Hikmah Alawiyah
Image default
Hikmah Manaqib

Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar, Hari Raya yang Terus-menerus  

 Hari-hari di kediamannya seolah menjadi hari raya yang terus-menerus. Ia menerima dan mengurus para tamu dengan senang hati dan penuh penghormatan.

Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar menurut beberapa sumber disebutkan lahir di Desa Quwairah, Du`an, Hadhramaut, pada bulan Rajab tahun 1280 H/Desember 1863 M. Namun kitab Tarikh Asy-Syu`ara’ Al-Hadhramiyyin menyebutkan, ia lahir di Desa Jubail, Du`an. Sebagaimana dirinya, ayahnya, Habib Ahmad bin Muhammad Al-Muhdhar (kelahiran Ar-Rasyid Ad-Du`aniyah 1217 H/1802 M dan wafat tahun 1304 H), juga seorang tokoh besar.

Ia tumbuh sebagaimana anak-anak keluarga Alawiyin dan keluarga ulama pada umumnya Pertama-tama ia dididik oleh ayahnya. Ia mengambil macam-macam ilmu darinya dan banyak membaca kitab kepadanya. Tak terhitung lagi banyaknya ijazah, wasiat, ilbas (pengakuan), dan sebagainya, yang diterimanya dari sang ayah. Kelebihan-kelebihannya yang tampak sejak kecil, membuatnya sangat disukai ayahnya. Bagi sang ayah, ia benar-benar penyejuk matanya.

Ia juga sempat mendapat didikan dari kakaknya, Habib Hamid bin Ahmad Al-Muhdhar. Setelah itu, ia berguru kepada para tokoh ulama di masanya. Menurut salah seorang anaknya, Habib Abdullah bin Muhammad Al-Muhdhar, sebagaimana disebutkan dalam kitab Tarikh Asy-Syu`ara’ Al-Hadhramiyyin, guru-gurunya lebih dari tiga puluh orang. Antara lain, Al-Allamah Al-Habib Ahmad bin Abdullah bin Idrus Al-Bar, Al-Allamah Al-Habib Thahir bin Umar Al-Haddad, Al-Allamah Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-Attas, Al-Habib Ali bin Muhammad bin Husain Al-Habsyi, Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad bin Husain Al-Masyhur.

Di antara sekian banyak gurunya, ia paling sering berhubungan dengan Habib Ahmad bin Hasan Al-Attas dan selalu menyertainya. Ia membaca beberapa kitab kepadanya, di antaranya al-Muhadzdzab. Dalam kitab Tajul A`ras karya Habib Ali bin Husain Al-Attas (Habib Ali Bungur), dikisahkan kejadian unik ketika Habib Muhammad Al-Muhdhar mengkhatamkan kitab itu kepada gurunya tersebut:

“Saya membaca kitab Al-Muhadzdzab pada Al-Walid Ahmad bin Hasan ketika beliau mengunjungi Du`an. Tetapi ketika itu tidak mudah bagi kami untuk menyelesaikannya. Maka beliau meminta saya menemaninya dalam perjalanan pulang ke Huraidhah untuk menyempurnakannya. Akhirnya saya dapat menyelesaikan pembacaan kitab itu pada beliau di hari keberangkatan kami dari Qaidun. Ketika itu kami berjalan mengendarai dua ekor kuda berdampingan.”

Mengkhatamkan kitab kepada guru di mana masing-masing berada di atas kuda dengan berdampingan merupakan kejadian yang langka dan sungguh menjadi pengalaman yang unik dan menarik.

Sepeninggal sang ayah, Habib Muhammad Al-Muhdhar bersama kakaknya, Habib Hamid, bagaikan dua sekawan yang bahu-membahu menjalankan apa yang sebelumnya dijalankan oleh ayah mereka dalam lapangan ilmu dan dakwah.

Kemudian Habib Muhammad mengadakan perjalanan ke Singapura dan Jawa. Di sana ia selalu disambut hangat orang banyak. Setelah itu ia kembali ke negerinya, juga disambut penuh penghormatan. Ketika dirasa sudah melaksanakan dengan baik peran orangtuanya, sang kakak, Habib Hamid, pergi ke Haramain.

Sekembali kakaknya tahun 1308 H/…. M, Habib Muhammad Al-Muhdhar meninggalkan Hadhramaut, yang ternyata menjadi perpisahan selamanya. Ia pergi menuju Hyderabad, India, sebagai tamu Sulthan `Awadh bin Umar Al-Qu`aythi. Di sana orang-orang dari berbagai bangsa dan lapisan masyarakat berdesak-desakan menemuinya.

Kemudian ia pergi ke Jawa dan menetap di Bondowoso, Jawa Timur. Selama di sana ia menjadi tokoh yang sangat termasyhur, pemimpin yang sangat disegani, guru yang sangat dihormati karena ilmunya, sifat sufinya, petunjuknya, dan bimbingannya. Kemudian ia bertemu Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi, yang sangat menghormati dan senang kepadanya. Tak lama kemudian Habib Muhammad bin Idrus menikahkan dia dengan putrinya.

Ketika telah hijrah ke Tanah Jawa pun Habib Muhammad Al-Muhdhar masih tetap mengambil ilmu dari para tokohnya. Di antaranya Al-Allamah Al-Habib Abdullah bin Muhsin bin Muhammad Al-Attas, Al-Allamah Al-Habib Ahmad bin Thaha bin Alwi Asseggaf, Al-Allamah Al-Habib Abdul Qadir bin Idrus bin Alwi Asseggaf, Al-Allamah Al-Habib Muhammad bin Idrus bin Muhammad Al-Habsyi, dan Al-Allamah Al-Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Attas, meskipun ia pernah meng-ilbas dan memberikan ijazah kepadanya.

Ia adalah seorang yang alim, menguasai berbagai cabang ilmu agama, pembicara yang sangat berpengaruh, dan terkenal di berbagai tempat. Orang-orang mendatanginya karena kebesaran dan keluasan ilmunya. Ia pun seorang yang langka dalam hal kekuatan hafalannya. Jika di dalam majelisnya disebut nama seorang perawi atau ulama, ia paparkan riwayat hidupnya dengan sangat memadai. Bila membahas topik tertentu, ia jelaskan dengan semestinya.

Santun dan Bijak

Habib Muhammad Al-Muhdhar juga sosok yang mempesona dan berdaya tarik besar. Wajahnya tampan, tubuhnya gagah, dan kulitnya putih. Setiap yang melihat pasti segan dan senang terhadapnya. Di mana saja ia datang, orang-orang berkerumun mengelilinginya.

Yang membuat mereka senang di antaranya karena ia selalu menyampaikan amar ma`ruf nahi munkar dengan penyampaian yang bagus serta dengan kalimat yang santun dan bijak. Tak mengherankan bila ucapannya diterima orang dan keinginannya pun dituruti. Peringatan dan nasihatnya memiliki pengaruh yang mendalam pada jiwa orang yang mendengarnya.

Orang-orang juga mengenalnya sebagai sosok yang senantiasa tampil dengan elok. Kendaraannya adalah kendaraan terbagus, dan makanannya pun makanan terbaik. Semuanya serba mewah untuk ukuran zamannya, termasuk peralatan rumah tangga dan pakaiannya yang halus. Senang kepada segala yang indah memang merupakan salah satu tabiatnya.

Senang kepada para tamu juga menjadi salah satu sifatnya yang sangat menonjol. Kediamannya menjadi tujuan para tamu. Jangan heran bila rumah-rumahnya, masjidnya, dan madrasah-madrasahnya senantiasa ramai dikunjungi orang. Hari-hari di tempatnya seolah menjadi hari raya yang terus-menerus. Ia menerima dan mengurus mereka dengan senang hati dan penuh penghormatan dan penghargaan.

Ia menyambut tamu hingga depan rumah dengan wajah yang berseri-seri. Terkadang bahkan ia langsung menyambut mereka di stasiun dengan membawa panji-panji dan genderang bersama murid-murid dan pengikutnya. Itu tak lain untuk menunjukkan rasa senang, gembira, dan penghargaannya. Sikap dan perilakunya membuat setiap orang menganggap bahwa dirinya adalah orang yang paling dekat dengannya dan paling dicintai olehnya.

Kemurahan dan akhlaqnya sering diceritakan orang. Kedermawanannya sulit ditandingi. Sangat banyak pribadi yang dibantunya, dan ia tidak membeda-bedakan mereka. Jika orang yang memiliki kesusahan datang kepadanya, ia hilangkan kesusahannya. Jika orang yang memiliki utang meminta bantuan, ia berikan sebagian hartanya.

Dalam ta`liq (komentar) kitab Syams azh-Zhahirah oleh Sayyid Muhammad Dhiya’ Shahab, disebutkan, ia pernah melunasi utang sahabatnya sebesar dua puluh ribu gulden. Meskipun demikian, ia tak pernah menyebut-nyebut kebaikannya.

Pintu rumahnya senantiasa terbuka bagi mereka yang memiliki tujuan atau yang ingin sekadar singgah, baik orang yang dekat dengannya maupun yang jauh, bahkan juga orang-orang yang tak memiliki hubungan apa-apa dengannya. Terkadang ia menyembelih kambing sampai 20 ekor untuk para tamunya yang sangat banyak berkunjung ke tempatnya. Biaya hidup sehari-harinya lebih banyak daripada biaya hidup para pembesar.

Jika datang kepadanya orang yang lapar, orang itu dapat makan di tempatnya sampai kenyang. Hidangannya selalu terbentang. Rombongan demi rombongan makan di tempatnya setiap hari. Orang-orang merasa heran dengan keberkahan makanan itu.

Jika berpergian, ia naik kereta kelas satu dan memang ia sangat pantas dan layak untuk itu. Ia sangat dihormati bukan hanya oleh para tokoh yang lebih muda atau seusia, melainkan juga mereka yang lebih tua darinya. Ketika orang memandangnya, tampak cahayanya, karena senantiasa berdzikir siang dan malam. Wibawanya demikian terlihat, bahkan meski hanya memandang fotonya. Orang membayangkan pada dirinya kewibawaan para imam ahlul bayt.

Kedudukan dan pengaruhnya tidak terbatas pada kalangan Alawiyin atau masyarakat Arab saja, melainkan juga merata pada semua kalangan muslim, khususnya di Jawa, bahkan juga orang-orang Belanda dan para pejabat pribumi.

Ia juga menjalin hubungan baik dengan para ulama dan tokoh di berbagai belahan dunia. Dengan mereka, ia sering berkorespondensi. Di antaranya pada tahun 1347 H/…. M ia bersama Habib Muhammad bin Ali Al-Hiyed, Habib Abdurrahman bin Ubaidillah Asseggaf, dan Habib Muhammad bin Agil bin Yahya, berkorespendensi dengan Imam Yahya, penguasa Yaman kala itu. Di samping itu ada pula surat pribadinya (tidak dengan yang lain) kepadanya.

Semasa hidupnya, Habib Muhammad Al-Muhdhar dikenal memiliki perhatian sangat besar terhadap umat dan masyarakat pada umumnya. Segala upaya ia kerahkan untuk melakukan perbaikan di mana saja.

Menyadari pentingnya kebersamaan dalam membangun masyarakat, ia tak hanya bertindak sendiri. Para hartawan pun ia dorong untuk mau melakukan perbuatan-perbuatan baik. Tak terhitung lagi banyaknya madrasah, rumah yatim, dan masjid yang dibangun berkat usahanya.

Di antara masjid-masjid yang dibangunnya adalah masjid di Pemalang, Bondowoso, Situbondo, Berani, dan di beberapa tempat lain. Madrasah Al-Khairiyah, Surabaya, serta Jamiat Kheir dan Daarul Aitam, Jakarta, adalah juga sebagian lembaga yang dibantunya. Ia juga mengupayakan berdirinya Madrasah Al-Falah, Bondowoso, tahun 1332 H.

Mustajab Doanya

Ghirah (kecemburuan sehingga selalu ingin membela) Habib Muhammad Al-Muhdhar terhadap Islam, Rasulullah, ahlul bayt-nya, para ulama, dan orang-orang shalih, sangat tinggi. Bila ada yang memusuhi mereka atau membicarakan yang buruk tentang mereka, baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat, ia sangat menentangnya.

Perhatiannya terhadap ilmu sangat besar. Wajar jika wawasan keilmuannya juga luas. Jika tak ada tamu, sebagian besar waktunya digunakan untuk membaca dan menelaah kitab-kitab, baik sendiri maupun bersama orang lain. Yang dibacanya kebanyakan kitab-kitab hadits, tasawuf, dan sirah. Biasanya yang membacakan adalah putranya, Alwi.

Di majelisnya, ia tidak suka menyebut-nyebut perihal dunia, karena malu kepada Allah. Jika ia datang ke kota-kota lain, majelisnya dipenuhi orang dari mana-mana. Orang tua maupun anak muda ingin sekali menghadiri majelisnya.

Banyak tokoh besar yang tercatat sebagai muridnya, di antaranya putra-putranya sendiri, terutama Habib Abdullah bin Muhammad dan Habib Alwi bin Muhammad, keponakannya, Habib Abdullah bin Hadun bin Ahmad Al-Muhdhar, juga Habib Alwi bin Segaf bin Ahmad Assegaf, Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi, Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf, Habib Umar bin Idrus bin Alwi Al-Aydrus, Habib Alwi bin Muhammad bin Thahir Al-Haddad, Habib Umar bin Muhammad bin Ibrahim Assegaf, kakak-beradik Habib Abdullah bin Thahir bin Abdullah Al-Haddad dan Habib Alwi bin Thahir bin Abdullah Al-Haddad.

Adapun tokoh habaib yang lebih senior tapi sangat dekat dengannya adalah Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Attas, Pekalongan, yang ia anggap sebagai gurunya. Habib Muhammad sering mengunjunginya di Pekalongan. Jika Habib Muhammad datang, Habib Ahmad menyuruh murid-muridnya agar menyambutnya dengan nasyid yang menunjukkan kehangatan karena senang dengan kedatangannya. Meskipun Habib Muhammad Al-Muhdhar lebih muda dan menganggapnya sebagai gurunya, Habib Ahmad sangat menghormatinya. Habib Ahmad pun sering mengunjunginya. Bahkan, ketika telah lanjut usia dan telah lumpuh pula kakinya, Habib Ahmad bersama istri, anak-anak, dan sejumlah muridnya mengunjunginya di kediamannya di Bondowoso.

Habib Ahmad yakin, Habib Muhammad Al-Muhdhar adalah seorang yang mustajab doanya. Suatu ketika Habib Muhammad datang ke Pekalongan dan meminta izin kepadanya untuk pergi ke Jakarta. Ketika itu Habib Ahmad berkata kepadanya, “Saya teringat kepada anak saya, Ali. Saya ingin ia datang pada ‘Id tahun ini.”

Maka berkatalah Habib Muhammad kepadanya, “Insya Allah ia akan hadir pada hari `Id di tempat antum.” Ketika itu `Id sudah dekat sedangkan Habib Ali (putra Habib Ahmad) masih berada di Hadhramaut. Tidak ada pula surat dari ayahnya yang memintanya untuk datang.

Ketika Habib Muhammad Al-Muhdhar telah sampai di Jakarta, orang-orang berdatangan menyambutnya. Ia hadir di rumah seorang muhibbin, Ahmad bin Abdullah Basalamah, dan mengadakan rauhah (majelis yang sifatnya santai untuk mengisi waktu yang biasanya diadakan sore hari dengan membaca kitab-kitab yang ringan) setiap hari.

Di antara yang diceritakan oleh Habib Muhammad Al-Muhdhar mengenai  perjalanannya adalah apa yang terjadi antara dia dan Habib Ahmad mengenai masalah anaknya, Ali, di atas. Pada waktu ashar di hari kelima rauhah itu, tiba-tiba datang seorang tukang pos membawa telegram dari Habib Ahmad: Habib Muhammad al-Muhdhar di Betawi. Semoga Allah membahagiakanmu. Ali telah sampai Singapura. Ahmad bin Thalib al-Attas, Pekalongan.

Satu Jilid Buku Besar

Selain murid-murid yang banyak dan berbagai bangunan yang didirikannya, yang juga ia tinggalkan adalah sejumlah wasiat, ijazah, dan surat-surat dalam empat jilid besar dan sebuah diwan syair.

Pada malam Selasa tanggal 20 Syawwal 1344 H/4 Mei 1926 M, Habib Muhammad Al-Muhdhar wafat di Surabaya setelah sempat dirawat beberapa hari di sebuah rumah sakit di sana. Setelah berita wafatnya tersebar, orang-orang dari berbagai penjuru tumpah ruah di tempatnya untuk ikut mengantarkan jenazahnya

Selasa keesokan harinya ia dimakamkan dalam sebuah acara besar yang dihadiri orang-orang Arab dan kaum muslimin pribumi dari segala tempat. Jumlah yang hadir ditaksir sekitar 15.000 orang. Ia dimakamkan di pemakaman Habib Hasan Al-Habsyi di samping Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi, mertuanya dan orang yang sangat dekat dengannya.

Sejumlah ulama menyampaikan ratsa’ (ucapan duka cita yang berisi pujian) atas wafatnya Habib Muhammad Al-Muhdhar. Di antara mereka adalah murid-muridnya. Kemudian, Habib Abdullah bin Thahir bin Abdullah Al-Haddad, Habib Abdillah bin Hasan bin Muhammad bin Abu Bakar Bilfaqih, Habib Ahmad bin Muhammad bin Hamid Assegaf, Habib Aqil bin Ahmad bin Ali bin Abdurrahman Al-Munawwar, Habib Abdurrahman bin Ubaidillah bin Muhsin Assegaf, Habib Umar bin Ahmad bin Abu Bakar Bin Semith, Habib Salim bin Muhammad bin Abdurrahman Ar-Rawsy Assegaf.

Pujian-pujian orang terhadapnya ketika ia masih hidup, jika dikumpulkan, akan mencapai satu jilid buku besar. Di antara pujian terhadapnya yang terkenal adalah qashidah yang dibuat oleh Imam Yahya Hamiduddin, penguasa Yaman.  Habib Muhammad Al-Muhdhar meninggalkan lima anak laki-laki, Abdullah, Alwi, Sholeh, Husain, dan Muhdhar, serta tiga anak perempuan.

Wafatnya tokoh seperti Habib Muhammad Al-Muhdhar benar-benar merupakan kehilangan yang besar bagi umat Islam. Mereka sungguh kehilangan tokoh panutan yang telah memberikan banyak arti dalam kehidupan mereka. Wajarlah ketika berita wafatnya sampai ke tempat-tempat yang jauh, orang-orang berkumpul dan mengadakan tahlil untuknya. (AY)