Hikmah Alawiyah
Image default
Hikmah Manaqib

Habib Salim bin Thaha Al-Haddad

Habib Salim bin Thaha Al-Haddad lahir dari ayah bernama Habib Thaha bin Ja’far Al-Haddad dan ibu bernama Tihama di Kalibata, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Tak ada keterangan pasti terkait tanggal kelahiran Habib Salim. Namun dari keterangan kerabat dekatnya, Habib Salim bin Thaha Al-Haddad wafat pada usia 80 tahun. Sementara tanggal wafat beliau adalah pada 20 Oktober 1978, maka jika dihitung dari umur beliau didapat angka 1898 sebagai tahun kelahirannya.

Sejak kecil Habib Salim sudah menampakkan perbedaan dengan teman-teman sepermainannya. Habib Salim gemar mengenakan gamis. Ia juga anak yang sangat berbakti kepada kedua orang tuanya.

Pada usia yang sangat belia, beliau dibawa ayahnya ke Hadramaut, Yaman, untuk menuntut ilmu agama. Di Hadramaut Habib Salim berguru kepada banyak ulama, di antaranya adalah Habib Abdullah bin Umar Asy-Syathiri. Jelang masa mudanya, Habib Salim kerap pulang-pergi Jakarta-Hadramaut.

Ketika pulang dari Hadramaut dan menetap di Jakarta, Habib Salim terus belajar dengan para ulama di Jakarta, di antaranya kepada Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi, Kwitang dan Habib Ali bin Husein Al-Aththas, Cikini. Habib Salim selalu mengikuti majelis kedua gurunya itu hingga mereka wafat.

Selama di Jakarta, majelis Ahad pagi di Kwitang bersama Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi adalah majelis yang tak pernah beliau lewatkan. Meski Habib Salim adalah seorang ulama yang sudah banyak dikenal orang, beliau selalu ingin menempatkan dirinya sebagai seorang santri bagi habaib besar kala itu, terutama kepada Habib Ali Abdurrahman Al-Habsyi.

Beliau memiliki banyak sahabat. Di antaranya yang terdekat adalah Habib Abdullah bin Salim Al-Attas, Kebun Nanas, Jakarta Timur. Hampir di tiap majelis beliau selalu duduk di sebelah sahabatnya ini.

Pada tiap malam Kamis dan Sabtu di rumah Habib Salim selalu dilaksanakan majelis. Kitab yang paling sering diajarkan adalah kitab An-Nashaih Ad-Diniyyah, karya Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad. Di antara banyak ilmu yang dikuasai oleh Habib Salim, selain ilmu fiqih dan tasawuf juga ilmu tarikh. Beliau dapat menceritakan dengan detail dan jelas perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW beserta para sahabatnya.

Sebagai seorang ulama, beliau merupakan pelayan umat yang patut menjadi teladan. Bila diundang atau dipanggil orang untuk keperluan tertentu, siapa pun orangnya tanpa pandang bulu, beliau tidak akan menolak. Bahkan sekalipun yang minta adalah orang kampung di tengah malam buta, segera beliau mengambil obor dan mendatangi orang yang memanggilnya itu.

Pada tanggal 4 Syawwal, atau empat hari setelah Idul Fitri, Habib Salim setiap tahunnya mendatangi warga di kampung tempat tinggalnya. Satu persatu rumah beliau kunjungi dalam rangka bersilaturahmi Idul Fitri. Sementara pada hari “H” Idul Fitri hampir seluruh warga di sekitar itu mendatangi beliau.

Salah satu bukti lain terkait pelayanannya terhadap umat adalah kepekaan sosialnya yang sangat tinggi. Beliau banyak memberikan shadaqah dari hasil usaha pembuatan pabrik batu bata miliknya.

Habib Salim memiliki hati yang lembut dan hampir tak pernah menampakkan kemarahannya. Suaranya pelan namun terdengar jelas. Karena sifat tawadhunya itu beliau selalu terlihat menundukkan muka, di mana pun berada dan dalam kondisi apa pun. Karenanya jika di dalam majelis, orang akan dengan mudah mengenali dirinya.

Meskipun selalu menundukan mukanya bukan berarti Habib Salim penakut, sebab beliau juga mahir ilmu bela diri yang dalam bahasa Betawi disebut “sinding”. Yaitu sebuah kesenian bela diri dari masyarakat Betawi.

Habib Salim wafat pada Jumat malam, 20 Oktober 1978. Ribuan pelayat mengantarkan jenazahnya menuju tempat peristirahatan terakhirnya di komplek pekuburan keluarga Al-Haddad di Kalibata. Kini pemakaman itu dikenal dengan nama Qubah Habib Salim bib Thaha Al-Haddad.

*Sumber: Majalah ALKISAH NO. 03/9 – 22 FEB 2009 – Rubrik Manaqib
Foto: Cikaunews.com