Habib Umar bin Muhammad bin Hud Al-Attas yang lebih dikenal sebagai Habib Umar bin Hud Al-Attas lahir di Kota Huraidhah, Hadramaut, Yaman, pada 1313 H atau 1895 M. Ayahnya bernama Habib Muhammad bin Hassan dan ibunya bernama Syarifah Nur binti Hasan Al-Attas. Habib Umar lahir dari keluarga Alawiyin pada era yang disebut sebagai masa keemasan. Sebab kala itu kaum shalihin, ‘ulama ‘amilin (para ulama yang mengamalkan ilmunya), serta para arifin sangat mudah ditemui.
Ayah Habib Umar, Habib Muhammad adalah seorang yang terkenal kesolehannya. Selama 20 tahun beliau mengurusi Masjid Sayyid Abdul Qadir Al-Jilani di Hadramuat, sebelum akhirnya berhijrah ke Nusantara.
Setelah ayahnya pergi ke Nusantara, Habib Umar diasuh oleh kakaknya, Habib Salim. Habib Umar kecil, masih belum baligh saat itu, membantu dengan bekerja di kebun kurma untuk meringankan beban keluarga. Sejak kecil Habib Umar sudah menampakkan kecintaannya kepada ilmu, dengan kebiasaanya membaca dan menulis. Bahkan Habib Umar kecil sudah memiliki keterampilan menulis “khath” yang indah.
Habib Umar sangat berbakti kepada kedua orang tuanya. Ketika masih kecil beliau senantiasa membawa air dalam tempat air berukuran besar untuk mengisi penampungan air demi keperluan ibunya. Di tengah sengatan terik panas matahari, Habib Umar berjalan melewati gurun pasir menuju ke pegunungan yang jauh dari rumahnya untuk mengambil air bagi ibunya.
Karena tubuhnya kecil sementara tempat airnya lebih besar, sehingga dirinya tak kelihatan dari kejauhan dan hanya terlihat tempat airnya saja, penduduk sekitar sampai sering menggambarkan sebagai “tempat air yang berjalan sendiri”. Bahkan ada pula yang mengatakan “tempat air yang dibawa oleh jin”.
Setelah ibundanya meninggal, Habib Umar mendapat surat dari ayahnya untuk menyusul ke Indonesia. Habib Umar berusia sekitar 15 tahun saat itu. Dikabarkan bahwa surat dari ayahnya itu diterima pada malam hari dan esoknya Habib Umar segera meluncur ke tempat sang ayah di Indonesia.
Meski telah mendapat didikan dari Habib Ahmad bin Hassan Al-Attas ketika di Hadaramaut, sesampainya di Indonesia, Habib Umar mendatangi dan menimba ilmu dari para ulama di masa itu, termasuk dari ayahnya sendiri, Habib Muhammad.
Bakti kepada ayahnya tak kurang jika dibandingkan dengan bakti kepada ibunya. Dikisahkan ketika ayah Habib Umar berusia lanjut, Habib Umar sering tidur di bawah dekat ranjang sang ayah. Hal itu dilakukan agar Habib Umar mudah terjaga dan menggendong ayahnya jika ingin ke kamar mandi. Atau membantu menyediakan keperluan lainnya di malam hari. Siang harinya, Habib Umar berdagang untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan ayahnya.
Selain kepada ayahnya Habib Umar juga berguru kepada Habib Alwi Al-Attas Az-Zabidi (Jakarta), Habib Muhsin bin Muhammad Al-Attas (Al-Hawi, Jakarta), Habib Alwi bin Muhammad Al-Haddad (Bogor), Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (Surabaya), Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar (Bondowoso).
Dikisahkan, demi menuntut ilmu Habib Umar sampai harus mengayuh sepedanya dari Jakarta menuju kediaman Habib Muhsin bin Muhammad Al-Attas di Empang, Bogor. Jarak yang begitu jauh Jakarta-Bogor, tak mengendorkan semangatnya untuk menuntut ilmu dan bertabaruk kepada para ulama. Bahkan hal itu dilakukan Habib Umar di sela-sela kesibukannya berdagang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pada 1956 Habib Umar mendapat petunjuk untuk berangkat dan menetap di kota Makkah. Maka bersama 11 anggota keluarganya beliau bertolak ke kota suci Makkah. Namun setelah beberapa tahun tinggal di Makkah, Habib Umar bertolak ke Singapura. Di Negeri Singa itu Habib Umar mengontrak sebuah rumah.
Beberapa tahun kemudian, beliau kembali ke Indonesia dan menetap di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Di tempat yang baru ini Habib Umar sempat membangun masjid yang oleh sahabatnya, Habib Shaleh Tanggul diberi nama “As-Sa’adah”, yang bermakna kebahagiaan.
Habib Umar adalah sosok yang istiqamah menjaga ketaatannya kepada Allah SWT. Salah satu contohnya, untuk menjaga agar ibadahnya selalu sempurna, maka ia pisahkan baju sehari-hari dengan baju untuk shalat.
Salah seorang pembantu Habib Umar menceritakan bahwa Habib Umar selalu terjaga pada pukul 11 malam hingga tiba waktu shalat subuh. Hingga suatu ketika, si pembantu dikejutkan oleh suara tangisan seseorang yang datang dari kamar Habib Umar.
Bergegaslah si pembantu ke kamar Habib Umar untuk mengetahui apa yang terjadi. Ketika si pembantu menanyakan apa yang terjadi? Habib Umar menjawab, “Saya tertidur dan terlambat bangun 1 jam untuk beribadah kepada Allah SWT.”
Ketika itu Habib Umar bangun pukul 24.00. Peristiwa itu terjadi ketika Habib Umar berusia 90 tahun. Hal ini membuktikan, meski usianya telah lanjut Habib Umar tetap menjaga waktu beribadahnya.
Kisah lainnya juga diceritakan bahwa Habib Umar adalah sosok yang sangat menghormati tamu. Meski banyak orang yang ingin menghadiri acara yang digelar Habib Umar, namun hal itu tak membuat Habib Umar menjadi tinggi hati. Bahkan beliau tetap menjadi pelayan bagi para tamunya yang datang.
Untuk menjamu tamunya yang datang, tak tanggung-tanggung, Habib Umar pernah sampai menyembelih 1.600 ekor kambing, 2 ekor sapi dan 25 ton beras untuk sekali peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang diselenggarakannya.
Setiap tahunnya, Habib Umar menggelar Maulid Nabi Muhammad SAW di wilayah Cipayung, Puncak, Jawa Barat. Acara itu dihadiri oleh ratusan ribu orang, bahkan juga dari negara tetangga serta dari Timur Tengah dan Afrika. Hingga orang mengenalnya sebagai Habib Umar Cipayung karena acara Maulid itu.
Sebelum kondisi fisiknya menurun, Habib Umar sering bangun dari duduknya hanya untuk menyambut dan memuliakan para tamu yang datang. Bahkan beliau sengaja membangun rumah yang besar dan mewah agar para tamu yang datang menjadi senang dan mampu menampung mereka semua, sebab tamu beliau sangat banyak.
Keluhuran dan teladan beliau tercermin ketika banyak orang berebut mencium tangannya, dan tak jarang Habib Umar mencium balik tangan mereka. Baik mereka yang dari kalangan habaib atau bukan, yang besar ataupun yang kecil.
Setelah cukup lama bermukim di Pasar Minggu, Habib Umar pindah ke kawasan Condet, Jakarta Timur hingga akhir hayatnya. Setiap hari beliau memimpin shalat Shubuh di kediamannya, di Condet. Pada hari biasa terdapat sekitar 300 orang, dan khusus pada hari Jumat meningkat menjadi 1.000 orang.
Beliau wafat pada tahun 1999 dalam usia 108 tahun (menurut hitungan hijriah). Selanjutnya beliau dimakamkan di tengah-tengah makam para awliya’ di kompleks pemakaman Al-Hawi, Cililitan, Jakarta Timur.
*Sumber: Majalah ALKISAH No. 19/20 SEP – 3 OKT. 2010 / Rubrik Manaqib
Foto: https://facebook.com/alimusthofahalattas