Hikmah Alawiyah
Image default
Hikmah Manaqib

Guru Tua SIS Al Jufri (Palu), Menghabiskan Hidupnya untuk Mengajar

Al-Habib Idrus bin Salim Al-Jufri atau lebih dikenal dengan SIS Al-Jufrie atau biasa dipanggil Guru Tua merupakan ulama terkemuka di Indonesia Timur sekaligus pejuang pendidikan agama di Tanah Air.

Beliau dilahirkan di Taris, Hadramaut, Yaman, pada 15 Maret 1892. Ayahnya, Habib Salim bin Alwy Aljufri menjabat Qadhi dan Mufti Taris. Dikenal sebagai ilmuwan dan tokoh yang memiliki banyak karangan dan tulisan dari berbagai bidang ilmu. Sedangkan kakeknya adalah ulama yang masyhur, dimana termasuk satu dari lima ahli fiqh Hadramaut yang  fatwanya termuat dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin karangan Sayyed  Abdurrahman Almasyhur.

Selagi muda, Guru Tua belajar ilmu agama dan bahasa Arab dari ayahnya dan ulama-ulama masyhur di Hadramaut. Beliau hidup dan besar dalam lingkungan ilmu pengetahuan dan senantiasa melazimi para ulama serta mengambil dan menimbah ilmu dari sumber yang murni. Setelah ayahnya wafat, Guru Tua dilantik menjadi  Qadhi dan Mufti  Taris menggantikan ayahnya.

Anti Penjajahan

Dikabarkan, Guru Tua pertama kali datang ke Indonesia pada usia 17 tahun. Namun perjalanan ini tidak banyak tercatat sehingga kurang diketahui informasinya. Sedangkan perjalanan kedua Guru Tua terjadi pada tahun 1922, kisah inilah yang banyak tercatat.

Bukan saja di bidang agama, Guru Tua juga memiliki perhatian besar dengan kondisi sosial politik di negerinya yang kala itu di bawah cengkraman Inggris. Tahun 1922 Guru Tua merencanakan sebuah perjalanan keluar negeri. Tujuannya, ingin memberitakan ke dunia luar apa yang sedang terjadi di negerinya.

Beliau bersama sahabatnya Habib Abdurrahman bin Ubaidillah As-Saqqaf, keduanya merupakan tokoh agama dan wakil dari para ulama lain yang mempelopori perjuangan kemerdekaan. Mereka membenci penjajah serta suasana kacau yang berkembang di Hadramaut khususnya wilayah Arab sebelah Utara secara keseluruhan.

Para ulama saat itu berpendapat bahwa berhubungan dengan negara-negara Arab yang merdeka dan dunia luar adalah sesuatu yang amat penting untuk merubah keadaan di dalam negeri sekaligus memerdekakan negara. Maka tugas politik yang sangat berbahaya itu diserahkan kepada Guru Tua yang  menerimanya penuh dengan tanggung jawab.

Rencana pun disusun. Guru Tua akan keluar melalui pelabuhan Aden selanjutnya ke Yaman dan Mesir. Jika sampai di sana, tugas selanjutnya menjelaskan keadaan negerinya kepada masyarakat Arab dan dunia secara keseluruhan.

Pada hari pelaksanaan, diceritakan Guru Tua berhasil sampai ke Pelabuhan Aden. Tapi terjadi hal yang tidak diduga, Pemerintah Inggris mengetahui rencana tersebut. Ada dugaan, rencana ini bocor. Guru Tua ditahan dan diinterogasi di Pelabuhan Aden.  Seluruh dokumennya disita. Beliau dilarang melanjutkan perjalanan ke Arab. Namun Pemerintah Inggris memberi maklumat, beliau diperbolehkan kembali ke Hadramaut atau pergi ke Asia Tenggara. Akhirnya Guru Tua memilih Asia Tenggara dan memutuskan pergi ke Hindia Belanda (Indonesia).

Perjuangan di Indonesia

Di Indonesia Guru Tua menetap di Pekalongan, tidak dijelaskan berapa lama. Yang pasti di kota itu beliau menemukan pasangan hidupnya, Syarifah Aminah binti Thalib yang dinikahinya dengan penuh kesederhanaan. Untuk mencukupi kebutuhan, Guru Tua  berdagang kain batik.

Setelah cukup lama berdagang, usahanya ternyata tidak menuai hasil. Hal ini karena pikiran dan semangat Guru Tua bukanlah menjadi pedagang. Beliau sangat menggairah dengan dunia pendidikan. Cita-cita terbesarnya adalah mendirikan pondok pesantren, majelis taklim, atau sekolah agama.

Cita-citanya mulai terajut ketika beliau pindah ke Solo dan diminta mengajar di Madrasah Rabithah Al-Alawiyyah. Setelah beberapa lama mengajar, beliau memutuskan untuk meneruskan cita-cita besarnya. Guru Tua sempat tinggal di Jombang untuk beberapa waktu sebelum memutuskan hijrah ke Palu, Sulawesi Tengah.

Di kota tersebut, dengan semangat dakwah yang tinggi akhirnya caita-caita beliau mendirikan sekolah Islam tercapai. Guru Tua resmi mendirikan Madrasah “Al-Khairat” pada 11 Juni 1930. Kehadiran Madrasah “Al-Khairaat” di kota Palu menjadi tinta emas perkembangan pendidikan agama Islam di wilayah Palu. Melalui madrasah yang dibangunnya, Guru Tua terus mengibarkan dakwah islam di bumi Sulawesi.

Guru Tua bukan hanya mengajarkan agama kepada murid-muridnya. Tetapi juga pendidikan karakter, pendidikan yang berkaitan dengan wawasan kebangsaan. Apalagi pada masa itu, Indonesia masih dibawah cengkraman kolonialisme.

Awal keberadaan Al-Khairaat sempat dilarang pemerintah Belanda karena ajaran Guru Tua, khususnya yang bersumber dari kitab Izhatun Nasyi`in, karya Musthafa Al-Ghalayani. Kitab itu dianggap berbahaya karena dapat membangkitkan semangat juang rakyat untuk melakukan perlawanan. Perlakuan seperti itu masih tetap diberlakukan oleh Pemerintah Jepang juga ketika itu.

Mesi begitu, semangat berdakwah tidak padam. Beliau tetap mengajar dan terus bergerilya sambil mengajar. Diceritakan beliau sempat berpindah-pindah tempat mengajar sehingga selama 15 tahun, Guru Tua berhasil mendirikan 400 madrasah yang meliputi ibtidaiyah, tsanawiyah, aliyah dan mualimmin (setingkat diploma) dengan berbagai penjuru Sulawesi.

Setelah Proklamasi kemerdekaan, Al-Khairaat terus berkembang. Pada 21 Agustus 1956, Al-Khairaat bahkan telah berhasil menyelenggarakan muktamar yang diikuti oleh ribuan santrinya.

Kini, Al-Khairaat telah memiliki 7.000 staf pengajar dengan 1.400 unit pendidikan. Sedangkan satriny amencapai puluhan ribu orang. Pada tanggal 22 Desember 1969, Guru Tua wafat. Beliau merupakan contoh konkrit pendakwah yang menyebarkan ilmu agama.

Mempertaruhkan seluruh hidupnya dalam mengarungi perjalanan panjang dengan berbagai sarana ke kepulauan di sekitar Sulawesi dan Muluku untuk menyiarkan pengetahuan Islam.

Beliau berpindah dari satu pulau ke pulau yang lain menggunakan perahu sampan, gerobak sapi dan kenderaan lainnya bahkan dengan berjalanan kaki dengan bermacam risiko, tantangan dan bahaya yang selalu mengancam di setiap saat. Akan tetapi Habib ldrus selalu merasakan kenikmatan di antara pertaruhan jiwanya dan beliau rela memberikan apa saja meski jiwanya sekalipun.

Ketabahannya dalam mengarungi pelayaran itu sampai berbulan-bulan lamanya. Dan kadang-kadang perjalanan itu di tempuh dengan berjalan kaki jika tidak mendapatkan alat-alat transportasi.

Jasa beliau bagi bangsa ini begitu besar, terutama dalam bidang pendidikan agama Islam. Untuk mengenang jasa beliau, pada tahun 2014 Presiden RI kala itu, Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan perubahan nama Bandara Mutiara Palu, menjadi Bandara Mutiara Bandara Mutiara SIS Al-Jufri. Arti SIS pada nama tersebut adalah kependekan dari Sayid Idrus Salim.