Hikmah Alawiyah
Image default
Kitab/Buku Baru

“Tasawuf Kebahagiaan” Jalan Sufi Meraih Kebahagiaan

Judul asli buku ini “Risalat al-Wu’awanah wa al-Muzhaharah wa al-Mudzarah li al- Raghibin al-Mu’minin fi suluk Thariq al-Akhirah”. Buku ini ditulis oleh Sayyid Abdullah Al-Haddad yang tak lain pengarang “Ratib al-Haddad”.

Ada beberapa versi terjemahannya, dan Muhammad Al-Baqir salah satu yang menerjemahkan buku ini dalam versi ringkas, jelas, dan padat. Pun dalam mensarikan judul asli yang panjang,  Muhammad Al-Baqir cukup menterjemahkan menjadi “Tasawuf Kebahagiaan”. Judul ini dianggap mewakili pesan dari kitab asli yang membahas tentang bagaimana seorang muslim meraih kebahagian melalui jalan tasawuf.

Pengertian Tasawuf dalam etimologi mengandung beberapa makna asal. Diantaranya dari istilah shuffah yang berarti serambi tempat duduk. Suffah berasal di serambi masjid Madinah yang disediakan untuk mereka yang belum memiliki tempat tinggal atau rumah dan dari orang-orang muhajirin yang ada di Masa Rasulullah SAW. Mereka dipanggi sebagai Ahli Suffah atau Pemilik Sufah karena di serambi masjid Madinah itulah tempat mereka.

Kemudian adapula versi yang menyebut tasawuf  berasal dari kata Shafa dan Shuafanah. Shafa artinya bersih atau jernih, sedangkan kata shufanah memiliki arti jenis kayu yang dapat bertahan tumbuh di daerah padang pasir yang gersang.

Dari sisi terminologi (istilah), tasawuf Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili mendefinisikan tasawuf sebagai proses praktek dan latihan diri melalui cinta yang mendalam untuk ibadah dan mengembailikan diri ke jalan Tuhan. Lalu dalam Kitab Ihya Ulumudin, Imam Ghazali memaknai tasawuf sebagai jalan, cara-cara seseorang dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tasawuf menurut Imam Ghazali juga berupa prilaku-prilaku atau budi pekerti dalam mengamalkan nilai-nilai agama secara luhur.

Sedangkan dalam pengertian umum, tasawuf dapat diartikan sebagai  pelatihan dengan kesungguhan untuk dapat membersihkan, memperdalam, mensucikan jiwa atau rohani manusia. Hal ini dilakukan untuk melakukan pendekatan atau taqarub kepada Allah dan dengannya segala hidup dan fokus yang dilakukan hanya untuk Allah semata.

Buku ini mengetengahkan tuntunan atau cara kita untuk mencapai kedekatan dengan Allah SWT. Bahkan buku ini seperti mengajak kita me-dekonstruksi ulang tujuan ibadah kita. Apakah untuk Allah semata atau hal lain?

Buku ini terdiri dari 14 bab, dimulai dari bab paling awal tentang menguatkan keyakinan dan niat. Hikmah-hikmah dalam bab ini sungguh menggugah hati. Sayyid Abdullah Al-Haddad menuliskan yang diterjemahan dengan oleh Muhammad Al-Baqir; bahwa keyakinan yang kuat disertai niat yang kokoh, menimbulkan perasaan tentram akan janji Allah yang pasti terlaksana, muncul kepercayaan di dalam hati akan jaminan-Nya.

Dalam kehidupan sehari-hari, keyakinan ini akan membuang rasa khawatir atau ragu bahwa Allah tidak menjaga kita. Justru memunculkan keyakinan bahwa Allah pasti  mencukupi apa yang kita butuhkan. Hal lain yang perlu diperhatikan dan dilatih menurut Sayyid Abdullah Al-Haddad adalah keihklasan. Keyakinan dan niat yang kuat akan semakin paripurna bilamana disaat bersamaan kita juga mengikhlaskan apapun kehendak Allah SWT.

Karenanya Sayyid Abdullah Al-Haddad berpesan, manusia hendaknya memikirkan terlebih dahulu secara sungguh-sungguh sebelum melakukan perbuatan. Niat adalah asas segala perbuatan sehingga keduanya berkaitan dalam  hal kebaikan dan keburukan, maupun kerusakan dan kesempurnaannya.

Bab selanjutnya, buku ini membahas mengenai anjuran ibadah, baik  yang bersifat individual maupun dengan orang lain (ibadah sosial). Sayyid Abdullah Al-Haddad mengajak umat muslim untuk selalu melakukan wirid dan zikir. Ibadah ini akan  melatih kita untuk terus mengingat Allah SWT.

Selanjutnya adalah tafakur. Sayyid Abdullah Al-Haddad menerangkan bahwa tafakur (merenungkan tanda-tanda kebesaran Allah SWT) merupakan perbuatan yang bilamana seseorang melakukannya akan memperoleh kebaikan yang amat besar. Beliau menasehatkan untuk bertafakur dalam wirid kita, satu atau beberapa jam setiap hari, baik siang maupun malam hari.

Bertafakurlah tentang kelalaian diri kita selama ini, tentang kefanaan duniawi, tentang kematian, serta tentang balasan amal dan balasan dosa kita. Namun Sayyid Abdullah Al-Haddad berpesan, agar kita menghindari tafakur tentang zat-zat Allah jika tidak ingin terjerumus dalam kebinasaan.

Hal ini sesuai dengan hadist Rasullulah SAW :

“Bertafakurlah pada tanda-tanda (kebesaran) Allah, dan janganlah kalian bertafakur tentang (Zat) Allah, sebab dengan demikian kalian tidak mungkin menempatkan-Nya sesuai keagungan-Nya”.

Secara keseluruhan buku “Tasawuf Kebahagiaan” terdiri dari 14 bab. Setiap babnya berupa nasehat atau hikmah tentang substansi ibadah. Ada bab yang membahas tentang adab, misalnya Adab Shalat Fardhu dan Sunnah (Bab 7) , Adab Zakat, Sedekah, Puasa dan Haji (Bab 8), dan Adab Bermasyarakat (Bab 8).  Namun pembahasannya tidak dengan pendekatan fikih (hukum), melainkan nilai-nilai yang terkandung atau substansi dari ibadah-ibadah tersebut.

Akhirnya buku ini memang sangat bernilai karena sarat dengan nasehat atau ajakan kepada manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah. Bilamana shalat kita terasa tidak khusuk, doa kita terasa hambar, sedekah terasa berat dan sebaliknya ghibah terasa nikmat, atau maksiat justru terasa lezat, maka itu merupakan gejala penyakit hati.

Hati yang demikian akan sulit mencicip manisnya ibadah atau lezatnya berdekatan dengan Allah. Padahal sejatinya makna terdalam ibadah adalah mencapai kedua hal tersebut. Karenanya karya besar Sayyid Abdullah Al-Haddad yang diterjemahkan dengan baik oleh Muhammad Al-Baqir ini, menjadi sumber bacaan penting dan sangat bermanfaat.