Hikmah Alawiyah
Image default
Kolom Mahya

Pluralisme Bersyarat Teladan Nabi

Oleh: Alwi Shihab

Model pluralisme yang bersyaratkan komitmen yang kokoh terhadap agama masing-masing telah dicontohkan Rasulullah SAW, baik dalam tuturan maupun tindakan. Dalam meneladani beliau, tentu saja kita diharapkan tidak terpaku pada formalitas lahiriah, apalagi bila karena itu melupakan esensi ajarannya.

Agar teladan itu berdampak pada kehidupan keagamaan kita, ada dua hal yang perlu digarisbawahi. Pertama, kita harus mampu menyosialisasikan semangat ajaran serta keteladanan Nabi. Toleransi dan moderasi yang beliau ajarkan harus senantiasa menjadi acuan dan pedoman dalam interaksi. Di antara sekian banyak contoh yang ditunjukkan Nabi, adalah kelapangan dada beliau mengizinkan delegasi Kristen Najran yang berkunjung ke Madinah untuk berdoa di kediaman beliau. Sebagaimana diungkapkan oleh sejarawan Islam Au bin Burhanuddin al-Halaby al-Syafi’i dalam bukunya al-Shirah.

Sebaliknya, pada saat-saat kritis perjuangan Nabi di Makkah, Raja Abissynia atau Ethiopia, yaitu Raja Najasyi atau Negus –yang beragama Kristen– melindungi umat Islam. Sampai-sampai, ketika wakil masyarakat Arab Jahiliyah memintanya untuk mengekstradisi pengikut Nabi ke Makkah, Negus menolak. Negus berkata: “Apakah engkau meminta aku menyerahkan pengikut Muhammad, seorang yang telah didatangi malaikat Jibril? Demi Tuhan, ia (Muhammad) benar, dan ia akan mengalahkan musuh-musuhnya.”

Saat Nabi Muhammad SAW menjadi penguasa di Madinah, beliau berpesan: “Siapa yang mengganggu umat agama samawi, maka ia telah menggangguku.” Kedua, kita semua sebagai bangsa, harus mampu memahami kepekaan masing-masing menyangkut kecintaan serta ikatan batin dengan panutannya. Umat Islam, demikian pula umat agama lainnya, seyogyanya tidak terpengaruh oleh sejarah konflik yang pernah terjadi di dunia luar.

Penilaian Negatif
Menurut Norman Daniel: “Sekian banyak bentuk penilaian negatif terhadap pribadi Nabi Muhammad yang telah dilontarkan dunia Barat pada abad pertengahan, masih terdengar gaungnya hingga kini. Nabi yang telah meluncurkan salah satu gerakan agama yang membuahkan peradaban paling sukses di muka bumi, dicerca dan dihina dengan kata-kata yang tidak pantas.”

Sejarah konflik antarumat beragama di dunia luar, yang telah membuahkan kesalahpahaman, rasa curiga, dan bahkan permusuhan, harus dibuang jauh dari bumi kita. Kita semua dituntut untuk memperdalam semangat persaudaraan. Semangat persaudaraan ini pernah dicontohkan oleh Theodore Abu Qurrah, seorang uskup dari Harran, Mesopotamia, yang lahir pada 740 M. Tanpa mengorbankan keimanannya, beliau menyatakan Nabi Muhammad SAW telah menempuh jalan para nabi.

Pada abad ini tidak sedikit biografi Nabi tulisan sarjana barat yang memiliki kadar objektivitas yang tinggi jika dibandingkan dengan karya-karya generasi sebelumnya. Montgomery Watt, misalnya, menulis secara simpatik tentang pribadi Nabi dalam bukunya Prophet and Statesman. Tanpa ragu ia berkata: “Saya menganggap Muhammad adalah benar-benar seorang nabi, dan saya berpendapat bahwa kita [umat Kristen], harus mengakui hal ini berdasarkan prinsip agama Kristen yang menyatakan bahwa ‘Dari buahnya engkau akan mengetahui [tidaknya] sesuatu usaha.’ Ini disebabkan karena sepanjang masa, Islam telah membuahkan banyak orang-orang lurus dan suci.”

Demikian pula ungkapan seorang sarjana Jerman, Gunther Luling, yang menggambarkan Nabi Muhammad sebagai Engelsprophet (Nabi yang menyerupai malaikat). Annie Besant juga mengungkapkan: “Mustahil bagi siapa pun yang mempelajari kehidupan dan karakter Nabi Besar dari Arabia tersebut tidak menaruh hormat kepadanya. Dia adalah salah seorang Nabi besar dari Sang Pencipta.”

Hal senada dilontarkan pula oleh Nataniel Schmidt, yang berkata: “Kesucian Muhammad tak bisa dipertanyakan lagi. Pengamat kritis yang tidak bermaksud menggelapkan fakta, harus mengakui pernyataan-pernyataan beliau sebagai ajaran nabi-nabi yang meletakkan prinsip-prinsip mulia untuk kemanusiaan.” Kenneth Cragg, seorang pendeta Kristen Anglikan kontemporer, berkesimpulan bahwa: “Penilaian negatif terhadap diri Muhammad adalah salah satu kekeliruan yang harus dihindari. Sebagai seorang monotheis sejati yang memiliki misi kenabian, Muhammad yang menjalin hubungan dengan Tuhan melalui wahyu dan kitab suci, telah berhasil menciptakan masyarakat beriman.”

Pandangan Cragg ini menandai suatu kemajuan positif ke arah sikap apresiatif terhadap Nabi Muhammad yang patut direnungkan oleh umat beragama. Kalau saja harapan ini dapat terwujud, Insya Allah, akan tercipta suatu model yang unik yang mampu menerobos tembok pemisah psikologis yang selama ini menghambat kemesraan hubungan antarumat beragama.

Kemesraan hubungan ini secara ideal diilustrasikan dalam Alquran dengan penggunaan terma ahl al-kitab, untuk umat Yahudi dan Nasrani. Tersirat dari kata ahl hubungan kekeluargaan. Wajar, jika dalam salah satu ayat Alquran ditemukan pujian kepada kelompok tertentu umat Kristen yang menjalin hubungan baik dengan kaum Muslim.

“Sesungguhnya kamu pasti dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: ‘Sesungguhni kami ini orang Nasrani.’ Yang demikian itu disebabkan, karena di antara mereka terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib. Juga karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.” (QS al-Maidah[5] :82)

Implementasi pluralisme bersyarat
Pluralisme bersyarat komitmen terhadap kebenaran agama dan keyakinan masing-masing, selama ini telah menjadi penanda kehidupan kaum Muslimin di Indonesia dalam berbangsa dan bernegara.

Kaum Muslimin di Indonesia menyadari tugas keagamaannya antara lain untuk mengupayakan terjadinya perbaikan dan kebaikan antarmanusia (QS 4:114) dan menjadi penengah yang adil, saksi, dan patron-patron hidup di tengah-tengah umat manusia. Bahkan kita juga dituntut berlaku adil terhadap siapa pun. “Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum menjadikanmu tidak berlaku adil.” (QS al-Ma’idah [5]:8)

Kita patut bersyukur karena selama ini mata dunia tertuju kepada kita dengan penuh penghargaan bahwa ajaran Nabi Muhammad terpancar dalam kehidupan bangsa Indonesia. Sampai terjadinya berbagai kerusuhan seperti di Ambon dan Poso –yang pemicunya cenderung bukan masalah agama– Islam di Indonesia, menurut dunia luar, menunjukkan wajahnya yang menarik dan karakter yang memikat sebagai rahmatan lil ‘alamin (sebagai rahmat bagi seluruh alam, seluruh umat manusia), jauh dari radikalisme dan ekstremitas yang melanda dunia masa kini.

Fazlur Rahman, cendekiawan Muslim terkemuka, meramalkan bahwa Islam yang sejuk dan menarik dan yang menghidupkan kembali nilai luhur toleransi dan moderasi Nabi Muhammad, menyingsing dari bumi Indonesia.

Demikian pula Dr Lawrence Sullivan, yang mengepalai pusat pengkajian agama-agama dunia pada universitas ternama dan tertua di Amerika, Harvard, secara terbuka menyatakan Indonesia secara kreatif telah mewujudkan pendekatan baru dalam menciptakan kehidupan keagamaan yang harmonis, yang tidak dijumpai di negara-negara Eropa dan Amerika.

Indonesia, tandasnya,”Merupakan contoh dalam toleransi keagamaan yang patut ditiru oleh dunia.”

Prof Mahmud Ayoub dari Universitas Temple Philadelphia menyatakan: “Pengamalan agama dalam masyarakat Indonesia dibanding dengan masyarakat Islam lainnya, merupakan model yang paling dekat dengan nilai Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.”

Boleh jadi, banyak di antara kita yang tidak menyadari keharuman prestasi bangsa kita dalam hal ini. Seperti ungkapan “Kayu gaharu betapapun harumnya, hanya kayu biasa di lingkungannya. Seruling merdu tidak akan menggugah para penyuling di sekelilingnya.”

Namun, jika kita menengok dari dunia luar, kita akan tahu dan sadar betapa besar nikmat Tuhan yang dilimpahkan kepada bangsa kita selama ini. Dan nikmat ini yang harus kita jaga dalam rangka mensyukurinya agar tidak tercoreng karena ketidakmampuan kita meneladani Rasulullah SAW.

Sumber: http://www.alwishihab.com/