Hikmah Alawiyah
Image default
Kitab/Buku Baru

“Metode Menjemput Maut” Menyikapi Kematian dalam Perspektif Sufistik

Kitab Ihya Ulumuddin hasil guratan pena teolog Islam paling terkemuka, Imam Al Ghazali, diakui sebagai karya besar yang sulit dicari tandingannya. Skala prestisenya sering diungkap oleh para ulama dalam kalimat ringkas, “Seandainya semua buku tentang Islam hilang, kecuali Ihya, niscaya cukuplah itu bagi umat muslim”.

Bukan hanya terjemahannya yang demikian berserak, telaahnya pun demikian banyak. Membayangkannya, setiap paragraf atau halamannya bahkan dapat menjadi sebuah buku baru. Sedangkan kitab ini terdiri dari puluhan ribu halaman.

Tak heran karya manusia unggul bernama lengkap Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191) ini menjadi salah satu kitab di dunia yang paling banyak dibahas, didiskusikan, dan dijadikan rujukan.

Kitab Ihya Ulumuddin terdiri dari empat pembahasan atau Rubu’, yakni Rubu’ Ibadah, Rubu’ Adat Kebiasaan, Rubu’ Al-Muhlikat  (Perbuatan yang Membinasakan),  dan Rubu’ Al-Munjiyat (Perbuatan yang Menyelamatkan). Setiap pembahasan terdiri dari 10 kitab.

Buku “Metode Menjemput Maut (Menyikapi Kematian dalam Perspektif Sufistik)” adalah terjemahan dari kitab ke-10 pembahasan Al-Munjiyat (Perbuatan yang Menyelamatkan), atau kitab penutup Ihya Ulumuddin. Diterjemahkan oleh Ahsin  Mohammad dari versi bahasa Inggris berjudul “The Remembrance of Death and The AfterLife” (The Islamic Text Society, Cambridge, Inggris, 1989).

Salah satu keistimewaan kitab Ihya adalah kemampuan Imam Al Ghazali memaparkan pengetahuannya ke dalam tingkat bahasa yang  dapat dipahami banyak orang. Begitu pun dengan buku ini, dalam pengantarnya, penerjemah  mengatakan “Metode Menjemput Maut” ditulis dengan bahasa yang dapat dipahami, tidak ditemukan simbolisme esotoris.

Dalam spiritualitas dikenal dengan dua tipe pemahaman spiritual, pertama “Eksoteris” (Bahasa Lahir) dan “Esoteris” (Bahasa Batin). “Eksoteris” yaitu melihat kulit atau terikat aspek fisik. Sedangkan “Esoteris” merujuk pada hakikat dibalik segala sesuatu.

Tafsir esotoris yang disampaikan dalam buku ini tidak berupa simbol-simbol yang sulit dipahami. Dalam bab ketiga misalnya, Imam Ghzali menggambarkan dengan gamblang betapa luar biasa sakitnya saat sakratul maut.

Rasa sakit yang dirasakan selama sakratul maut begitu menghujam jiwa dan menyebar ke seluruh anggota tubuh. Orang yang merasakan sakratulmaut merasakan dirinya ditarik-tarik dan dicerabut setiap urat syarafnya, setiap urat nadinya,  persendian, hingga akar-akar rambut.

Rasa sakit sakratulmaut nyaris tidak dapat dibayangkan akal. Lebih sakit dari tusukan tombak,  atau sabetan pedang. Para syuhada pada masa perang ketika itu,  bahkan memilih mati ditusuk 300 pedang daripada melewati sakratul maut di tempat tidur.

Imam Al Ghazali menulis, janganlah kau bertanya tentang pahitnya dan getirnya kematian ketika terjadi sakratulmaut. Karena itulah Rasullulah SAW bersabda, “ Ya Allah Tuhanku, ringankanlah sakratulmaut bagi Muhammad.” Sakitnya selama sakratulmaut dibahas penuh dalam salah satu bab.

Hari kematian, hari kebangkitan, hari perhitungan, dan hari peruntungan manusia atas surga dan neraka, haruslah menjadi perhatian dan tujuan setiap manusia yang berakal. Setiap manusia akan merugi jika kefanaan dunia ini justru menjadi pusat perhatian dalam hidupnya.

Imam Al Ghazali mengajak manusia untuk menjadikan  bumi sebagai tempat tidurnya, cacing sebagai karibnya, Munkar dan Nakir teman-temannya, kuburan tempat tinggalnya dan perut bumi tempat peristirahatannya, kebangkitan perjanjiannya,  dan surga neraka sebagai peruntungannya.

Tak layak dia melakukan persiapan atau rencana selain untuk menyambutnya. Semua harapan, kepedulian, energi, penantian, dan antisipasi harus dikerahkan untuknya semata. Sangatlah benar jika dia menyadari dirinya termasuk di antara mereka yang telah mati dan sebagai salah seorang penghuni alam kubur, sebab semua yang akan datang adalah dekat, sedangkan yang jauh tidak akan pernah datang.

Nabi Saw. telah bersabda, “Orang yang cerdas adalah orang yang mengadili dirinya sendiri dan beramal baik untuk kehidupan akhirat.”  Namun mengadakan persiapan untuk menghadapi sesuatu tidak akan mudah, kecuali jika ingatan tentang hal itu senantiasa diperbarui dalam hati.  Dan buku ini semata-mata ingin mengajak manusia mengingat-ngingat kematian.

Persoalan kematian, dengan sebab dan akibatnya, kondisi alam akhirat, kebangkitan, surga dan neraka, kami nyatakan harus terus diingat dan direnungkan oleh hamba Allah, agar menjadi motivasi untuk berbekal diri. Ini karena perjalanan menuju akhirat telah hampir tiba, dan usia hanya tinggal sedikit. Namun, manusia umumnya melalaikan hal ini.

Buku “Metode Menjemput Maut” lagi-lagi menyeret kita kembali kepada kesadaran batin. Dunia yang fana dan akhirat yang abadi, adalah dua tempat yang sudah, sedang, dan akan ditempati manusia. Namun, percayalah, dunia yang fana ini bukanlah tempat kita selamanya. Bersiaplah kita menuju kematian.

Judul                : “Metode Menjemput Maut”

Judul Asli         : “The Remembrance of Death and The AfterLife” dari kitab Ihya Ulumuddin

Penerjemah    : Ahsin Mohammad

Penerbit          : Mizan

Halaman         : 448 Hal