Hikmah Alawiyah
Image default
Kolom Mahya

Hakikat Pendidikan

Oleh: M. Quraish Shihab

Pendidikan pada hakikatnya mempunyai jangkauan makna yang sangat luas serta, dalam rangka mencapai kesempurnaannya, memerlukan waktu dan tenaga yang tidak kecil. Dalam khazanah keagamaan dikenal ungkapan mina l-mahd ila l-lahd (dari buaian hingga liang lahad atau pendidikan seumur hidup), sebagaimana dikenal pula pernyataan ilmu kepada peserta didik: “Berilah aku seluruh yang engkau miliki, maka akan kuberikan kepadamu sedikit yang aku punyai.”

Yang pasti, ungkapan dan pernyataan itu belum sepenuhnya kita laksanakan. Hanya sedikit waktu yang disediakan oleh peserta didik dan kecil sekali tenaga dan dana yang diberikan oleh mereka yang memilikinya untuk mengembangkan pendidikan. Bahkan diduga keras, sebagian di antara kita, mengabaikan tugas-tugas kependidikan dan merasa bahwa sekolah sebagai satu-satunya sarana pendidikan. Pada hal, sekolah — walaupun mampu melaksanakan tugasnya dengan baik — tidak akan mampu mendewasakan manusia, lebih-lebih untuk mencapai tujuan pendidikan. Hal ini akan semakin jauh dari tujuan jika upaya yang dilakukannya hanya terbatas pada pengajaran dan latihan.

Diduga keras pula, sebagian di antara kita melupakan bahwa pendukung dan pelaksana pendidikan bukan hanya tenaga, dana, dan sarana yang disediakan oleh pemerintah. Tetapi, lebih dari itu, juga tersedia dan disediakan oleh keluarga, masyarakat, dan peserta didik, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Di sisi lain, diduga keras pula bahwa sebagian tenaga kependidikan tidak melaksanakan fungsinya dengan baik. Yang saya maksud dengan tenaga kependidikan di sini adalah kita semua, bukan hanya guru dan dosen, karena kita semua seharusnya berfungsi sebagai pendidik.

Marilah kita ambil contoh sederhana menyangkut pendidikan anak di kalangan keluarga. Pembentukan kepribadian anak bermula di sini dan sejak ia masih di buaian. “Ketika itu, pikiran-pikiran pendidik, perasaan dan jiwanya dapat diserap oleh anak bagaikan pasir menyerap tetesan-tetesan air,” demikian tulis Alexis Carrel.

Ummu Al-Fadhl bercerita: “Suatu ketika aku menimang-nimang seorang bayi. Rasul saw. kemudian mengambil bayi itu dan menggendongnya. Tiba-tiba sang bayi pipis membasahi pakaian Rasul. Segera saja kurenggut dengan keras bayi itu dari gendongan Rasul. Rasul saw. pun menegurku: ‘Air dapat membersihkan pakaianku. Tetapi apa yang dapat menjernihkan perasaan sang bayi yang dikeruhkan oleh sikapmu yang kasar itu?’.”

Nabi saw. sadar bahwa perlakuan demikian dapat berbekas dalam jiwa sang bayi yang dapat menimbulkan rasa rendah diri yang dibawanya hingga dewasa. Bukankah sebagian besar kompleks kejiwaan dapat dikembalikan penyebabnya pada pengalaman negatif masa kanak-kanak?

Berapa banyakkah di antara kita yang memperlakukan anak atau peserta didik seperti perlakuan Ummu Al-Fadhl? Berapa banyak di antara kita yang tidak membantu terwujudnya iklim pendidikan yang sehat, baik dalam keluarga, sekolah, maupun masyarakat luas?[]

*Sumber: M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, halaman 272-274

http://tempatbagibagi.blogspot.com/2011/02/kumpulan-artikel-lepas-quraish-shihab.html

Foto: Otomoto.id