Hikmah Alawiyah
Image default
Hikmah Manaqib

Habib Ali bin Husain Al-Attas, Rujukan dan Kecintaan Umat

Ia dikenal sangat alim, tenang, memiliki kharisma dan berwibawa, menempati kedudukan yang sangat tinggi di kalangan ulama dan masyarakat awam.

Habib Ali bin Husain Al-Attas, yang terkenal dengan sebutan Habib Ali Bungur, adalah salah seorang rujukan terpenting bagi para habib dan ulama di Jakarta. Murid-muridnya banyak yang menjadi tokoh terkemuka, di antaranya Habib Muhammad bin Ali Al-Habsyi (putra Habib Ali Kwitang), Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih (Malang), K.H. Abdullah Syafi`i, K.H. M. Syafi`i Hadzami, K.H. Thohir Rohili, K.H. Abdurrazzaq Ma`mun, Prof. K.H. Abubakar Aceh (penulis terkenal dan produktif di masanya).

Habib Ali bin Husain Al-Attas, atau lengkapnya Habib Ali bin Husain bin Muhammad bin Husain bin Ja`far bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Umar bin Abdurrahman Al-Attas, lahir di Huraidhah, Hadramaut, pada tanggal 1 Muharram 1309 H (6 Agustus 1891 M). Sejak usia enam tahun ia belajar ilmu-ilmu keislaman pada sebuah ma`had di Hadramaut.

Pada tahun 1912 ia menunaikan ibadah haji dan kemudian menetap di Makkah untuk menuntut ilmu selama lima tahun. Setelah itu ia kembali ke Huraidhah dan mengajar di sana. Tiga tahun kemudian, ia tiba di Jakarta – dan menetap hingga akhir hayatnya.

Setelah tinggal di ibu kota, ia banyak berhubungan dengan para tokoh habib terkemuka di Indonesia; dan mengambil ilmu, sanad, dan ijazah dari mereka. Di antaranya, Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas (Bogor), Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar (Bondowoso), Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Attas (Pekalongan), Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi.

Semasa hidupnya, Habib Ali dikenal sangat alim, tenang, memiliki kharisma dan berwibawa, menempati kedudukan yang sangat tinggi di kalangan ulama dan masyarakat awam. Tokoh ulama dan habib terkemuka ini selama lebih dari 50 tahun mensyiarkan ilmu-ilmu agama Islam dengan membuka majelis ta’lim di rumahnya.

Para penuntut ilmu dan pecintanya datang dari berbagai tempat. Ada yang mengikuti pengajian-pengajian umum (di lingkungan pesantren dikenal dengan istilah bandongan), ada pula yang khusus (sorogan). Dia juga mengajar di tempat-tempat lain, misalnya di Perguruan Asy-Syafi`iyyah, yang didirikan oleh salah seorang muridnya, K.H. Abdullah Syafi`i.

Guru yang Penyayang

Lewat tangan Habib Ali, lahir sebuah karya besar dan penting, kitab Taj al-A`ras fi Manaqib al-Habib al-Quthb Shalih bin Abdullah Al-Aththas. Terdiri dari dua jilid tebal, jilid pertama 812 halaman (termasuk daftar isi) sedangkan jilid kedua 867 halaman. Dalam kitab yang diterbitkan tahun 1977 ini, Habib Ali menguraikan perjalanan hidup banyak tokoh ulama dan orang-orang terkemuka yang pernah ia jumpai, khususnya di Hadramaut, baik dari kalangan habaib maupun yang lain.

Dalam kitab yang terbilang langka ini, juga terdapat ulasan-ulasan mengenai persoalan-persoalan penting. Baik yang berkaitan dengan habaib maupun yang bersifat umum. Seperti dalil-dalil tentang karamah para wali, bahasan tentang `ilmul-yaqin, haqqul-yaqin, dan `ainul-yaqin. Juga mengenai Thariqah Alawiyah, pandangan ulama Alawiyin mengenai karya-karya Ibnu `Arabi, air zamzam, firasat orang mukmin sebagaimana yang tertera dalam hadits, ruqyah.

Dibahas pula mengenai penjajahan Inggris terhadap Hadramaut, keadaan Hadramaut sebelum dijajah, serangan kaum Wahabi di Huraidhah dan Wadi `Amd, masuknya Islam di Jawa, Sultan Hasanuddin Banten, Perang Dunia II, mengenai Imam Yahya dari Yaman, tentang Betawi, Pemakaman Tanah Abang, kisah Laila dan Majnun. Juga persoalan-persoalan fiqh dalam Madzhab Syafi`i, celak mata, dan lain-lain.

Salah seorang murid utama Habib Ali Bungur adalah K.H. M. Syafi`i Hadzami. Ulama terkemuka Betawi yang sangat alim ini (wafat 7 Mei 2006) mengaji kepada Habib Ali sejak sekitar tahun 1958 sampai sang guru wafat pada tahun 1976. Banyak sekali kitab yang dipelajari dari Habib Ali Bungur.

Kepindahan Kiai Syafi`i Hadzami dari Kebon Sirih ke Kepu, Kemayoran, adalah agar ia dapat lebih dekat dengan Habib Ali, yang tinggal di daerah Bungur, Senen. Seperti beberapa murid Habib Ali yang lain, Muallim – demikian Kiai Syafi`i Hadzami dipanggil para muridnya – juga datang dengan membaca kitab di hadapannya. Dan itu dilakukan sebelum ia berangkat kerja ke kantornya di RRI, Jln. Merdeka Barat.

Ada pengalaman-pengalaman menarik yang dituturkan oleh Muallim Syafi`i, sebagaimana tersebut dalam biografinya, Sumur yang tak Pernah Kering, berkaitan dengan gurunya ini. Di antaranya, dan yang paling berkesan, adalah kisah berikut.

Suatu hari Habib Ali sakit, Syafi’i datang menjenguk. Sebagai penghormatan kepada guru dan untuk menjaga adab, ia melepas sandalnya di luar.

Melihat Muallim melepaskan sandalnya, Habib Ali menyuruhnya untuk memakainya lagi. Tentu saja Muallim menolak. Habib Ali pun kembali menyuruhnya. Muallim tetap tidak mau, karena ia begitu menghormati gurunya. Tidak lama kemudian Habib Ali keluar dari kamarnya. Dia mengambil sandal Muallim dan menyuruhnya untuk memakainya. Muallim terkejut dengan perlakuan gurunya tersebut. Selain menunjukkan kecintaan yang luar biasa kepada muridnya, itu juga menandakan akhlaq Habib Ali yang memang sangat dikagumi orang.

Kecintaannya kepada Muallim Syafi`i Hadzami adalah suatu hal yang wajar, karena pada saat mengaji ia terlihat begitu menonjol. Sehingga, pada suatu ketika Habib Ali melantunkan sebuah syair yang ditujukan kepadanya:

Siapa yang dapat menunjukkan kepadaku

seperti perjalananmu yang dimudahkan

Engkau berjalan perlahan-lahan

tetapi engkau sampai terlebih dahulu

Syair tersebut dituturkan Habib Ali di hadapan beberapa teman mengaji Muallim, setelah dia mengetahui kumpulan fatwa Muallim Syafi`i di Radio Cendrawasih telah diterbitkan. Betapa besar perhatian Habib Ali kepada muridnya ini, sampai-sampai dia sendiri sering mendengarkan acara di radio ketika Muallim Syafi`i sedang menyampaikan fatwa-fatwanya sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan para pendengar. Habib Ali senang dengan jawaban-jawaban Muallim dan menyatakan pujiannya.

Ada lagi pengalaman yang mengesankan bagi Muallim. Seminggu menjelang wafat, Habib Ali memberikan ijazah kepadanya. Muallim merasa senang, tapi sekaligus heran.

Suatu hal yang wajar bila Muallim merasa senang, karena pemberian ijazah itu menandakan kecintaan sang guru kepadanya, juga menunjukkan pengakuan atas ilmu yang dimilikinya. Namun ia juga merasa heran. Karena, selama puluhan tahun mengaji, gurunya ini belum pernah berbicara tentang ijazah. Karena itu, ada perasaan tidak enak pada diri Muallim. Barangkali dia akan segera pergi meninggalkannya. Begitulah pikiran yang ada dalam benaknya.

Ternyata kekhawatiran itu menjadi kenyataan. Seminggu sesudah itu Habib Ali wafat, tepatnya pada tanggal 16 Februari 1976,  dimakamkan di komplek pemakaman depan Masjid Al-Hawi, Kramat Jati, Cililitan, Jakarta Timur.

Ulama Besar

Mengenai berita wafatnya, harian Pelita tanggal 17 Februari 1976 menyebutkan, penduduk Jakarta sangat berduka atas berita wafatnya seorang alim besar, Habib Ali bin Husain Al-Attas, di rumahnya, Jln. Bungur, Senen, Jakarta Pusat, dalam usia 88 tahun.

Keesokan harinya surat kabar ini kembali memuat berita tentang Habib Ali  dan menggambarkan suasana pemakamannya. Disebutkan, ribuan kaum muslim mengantarkan jenazah ke tempat peristirahatannya yang terakhir.

Dalam acara pemakaman, sejumlah tokoh ulama menyampaikan sambutan. Yang menalkinkannya adalah Habib Ali bin Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Attas dari Pekalongan. Dan yang memberi sambutan sebagai perwakilan pemerintah yakni Dr. K.H. Idham Chalid, ketua DPR/MPR ketika itu,  yang juga salah seorang muridnya.

Selama beberapa waktu, kesedihan terus dirasakan murid-murid dan para pecintanya pada khususnya, serta kaum muslimin pada umumnya, atas kepergian ulama terkemuka yang sangat mereka cintai.

Untuk mengenang peran dan jasanya, harian Pelita pada tanggal 24 Februari 1976 memuat artikel tentang Habib Ali yang ditulis oleh Prof. K.H. Saifuddin Zuhri, mantan menteri agama.

Setiap tahun pada hari Selasa terakhir bulan Rabi’ul Awwal selalu diadakan haul Habib Ali Bungur di daerah Condet, Jakarta Timur. Dalam kesempatan itu ribuan orang hadir, termasuk mereka yang pernah belajar kepadanya.

Kecintaan mereka kepada Habib Ali tak pernah surut. Banyak di antara mereka, yang setiap kali melewati makamnya, menyempatkan diri untuk menziarahinya, atau setidaknya membacakan surah Al-Fatihah dan mendoakannya.(AY)