Hikmah Alawiyah
Image default
Hikmah Manaqib

Habib Abdullah bin Ali Al-Haddad

Alhabib Abdullah bin Ali Al-Haddad lahir di Tarim, Hadramaut, Yaman, pada 4 Shafar 1261 H atau sekitar Februari 1840 M. Ayah beliau bernama Habib Ali bin Hasan Al-Haddad. Beliau juga merupakan keturunan keenam dari Alhabib Abdullah bin Alwi Al-Haddad.

Berikut urutan nasabnya, Abdullah bin Ali bin Hasan bin Husein bin Ahmad bin Hasan bin Shahiburratib Abdullah bin Alwi Al-Haddad.

Sejak kecil Habib Abdullah bin Ali al-Haddad mendapat didikan dari ayahnya sendiri, terutama dalam menghafal Al-Quran. Selain belajar dari ayahnya, Habib Ali Al-Haddad juga belajar beberapa cabang ilmu agama dari para ulama besar di masa itu. Di antaranya adalah dari Habib Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur (penyusun Bughyah al-Masytarsyidin), Habib Umar bin Hasan Al-Haddad di Ghurfah, Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi di Seiwun, Habib Muhsin bin Alwi Assegaf dan Habib Muhammad bin Ibrahim Bilfaqih di Tarim.

Dari para gurunya itu Habib Ali Al-Haddad mempelajari ilmu tafsir, hadist, fiqih, dan cabang-cabang ilmu lainnya. Beliau juga mendapat banyak ijazah dan pengakuan dari tokoh-tokoh ulama dan ahli sufi di zamannya, sebagai bukti bahwa dirinya menguasai ilmu syari’at dan hakikat.

Namun semua pengetahuan yang didapatnya tak membuatnya menjadi berpuas diri. Habib Ali meninggalkan kota tempat tinggalnya untuk memperdalam pengetahuannya di Kota Du’an. Di kota itu Habib Ali mendatangi sejumlah ulama. Beliau juga menziarahi makam-makam ulama dan shalihin, seperti Syaikh Sa’ad bin Isa Al-Amudi.

Setelah dari Du’an Habib Ali berangkat ke kota Qaidun. Di kota ini, Habib Ali belajar kepada Habib Thahir bin Umar Al-Haddad dan Syaikh Muhammad bin Abdullah Basawdan. Di hadapan para gurunya ini Habib Ali membaca kitab Minhaj ath-Thalibin, karya Imam Nawawi, dan mendapat ijazah beberapa cabang ilmu, di antaranya ilmu manthiq, akidah dan ushul.

Pada 1291 H atau 1872 M, Habib Ali menikah dengan Syarifah Aisyah binti Hamid bin Alwi Al-Hamid, di Tarim. Dari perkawinan itu beliau dikaruniai lima anak: Alwiyah, Nur, Fatimah, Muznah, dan Hasan.

Meski telah berkeluarga, dan banyak berguru, namun semangat menuntut ilmunya tetap tinggi. Pada 1294 H atau 1873 M, Habib Ali bertolak ke kota Guwairah. Di kota itu Habib Ali bertemu dengan Habib Ahmad bin Muhammad Al-Mundhar (Ayahnya Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar, Bondowoso). Dari beliau Habib Ali belajar sejumlah cabang ilmu dengan derajat yang tinggi dan mendapat ijazah.

Kesungguhan Habib Ali tak hanya dalam hal menuntut ilmu namun juga dalam hal mengolah jiwa. Dikisahkan kala di masa mudanya beliau tak sekalipun meninggalkan ibadahnya, yang wajib maupun yang sunnah. Walau dalam kondisi apapun beliau tetap menjalankan ibadahnya seperti shalat, puasa, dan ibadah-ibadah lainnya.

Suatu ketika kesehatan Habib Ali terganggu sehingga kondisi fisiknya menurun, namun ibadahnya tak juga kendor karena itu semua. Melihat kondisi itu ibundanya merasa iba dan berkata kepadanya “Wahai anakku, bila engkau ingin kebaikan dan keridhaanku, maka taatilah perintahku.” Ibunda Habib Ali memintanya untuk banyak istirahat karena sakitnya dan menurunkan intensitas ibadahnya sejenak.

Demi mengejar ridha ibundanya, Habib Ali akhirnya menuruti permintaan sang bunda. Habib Ali kemudian hanya menunaikan shalat fardhu dan rawatib saja.

Pada 1295 H atau 1874 M, Habib Ali berangkat ke Baitullah untuk melaksanakan ibadah Haji, sekaligus berziarah ke makam Rasulullah SAW. Selama berada di kota suci Makkah, Habib Ali tinggal di rumah mufti kota Makkah, Habib Muhammad bin Husein Al-Habsyi (ayahanda Shahib Simthud Durrar, Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi), sekaligus menuntut ilmu kepada Habib Muhammad. Habib Ali juga mendapat ijazah dari Sayyid Ahmad Zaini Dahlan.

Setelah beberapa lama tinggal di Makkah, Habib Ali kemudian tinggal selama empat bulan di Madinah. Di kota ini Habib Ali mengunjungi seorang faqih yang juga dikenal sebagai pakar bahasa Arab, Syaikh Muhammad Abdul Mu’thi bin Muhammad Al-‘Azab yang merupakan pengarang kitab Maulid Al-‘Azab.

Pada 1297 H atau 1879 M, Habib Ali memulai dakwahnya ke tanah Melayu. Mula-mula dakwahnya dilakukan di Singapura, lalu ke Johor, Malaysia. Di Johor, Habib Ali bersahabat dengan Syed Salim bin Thaha Al-Habsyi dan Sultan Abu Bakar bin Ibrahim, Sultan Johor kala itu.

Habib Ali tinggal di Johor selama empat tahun, sempat diminta untuk menjadi mufti Johor namun ditolak olehnya. Di kota itu Habib Ali juga menikah dengan seorang syarifah dari keluarga Bin Syahab. Namun istri beliau wafat tak lama setelah menikah.

Setelah itu, Habib Ali melanjutkan dakwahnya ke pulau Jawa. Tanah Betawi adalah tanah Jawa pertama kali yang beliau injak. Ketika itu, Batavia masih diperintah oleh Hindia Belanda. Tak lama berada di Batavia, Habib Ali bertolak ke Bogor, kemudian ke Solo, dan Surabaya. Sayangnya setiap kota di Indonesia yang disinggahinya tak ada yang menarik hatinya untuk tinggal menetap. Meskipun masyarakat di kota-kota itu memintanya untuk tinggal bersama mereka.

Hingga akhirnya pada Syawwal 1301 H atau 1903 M, Habib Ali menetapkan hatinya untuk tinggal di kota Bangil, Pasuruan, Jawa Timur. Di kota Bangil itu lah kemudian Habib Ali memulai dakwahnya.

Pada 27 Jumadal Ula 1302 H atau 1903 M, Habib Ali menikah dengan seorang wanita yang dikenal shaliha, Syarifah Maryam binti Ali Alaydrus. Di antara putra hasil pernikahannya itu antara lain adalah Muhammad, Hamid, Ali dan Umar.

Di rumahnya di Bangil itu Habib Ali membuka majelis ta’lim di Masjid Kalianyar. Di antara muridnya di kemudian hari banyak yang menjadi ulama, antara lain, Kiai Zayadi, Kiai Husain, Kiai Musthafa, Kiai Asyiq, serta Kiai Muhammad Tharir dari Bangku, Singosari, Malang.

Pada majelis Rauhahnya di Masjid Kalianyar, Habib Ali membacakan kitab-kitab karya Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad. Rauhah itu biasanya dihadiri sekitar 60 orang.

Selain mengajar dan berdakwah, Habib Ali juga seorang ulama sastrawan. Kumpulan syairnya dikumpulkan dalam bentuk diwan (kumpulan syair) yang bernama Al-Qalaid al-Lisan li Ahl al-Islam wa al-Iman. Beliau juga menulis sejumlah kitab di antaranya adalah Sullam ath-Thalib li A’la al-Maratib syarah Ratib al-Haddad, Hujjah al-Mu’minin fi Tawassul bisayyidil Mursalin, Maulidil Haddad – dalam bentuk nazham (prosa) tentang kelahiran Rasulullah SAW.

Pada Jumat sore, 15 shafar 1331 H Habib Ali wafat di Bangil. Beliau kemudian dimakamkan di dekat mushalahnya yang terletak di Sengeng Kramat, Bangil.

*Sumber: Majalah ALKISAH No. 01/7-20 Januari 2013.

Foto: http://khadijahtrip.blogspot.com/