Langkah Kecil Habib Anis Dalam Penyebaran Dakwah Thariqah Alawiyah
Selain metode dan sistem pembelajarannya yang mumpuni, fasilitas dan utilitas belajar yang lengkap, serta guru-guru pengajar yang berilmu, tak dipungkiri banyaknya santri Indonesia yang belajar di Pesantren Darul Mustofa, Hadramaut, Yaman, juga disebabkan oleh kharisma dan ketokohan dari pendirinya, Al Habib Umar bin Hafidz.
Ulama terkemuka Hadramaut ini memang memiliki kaitan sejarah yang panjang dengan Indonesia. Kakeknya, Habib Salim bin Hafidz bin Syeikh Abu Bakar bin Salim adalah ulama kelahiran Situbondo pada tahun 1872 M. Habib Umar juga mengajak 30 orang santri dari Indonesia untuk menjadi muridnya di Tarim dimana kelak ke 30 muridnya ini akan melahirkan murid santri-murid santri lagi, sehingga jejaring murid santri Habib Umar bin Hafidz di Indonesia mencapai ratusan ribu orang.
Sampai kini, Pesantren Darul Mustofa yang saat angkatan pertama tiba di Hadramaut tahun 1993, belum dibangun, dan baru pada tahun 1998 bangunannya resmi didirikan, telah meluluskan ribuan santri dari seluruh penjuru dunia. Setiap tahun pula, ratusan calon santri harus antri untuk dapat diterima di Pesantren Darul Mustofa.
Tak hanya itu, setiap Bulan Muharram, Habib Umar bin Hafidz rutin mengadakan rihlah ke Indonesia. Kegiatan ini sudah dimulai sejak tahun 2000-an dan sempat terhenti pada tahun 2019-2021 karena pandemi Covid-19. Setiap tempat yang beliau kunjungi di Indonesia maka ribuan jamaah akan memadati tempat acara. Bukan hal aneh, bila para jamaah berebut mencium tangan Habib Umar sebagai bentuk kecintaannya kepada keturunan Rasulullah.
Berbincang mengenai Habib Umar dan kaitannya dengan Indonesia, maka ada satu sosok yang tidak bisa dilupakan perannya. Beliau adalah Habib Anis bin Alwi Al-Habsyi, cucu dari Habib Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi, penulis kitab kitab maulid terkenal “Simthud Duhrar”.
Sosok Habib Anis lah yang mendatangkan Habib Umar bin Hafidz ke Indonesia pertama kali tahun 1993. Menurut cerita, Habib Anis ditemani oleh Habib Umar Mulachela dan para Habaib lainnya berkunjung ke Habib Abdul Qadir Assegaf Jeddah. Diceritakan pula oleh Habib Anis mengenai kegelisahannya tentang mulai memudarnya ajaran dakwah para Salafussholeh di kalangan anak muda alawiyin secara khusus dan anak muda indonesia secara umum.
Beliau meminta kepada Habib Abdul Qadir Assegaf agar mengutus salah seorang murid Habib Abdulqodir untuk datang ke Indonesia berdakwah, mengajar ilmu dan lain sebagainya.
Maka Habib Abdul Qodir tanpa panjang lebar berkata: “Panggil Umar, dimana Umar?”
Kebetulan Habib Umar tidak sedang berada disitu maka di panggilkan oleh salah seorang murid Habib Abdul Qodir yang lain dan hadirlah Habib Umar dan berkata: “Apa yang anda perintahkan wahai guruku?”
Habib Abdul Qodir menjawab dengan lantang dan singkat saja : “Persiapkan dirimu untuk datang ke Indonesia dan bawalah teman,” Maka Habib Umar menjawab : “sami’na wa ‘atokna ya sayyidi”
Maka berangkatlah rombongan tersebut dan Habib Umar mengajak Habib Ali Al-Jufri yang sudah kita kenal sekarang. Mereka tiba di Solo dan mengadakan bermacam kegiatan keagamaan. Lalu Habib Anis meminta kepada Habib Umar agar membawa santri-santri dari Indonesia untuk belajar agama darinya.
Habib Umar lalu memilih 30 santri angkatan pertama untuk kembali ke Hadramaut bersama beliau dan menuntut ilmu di sana kurang lebih selama 4 tahun. Menariknya, ke-30 santri tersebut, selain tidak semuanya dari kalangan habib (ada juga ustadz), asal mereka juga dari berbagai daerah di Indonesia. Mulai dari Jakarta, Bekasi, Sumenep, Pontianak, Brebes, Pekalongan, hingga Manado, dan Pontianak.
Alm. Habib Munzir Al Musawa (Pendiri Majelis Rasulullah), Habib Jindan bin Novel (Ponpes Al Fahcriyah), Habib Quraisy Baharun (Ponpes Assidqu-Kuningan), Habib Soleh Al Jufri (Solo), KH Hamzah Hamdani (Bekasi), hingga Habib Ali Zainal Abidin Al Hamid (kini di Malaysia), merupakan diantara murid-murid angkatan pertama Pesantren Darul Mustofa.
Kini murid-murid Habib Umar tersebut telah menjadi tokoh-tokoh ulama di Indonesia yang memiliki pondok pesantren atau majelis taklim, dan tentu saja memiliki pula ribuan santri. Alhasil Thariqah Alawiyah sebagai thariqah yang dibawa oleh para habaib dapat dikatakan berkembang pesat di Indonesia.
Jejaring dan konektivitas para santri Habib Umar di Indonesia ini tidak dipungkiri terjadi karena sebuah langkah kecil yang dilakukan Habib Anis tempo dulu ketika beliau datang dan menceritakan kegelisahannya di depan Habib Abdul Qadir Assegaf Jeddah.
Langkah kecil inilah yang kemudian membuat dakwah Thariqah Alawiyah di Indonesia melalui jejaring dan konektivitas santri Hadramaut, semakin berkembang dan membumi di tanah Nusantara. Sebuah langkah kecil yang berdampak luar biasa pada penyebaran dakwah Thariqah Alawiyah di era modern di Indonesia.
Riwayat Hidup
Habib Anis lahir di Garut Jawa Barat pada tanggal 5 Mei 1928. Ayahnya, Habib Alwi, merupakan putera dari Habib Ali Al-Habsyi (Muallif Simtuddurar) yang hijrah dari Hadramaut Yaman ke Indonesia untuk berdakwah. Sedangkan ibunya bernama Khadijah. Ketika beliau berumur 9 tahun, keluarga beliau pindah ke Solo, sampai akhirnya menetap di kampung Gurawan, Pasar Kliwon Solo.
Sejak kecil, Habib Anis dididik oleh ayah sendiri, juga bersekolah di madrasah Ar-Ribathah, yang juga berada di samping sekolahannya. Habib Anis tumbuh menjadi seorang pemuda nan alim dan berakhlak luhur. Habib Ali Al-Habsyi, adik beliau menyebut kakaknya seperti “anak muda yang berpakaian tua”.
Tentang maqam ilmu dan akhlak yang dimiliki Habib Anis, salah satu cucunya yang bernama Muhammad bin Husain mengungkapkan sosok Habib Anis sebagai orang yang sangat mencintai ilmu. “Ketika usia muda, beliau gemar sekali membaca buku. Tiap malam ketika istrinya tidur, beliau membaca kalam Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi (kakek Habib Anis) sampai beliau terkadang menangis ketika membaca untaian nasehat kakeknya. Ketika istrinya terbangun beliau langsung mengusap airmatanya supaya tidak terlihat oleh istrinya,” ujarnya.
Ditambahkan oleh Habib Muhammad, meskipun Habib Anis termasuk ahli ilmu, akan tetapi dia lebih dikenal dengan kemuliaan akhlaqnya. “Karena beliau selalu menampilkan akhlaq yang mulia, padahal keluasan ilmunya tidak diragukan lagi,” terangnya. Akhlak Habib Anis, diantaranya tercermin dari sikap sumeh (murah senyum) dan dermawan yang dimilikinya. Seringkali menjelang Idul Fitri, Habib Anis memberikan sarung secara cuma-cuma kepada para tetangga, muslim maupun non muslim. “Beri mereka sarung meskipun saat ini mereka belum masuk islam. Insya Allah suatu saat nanti dia akan teringat dan masuk islam.” kata Habib Anis yang ditirukan Habib Hasan, salah seorang puteranya.
Habib Anis juga dikenal sebagai pribadi yang istiqomah dalam segala hal, tentang keistiqomahan ini juga diakui oleh salah satu muridnya yang kini mengemban amanah sebagai Rais Syuriyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Sukoharjo, KH Ahmad Baidlowi. “Dalam banyak hal, Habib Anis selalu tertata rapi, meskipun di banyak aktivitasnya sebagai imam sholat, pengajian, menerima tamu, membuka toko dan sebagainya,”
Dalam dakwahnya, Kiai Baidlowi menuturkan Habib Anis memiliki beberapa konsep, yang kesemuanya dapat dilihat langsung di Masjid Riyadh sampai sekarang. “Yakni, masjid sebagai tempat ibadah. Zawiyah, sebagai pusat ilmu dan toko sebagai media penggerak ekonomi,” ujarnya. Terkait hal ini, Habib Anis sendiri pernah menyampaikan bahwa ada empat hal yang penting:
“Pertama, kalau engkau ingin mengetahui diriku, lihatlah rumahku dan masjidku. Masjid ini tempat aku beribadah mengabdi kepada Allah. Kedua, zawiyah, di situlah aku menggembleng akhlak jama’ah sesuai akhlak Nabi Muhammad SAW. Ketiga, kusediakan buku-buku lengkap di perpustakaan, tempat untuk menuntut ilmu. Dan keempat, aku bangun bangunan megah. Di situ ada pertokoan, karena setiap muslim hendaknya bekerja. Hendaklah ia berusaha untuk mengembangkan dakwah Nabi Muhammad saw. Ulama asal Pasuruan itu menambahkan, meskipun tidak pernah masuk dalam struktur NU di Solo, namun peranan Habib Anis atas kemajuan NU di wilayah Soloraya sangatlah besar. Beberapa muridnya bahkan kini menjadi Rais Syuriyah, diantaranya KH A. Baidlowi dan KH Abdul Aziz (Wonogiri).
Pada hari Senin, tanggal 6 November 2006 atau 14 Syawal 1427 H pukul 12.55 WIB, Habib Anis wafat di RS. Dr. Oen dalam usia 78 tahun. Beliau dimakamkan di sebelah makam ayahnya, yang terletak di sisi selatan Masjid Riyadh. (YAS)