Hikmah Alawiyah
Image default
Hikmah Manaqib Uncategorized

Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Attas (Pekalongan), Istiqamah Sepanjang Hayat

Para ulama sangat menghormatinya. Para pejabat amat segan terhadapnya. Tokoh-tokoh non-muslim pun menghargainya. Pecintanya berasal dari berbagai kalangan, termasuk orang-orang Belanda.

Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Attas, tokoh besar Pekalongan yang haulnya diadakan setiap nishfu Sya`ban, telah wafat lebih dari 89 tahun yang lalu. Namun namanya tetap harum dan senantiasa dikenang orang hingga sekarang. Ia tergolong ulama langka. Memang banyak tokoh ulama yang pernah muncul di negeri ini, tetapi jarang yang seperti Habib Ahmad. Siapa sesungguhnya Habib Ahmad ini dan bagaimana perjalanan kehidupannya sehingga ia dikagumi banyak orang?

Habib Ahmad lahir di Hajrain, Hadhramaut, pada bulan Syawwal tahun 1255 H (1839 M). Ia mendapat didikan dari ayahnya, seorang tokoh penting dan sayyid terkemuka. Di negeri ini pula ia menimba ilmu kepada para tokoh, seperti Habib Hasan bin Ali Al-Kaf, sayyid yang sangat alim. Juga kepada Habib Abdurrahman bin Ahmad Al-Kaf. Ia pun sempat bertabarruk kepada para ulama besar di masanya, seperti Habib Abubakar bin Abdullah Al-Attas, Habib Thahir bin Umar Al-Haddad, Habib Shalih bin Abdullah Al-Attas, Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi, Habib Abdullah bin Hasan Al-Bahr, Habib Ahmad bin Muhammad Al-Muhdhar, Habib Muhammad bin Ibrahim Bilfaqih, dan para tokoh ulama terkemuka lainnya.

Kemudian Habib Ahmad berangkat ke Makkah dan Madinah untuk menunaikan ibadah haji dan umrah serta berziarah kepada datuknya. Di kedua kota ini ia berjumpa dengan para ulama terkemuka, di antaranya Syaikh Muhammad bin Muhammad Al-`Azab, seorang pecinta ahlul bayt, juga dengan para sadah Alawiyin.

Beberapa waktu kemudian ia kembali ke Makkah dan tinggal di sana dalam waktu yang cukup lama, tidak kurang dari 12 tahun. Dalam masa itu ia paling banyak mengikuti Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, guru para ulama ketika itu. Ia juga belajar kepada Habib Abdullah bin Muhammad bin Husain Al-Habsyi, Syaikh Muhammad bin Sa`id Babsheil, Habib Salim bin Ahmad Al-Aththas, dan lain-lain.

Pengamalan ilmunya sangat menonjol. Segala gerak-gerik dalam kehidupannya menjadi gambaran nyata ajaran agama yang dipegangnya dengan teguh. Hanya satu kata yang tepat untuk menyimpulkan berbagai sisi kehidupannya, yakni istiqamah. Ya, ia sangat teguh memegang prinsip ajaran agama.

Ketika berada di Hijaz, Habib Ahmad termasuk dalam kelompok yang memilih berangkat ke daerah-daerah padang pasir untuk menyebarkan ilmu dan mengajar. Ia tinggal di sana selama tujuh tahun. Di kalangan penduduk daerah tersebut, ia dikenal pandai memberikan pemahaman dan mengajar dengan baik, senantiasa bersungguh-sungguh dalam beribadah, membatasi perhatian pada hal itu, tidak menoleh kepada hal-hal lain. Karena lebih mengutamakan khamul (tidak ingin dikenal), ia tinggalkan Hijaz dengan segala yang ada di dalamnya, menuju negerinya dan tinggal di sana beberapa lama.

Setelah itu Allah menakdirkannya pergi menuju Pekalongan. Di sini Habib Ahmad pun mengibarkan panji-panji ilmu dan pengajaran.  Ia dapat diterima oleh semua kalangan. Mereka mengikutinya dalam masalah-masalah agama: tidak memunculkan sesuatu kecuali sesuai dengan pendapatnya, dan tidak melakukan sesuatu kecuali bila ia memerintahkan mereka untuk itu.

Pengaruhnya sungguh besar. Habib Ahmad  sangat dihormati kaum muslimin dan para ulama, baik dari dalam maupun luar negeri. Para pejabat pemerintah penjajah Belanda maupun pejabat pribumi juga sangat segan terhadapnya. Bahkan, tokoh-tokoh non-muslim di masanya pun menghargainya. Para pecintanya berasal dari berbagai kalangan, termasuk orang-orang Belanda.

Sisi lain kehidupannya yang sangat menonjol adalah amar ma`ruf nahi munkar. Dalam berdakwah, sikapnya tegas. Ia tetap kukuh menghadapi tentangan orang yang mencelanya dalam melaksanakan perintah-perintah Allah SWT. Dalam segala sesuatu, ia selalu berusaha melaksanakan sesuai ajaran Rasulullah, dan berpegang teguh dengannya. Ia terbiasa mengambil azimah (lawannya rukhshah, keringanan yang Allah berikan dalam kondisi-kondisi khusus) dan menjadikannya sebagai pilihan yang wajib bagi dirinya.

Dalam kehidupan kesehariannya, Al-Quran menjadi teman setianya, di samping wirid-wirid dan istighfar-istighfar khususnya. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk itu dan hal-hal lain yang bermanfaat. Ia senantiasa membaca Al-Quran, muthala`ah kitab, bergaul dengan para ahli ilmu, bertafakur, dan muraqabah (menjaga hati agar tidak lalai dari Allah). Ia juga tak pernah bosan kepada qari (pembaca kitab) yang membaca kitab di hadapannya, tak pernah malas mengerjakan kebaikan, dan tidak berpaling kecuali dari sesuatu yang menimbulkan bahaya dari sudut pandang agama.

Jangan ditanya pemeliharaannya terhadap shalat jamaah. Aktivitas ini tidak dapat diganggu oleh kesibukan apa pun, meskipun dalam keadaan sakit yang sangat berat. Ketika kakinya telah lumpuh dan tak bisa meninggalkan rumah, shalat jamaah dipindahkan ke rumahnya. Ia memang tak mau melakukan shalat fardhu sendirian, melainkan senantiasa berjamaah.

Ia juga terlibat dalam pendirian dan perbaikan masjid-masjid serta pembangunan madrasah-madrasah, yang hingga sekarang masih dimakmurkan dengan ilmu dan pengajaran.

Wara’ dan Zuhud

Habib Ahmad dikenal sebagai seorang yang sangat wara’ dan zuhud. Ia terpelihara dengan pemeliharaan yang agung, terjaga dengan penjagaan yang sempurna, sehingga tak masuk pada dirinya sesuatu yang dapat mengotorinya. Jika akan datang sesuatu seperti itu kepadanya, ia mendapatkan penjelasan-penjelasan ilahiyah: mengetahuinya atau diberi tahu, baik dalam keadaan terjaga maupun tidur.

Demi kehati-hatian pula, Habib Ahmad tak mau menerima sesuatu dari seseorang kecuali dari orang yang baik pergaulannya dan benar niatnya. Selama bertahun-tahun ia tinggal dalam kehidupan yang susah, memakan makanan yang sangat sederhana, dan tidak ingin bersenang-senang menikmati kehidupan kecuali sekadar untuk menopang kebutuhan hidup.

Suatu ketika Habib Ahmad menitipkan uang dalam jumlah besar kepada seseorang, lalu uang itu hilang semuanya. Ketika diberi tahu, ia hanya tertawa, sedikit pun tak menunjukkan perubahan dan sama sekali tak terpengaruh dengan kejadian itu.

Ia tidak suka bergurau, baik dalam perbuatan maupun ucapan, dan selalu menghindari gurauan dalam semua majelisnya, sehingga yang ada di dalam majelisnya hanyalah kesungguh-sungguhan. Aib orang tak pernah disebut dalam majelisnya, dan tak ada pelanggaran terhadap hal-hal yang dilarang. Majelisnya sepenuhnya merupakan majelis ilmu, petunjuk, dzikir, peringatan, dan dakwah.

Hatinya yang jernih membuatnya diberikan anugerah dapat memberitakan hal-hal yang ghaib. Habib Ahmad memiliki karamah-karamah yang besar yang menguatkan usahanya yang mulia untuk meraih keridhaan Allah Ta`ala, namun ia tidak mau membicarakannya sedikit pun.

Pada suatu hari, karena suatu urusan, seorang pecintanya dimasukkan ke penjara. Habib Ahmad kemudian diberi tahu, “Fulan, pecinta Habib ditahan. Semoga Allah membebaskannya.” Mendengar itu, Habib Ahmad berkata, “Hari ini ia akan makan siang bersama kita!” Ketika jamuan makan siang dihidangkan hari itu, ternyata pecintanya itu benar-benar datang, makan siang bersama mereka, karena telah bebas dari penjara.

Orang mengenal Habib Ahmad sebagai sosok yang bagus akhlaqnya, mulia perangainya, penyayang dan belas kasih kepada sesama. Ia orang yang baik dalam bersahabat, menyenangkan dalam bergaul, dan tidak mengerjakan atau mengucapkan sesuatu kecuali yang diizinkan oleh syara`.

Namun, apabila larangan-larangan Allah dilanggar, ia akan sangat marah. Dan marahnya belum reda sampai ia dapat mengubah kemunkaran itu dengan tangannya.

Habib Ahmad adalah seorang yang adil, tidak melampaui batas, mengetahui hak-hak dan kewajiban-kewajibannya. Ia tidak lalai dari hak orang terhadap dirinya, tetapi toleran dalam hak-hak dirinya dan menggugurkannya dari orang lain, dan tidak memandang bahwa dirinya memiliki hak terhadap orang-orang lain.

Ketika telah sempurna waktu yang dibatasi baginya dalam kehidupan dunia dan telah sampai pada puncak keinginan, Habib Ahmad pun rindu pada alam malakut yang tertinggi. Ia menderita demam. Ketika berada dalam sakitnya, ia tenggelam dalam arus lautan makrifatullah. Terkadang ia mengatakan, “Ash-shalah ash-shalah (Shalat, shalat), dekatkanlah air wudhu`ku.” Itu berlangsung selama 20 hari 20 malam, hingga ruhnya berpisah dengan jasadnya yang suci pada malam Ahad tanggal 24 Rajab 1347 Hijriah (6 Januari 1929 M). Inna lillahi wa inna ilaihi raji`un.

Suara tangisan pun pecah dan kota Pekalongan menjadi terguncang. Kesedihan melanda hamba-hamba Allah, sehingga orang-orang kafir dan kaum yang berbeda pun turut bersedih karena merasa kehilangan. Sampai-sampai seorang pemuka kaum Nasrani mengatakan, “Hari ini tokoh Pekalongan telah pergi, kapal telah pecah dan berantakan kayu-kayunya.”

Rombongan-rombongan dari berbagai tempat berdatangan setelah berita wafatnya terdengar di mana-mana. Jamaah yang datang sangat banyak. Belum pernah ada hari yang seperti itu sebelumnya di Pekalongan. Jenazahnya dishalatkan di Masjid Jami’, lalu dimakamkan sore harinya. Di atas makamnya dibangun kubah yang mulia dan tinggi. Semoga Allah banyakkan tokoh ulama seperti Habib Ahmad, agar cahaya kebenaran bersinar di mana-mana.