ke masjid itu pada tahun 1356 H/1937 M.

Lebih Manis daripada Madu

Di antara tokoh ulama habaib yang dekat dengan Habib Muhammad bin Idrus adalah Habib Abdul Qadir bin Alwi Assegaf, Tuban (kelahiran Seiwun 1241 H). Kedekatan Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi dengannya di antaranya karena kejadian yang menimpa Habib Muhammad yang sering kali tidak bisa menguasai diri ketika kedatangan hal (keadaan luar biasa yang meliputi seseorang yang datang dari Allah SWT). Dalam keadaan seperti itu Habib Muhammad tidak tahu apa yang terjadi di sekitarnya.

Suatu saat Habib Muhammad kedatangan hal ketika sedang berjalan. Kebetulan saat itu Habib Abdul Qadir sedang berada di dekatnya. Melihat keadaan Habib Muhammad yang hampir tidak sadarkan diri, Habib Abdul Qadir segera menyadarkannya, sehingga Habib Muhammad pun sadar dan melihat Habib Abdul Qadir telah berada di depannya. Mereka berdua akhirnya berpelukan. ”Ini adalah sebaik-baik obat,” kata Habib Muhammad dengan raut wajah yang gembira.

Sejak itulah, hubungan Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi dan Habib Abdul Qadir semakin erat. Dan karena demikian dekatnya, Habib Muhammad menyatakan bahwa menceritakan ihwal keadaaan Habib Abdul Qadir lebih manis daripada madu.

Menjelang wafatnya, ia menyampaikan wasiat, ”Aku wasiatkan kepada kalian agar selalu ingat kepada Allah SWT, semoga Dia menganugerahkan keberkahan kepada kalian dalam menegakkan agama terhadap istri, anak, dan para pembantu rumah tangga kalian. Hati-hatilah, jangan menganggap remeh masalah ini, karena seseorang kadang-kadang mendapat musibah dan gangguan disebabkan  orang-orang yang di bawah tanggungannya, yaitu istri, anak, dan pembantu. Sebab, dia adalah pemegang kendali rumah tangga.”

Begitulah sekilas perjalanan hidup Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi. Semasa hidupnya selalu taat dan bertaqwa kepada Allah, memberi manfaat kepada hamba-hamba-Nya, memanfaatkan waktu dan umurnya serta membelanjakan hartanya di jalan-Nya, hingga akhir hayatnya memenuhi panggilan Allah untuk kembali ke alam baqa pada pertengahan malam Rabu, 12 Rabi`ul-Akhir 1337 H, di kota Surabaya, dan dimakamkan pada waktu ashar hari Rabu. Yang mengimami shalat jenazah tokoh besar ini adalah tokoh besar pula yang sekaligus juga menantunya, Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar.