Hikmah Alawiyah
Image default
Hasil Penelitian Mahya

Akulturasi Islam-Jawa-Hindu dalam Kalender Jawa

Pekan depan umat Islam Indonesia memasuki tahun baru Hijriah 1440. Menurut kalender Masehi, 1 Muharram 1440 Hijriah jatuh pada 11 September 2018. Secara nasional, Indonesia menggunakan Kalender Masehi, namun Kalender Hijriah masih digunakan terutama bila berkaitan dengan penentuan hari-hari besar Islam.

Selain itu Indonesia juga punya tradisi penanggalan yang lain. Yakni Kalender Saka (Hindu) dan Kalender Jawa. Kalender Saka masih digunakan umat Hindu sampai sekarang. Sedangkan Kalender Jawa biasanya dipakai untuk menghitung weton atau hari baik. Tulisan ini membahas tentang Kalender Jawa yang digunakan sejak jaman Sultan Agung.

Merle C Ricklefs dalam “Islamising Java : The Long Shadow of Sultan Agung” dimuat di jurnal Archipel Paris (1998), menulis, penggunaan Kalender Jawa diotorisasi oleh Sultan Agung pada 1633 Masehi. Latar belakangnya paling tidak ada dua, pertama untuk meredam situasi politik Kerajaan Mataram yang tengah mengalami guncangan kepercayaan atas otoritas istana. Seperti diketahui Mataram di bawah Sultan Agung melakukan ekspansi militer ke Batavia pada 1628 dan 1629. Tetapi hasilnya gagal total. Selain mengalami kerugian besar, kegagalan itu menurunkan kepercayaan rakyat terhadap istana.

Akibatnya, periode 1630-1635 pemberontakan di wilayah Kerajaan Mataram merajalela. Diawali pemberontakan para ulama Tembayat yang berhasil ditumpas tahun 1630. Kemudian pemberontakan Sumedang dan Ukur tahun 1631 juga berhasil diredam berkat bantuan Sultan Cirebon. Tahun 1635 juga terjadi perlawanan Giri Kedaton yang konon dimotori keturunan Sunan Giri.

Pemberontakan-pemberontakan ini, meski bisa diselesaikan, meninggalkan kerisauan bagi Sultan Agung. Maka upaya pendekatan agama juga harus dilakukan, salah satunya mengubah Kalender Saka menjadi Kalender Jawa yang diadopsi dari Kalender Islam (Hijriah).

Alasan kedua, apa yang dilakukan Sultan Agung semata-mata dalam rangka menyebarkan Islam di tanah Jawa. Dalam cerita “Babad Nitik Sultan Agung”, Sultan Agung diceritakan sebagai sosok taat agama.

Terlepas dari motif apapun, Sultan Agung telah melakukan sebuah perubahan besar kala itu. Bahkan Kalender Jawa yang berlaku sekarang dianggap peninggalan berharga Sultan Agung dalam tradisi Islam-Jawa di Nusantara.

Kalender Jawa pada awalnya adalah Kalender Saka (Hindu) yang berdasarkan perhitungan edar matahari (Solar System). Namun ada pula yang mengatakan Kalender ini menggunakan kombinasi edar bulan dan edar matahari (Lunisolar System). Kalender ini dibuat pada 78 SM yang kemudian dibawa ke Tanah Jawa pada masa pra-Islam.

Pada Kalender Saka, penentuan awal bulan ditentukan dengan konjungsi. Dalam istilah astronomi, artinya posisi matahari dan bulan berada segaris di bidang ekliptika yang sama. Hal ini membuat tanggal kalender Saka umumnya lebih dahulu sehari dari tanggal kalender Hijriyah yang diawali munculnya hilal.

Bulan dalam Kalender Saka dibagi menjadi dua bagian, yaitu separuh terang (paro terang) dan separuh gelap (paru gelap). Masing-masing bagian berjumlah 15 atau 14 hari. Dan sebagaimana kalender lainnya, Kalender Saka membagi tahun menjadi 12 bulan dan satu minggu dibagi menjadi 7 hari.

Penghitungan awal tahun saat Kalender Saka dibuat adalah tahun Nol. Ini manifestasi konsep sunya (kosong) dalam ajaran Hindu. Di Indonesia Tahun Baru Saka disebut dengan Hari Raya Nyepi. Di hari itu pemeluk Hindu melakukan ritual mengosongkan diri dari aktivitas sehari-hari (sunya, atau sunyi).

Kalender Saka tetap dipakai di Jawa sampai awal abad ke-17. Setelah masuknya Islam dan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, barulah Kalender Hijriah digunakan. Pada masa itu, Kesultanan Demak, Banten, dan Mataram menggunakan Kalender Saka dan Kalender Hijriyah secara bersamaan.

Berdasarkan “Babad Nitik Sultan Agung”, pada tahun 1633 Masehi (1555 Saka atau 1043 Hijriyah), Sultan Agung yang bergelar lengkap Sultan Agung Ngabdurahman Sayidin Panotogomo Molana Matarami mengeluarkan dekrit menghapus Kalender Saka dan mengubahnya menjadi Kalender Jawa.

Penyesuaian kalender tersebut diperintahkan melalui Dekrit Sultan Agung yang berlaku di seluruh wilayah kerajaan Mataram II. Wilayah tersebut meliputi seluruh pulau Jawa dan Madura kecuali Banten, Batavia dan Banyuwangi. Ketiga daerah ini tidak termasuk wilayah kekuasaan Sultan Agung.

Perubahan Kalender Jawa dimulai pada hari Jumat Legi, tanggal 1 Sura tahun Alip 1555 Saka, bertepatan pada 1 Muharram 1043 Hijriyah atau 8 Juli 1633 Masehi.  Mengapa penentuan tahun dalam Kalender  Jawa langsung menunjuk tahun 1555 bukan tahun 0 atau tahun 1?

Hal ini karena Sultan Agung tidak ingin melupakan budaya Jawa yang sudah melekat di masyarakat. Karenanya diputuskan perhitungan tahun dimulainya Kalender Jawa meneruskan Kalender Saka yang sedang berjalan.  Keputusan ini disetujui dan diikuti oleh Sultan Abul-Mafakhir Mahmud Abdulkadir (1596-1651) dari Banten. Sejak itu Kalender Saka sudah tidak dipakai di Tanah Jawa.

Perubahan nama bulan juga dilakukan.  Nama-nama bulan disesuaikan dengan lidah Jawa: Sura, Sapar, Rabingulawal, Rabingulakir, Jumadilawal, Jumadilakir, Rejeb, Saban, Ramelan, Sawal, Dulkangidah, Dulkijah. Untuk Bulan Muharram Kalender  Jawa menyebutnya Bulan Sura (Suro) yang mengacu pada Hari Asyura 10 Muharram.

Kemudian adapula sebutan Bulan Ruwah yang sebenarnya adalah bulan Saban (Sya’ban). Sebutan Ruwah mengacu pada bulan mendoakan arwah keluarga yang telah wafat sebelum memasuki Bulan Ramadhan. Bulan Ramadhan sendiri disebut ‘Ramelan’ dalam lidah Jawa.

Begitu dengan nama hari, Sultan Agung mengganti nama hari Kalender Saka sesuai nama hari Kalender Hijriah. Nama-nama tersebut disesuaikan dengan lidah Jawa, yaitu  Ahad, Senen, Seloso, Rebo, Kemis, Jumuwah, dan Saptu.

Menariknya, hari-hari pasaran atau Pancawara (Pahing, Pon, Wage, Kliwon dan Legi) tetap dipakai pada kalender Jawa. Sebab Pancawarna adalah konsep asli masyarakat Jawa, bukan diambil dari Kalender Saka atau budaya India. Justru ketika Kalender Saka digunakan di Jawa, konsep Pancawarna ini yang dilekatkan di kalender Saka. Kini konsep itu dilekatkan di Kalender Jawa. (yas)