Hikmah Alawiyah
Image default
Kolom Mahya

Ragu Badan (Body Doubt): Cara Menyikapi Virus Corona

Oleh: Haidar Bagir

Istilah ini saya ambil dari ungkapan seorang dokter ahli penyakit jantung yang saya kenal baik di Bandung. Apa itu “ragu badan”? Ya, itu lawannya keyakinan bahwa badan kita bekerja dengan sepenuhnya bisa diduga (predictable). Menurut dokter terkemuka itu, sebetulnya tubuh kita tak se-predictable itu. Atau, kemampuan ilmu kedokteran masih jauh dari sempurna untuk menduga seluruh gejala yang terkait dengan badan itu.

Saya kira hal ini sedikit banyak terkait dengan peradaban positivistik-saintistik (sic), yang berpandangan bahwa seluruh kejadian di alam ini bersifat kasualistik. Bekerja berdasar hukum sebab-akibat yang rigid. Problem orang modern, seperti kata Prof. Iwan Pranoto, adalah kehilangan apresiasi kepada ketidakpastian (padahal sudah lama ada teori Ketidakpastian Heisenberg dalam ilmu fisika, yang antara lain menghasilkan Teori Relativistas yang sudah diterima luas itu).

Tapi problem terbesarnya bukan di situ. Seperti saya singgung di atas, problem terbesarnya adalah kemudian manusia merasa bisa mengetahui semua komponen hukum sebab-akibat itu dan mampu mengendalikannya dengan sempurna. Sehingga, para saintis kesehatan – baca dokter – dengan yakin “mengumbar” resep-resep hidup sehat, yang seolah-olah jika resep-resep itu dijalankan, orang akan otomatis panjang umur.

Kenyataannya, banyak orang hidup sehat – atau diyakini hidup dengan gaya hidup sehat – justru sakit, atau bahkan mati muda. Tak sedikit juga, orang yang sakit bertahun-tahun, malah panjang umur. Bisa karena penyakit tidak biasa yang tidak pernah diduga sebelumnya, bisa juga karena sebab-sebab nonkesehatan.

Menurut sang dokter, harusnya hal itu menyadarkan kita bahwa: atau hukum kausalitas tak se-rigid itu – nanti tentang ini akan saya jelaskan lebih jauh – atau kita memang tidak mampu memahami, apalagi mengendalikan hukum kausalitas yang begitu banyak variabelnya dan begitu kompleks relasi di antara berbagai variabel itu.

Dalam teologi Islam, bahkan juga di agama lain, khususnya agama Nasrani, ada perbedaan pendapat yang amat meruncing – sejak abad-abad pertama Islam – yang mungkin tak akan berhenti sampai akhir zaman – tentang apakah takdir Allah atau nasib manusia itu predeterministik (sudah ditetapkan Allah sejak azali) atau merupakan hasil ikhtiar manusia. Jabariyah bilang sepenuhnya predeterministik, Mu’tazilah sebaliknya yakin (nyaris) sepenuhnya merupakan hasil ikhtiar manusia.

Nah, kaum Mu’tazili amat percaya pada adanya hukum kausalitas yang rigid dan dapat diduga. Dan, dinyatakan atau tidak, mereka juga yakin manusia bisa memahami dan mengendalikan hukum kausalitas itu. Sebaliknya Jabariyah percaya bahwa manusia ini setiap saat dan di mana pun adalah pion Tuhan yang tak punya peran apa pun dalam menentukan nasibnya.

Manakah yg benar? WalLaah a’lam. Tapi kemudian muncul kelompok-kelompok pertengahan, seperti Asy’ariyah dan Syiah. Keduanya menawarkan jalan tengah. Asy’ariyah menawarkan jalan tengah dengan memperkenalkan konsep kasb (akuisisi/perolehan kemampuan), sedang Syiah memperkenalkan gagasan al-amr bayn al-amrayn (posisi/pendapat tertentu di antara dua posisi – ekstrem jabariyah dan Mu’tazilah). Dalam pandangan kedua kelompok ini, yang benar adalah bahwa ada (semacam) hukum kausalitas, tapi Allah tetap mencadangkan peran “veto” di dalam mekanisme kausalistik itu.

Meski Asy’ariyah ditengarai lebih dekat ke jabariyah. Posisi Asy’ariyah antara lain diwakili dengan canggih oleh Imam Ghazali, Asy’ariyah memperkenalkan gagasan yang belakangan disebut sebagai okasionalisme. Bahwa sebetulnya tak ada apa yang disebut hukum kausalitas (yang rigid).

Seperti nanti dikembangkan oleh David Hume, Imam Ghazali memberi contoh begini. Jika kapas terbakar oleh api, itu bukanlah kapas yang terbakar akibat api (yang melahapnya) – bukan operasi kausalitas – melainkan kapas terbakar setelah terkena api – jadi hanya berupa peristiwa yang susul-menyusul. Karena, tidak mesti bahwa kapas – atau apa saja – yang terkena api itu terbakar. Kapas terbakar setelah terkena api itu terjadi karena Allah memberikan kemampuan (kasb) kepada api untuk bisa membakar.

Dalam kasus Nabi Ibrahim, misalnya, api yang menelan Nabi Ibrahim gagal membakar beliau karena Allah tak memberinya kemampuan membakar. Malah Allah memerintahkan api itu untuk jadi dingin dan tak mengganggu Nabi Ibrahim. (Seperti saya singgung di atas, Syiah memiliki pandangan pertengahan juga, tapi pemaparannya lebih filosofis sehingga berada di luar jangkauan tulisan pendek ini).

Pandangan Imam Ghazali ini amat menarik. Mungkin sebagian orang ingin merevisinya dengan menyatakan bahwa kausalitas itu ada, tapi tidak rigid. Ada kejadian-kejadian yang di dalamnya Allah mengintervensi sehingga hukum kausalitas batal terjadi.

Tapi apa pun juga, saya kira cara pandang Imam Ghazali – sebetulnya demikian pula pandangan umumnya kaum sufi – ini perlu dimiliki setiap orang beriman. Karena, jika kausalitas begitu rigid, lalu di mana peran Tuhan dalam kehidupan ini? Menganggur seperti pandangan kaum pandeis?

Bukankah :”setiap saat Dia menyelenggarakan urusan” dan “(Dia) hidup, selalu awas, tidak mengantuk, dan tidak tidur? Karena, kalau Allah menganggur, bagaimana kita bisa selalu menghadirkan Dia dalam hati kita di setiap saat dan di setiap waktu? Tanpa keyakinan akan peran Allah dalam setiap kejadian, kita akan lupa Allah, maka hilanglah keimanan di dalam diri kita, hilanglah keislaman – yakni kepasrahan – kepada Allah. Dan itu sama saja dengan hilangnya agama. Karena, bukankah agama itu keimanan dan kepasrahan?”

Sayangnya, kita pada umumnya cenderung berpikir seperti kaum Mu’tazilah, bahkan lebih parah lagi. Meski banyak di antara kita mungkin belum mendengar apalagi mengetahui tentang pandangan kaum Mu’tazilah, kita terlalu percaya – dengan bantuan dokter atau yang lain – dapat mengetahui dan mengendalikan semua masalah kehidupan kita secara self sufficient.

Bahwa semua diatur oleh hukum kausalitas yang rigid, dan bahwa manusia mampu memahami, bahkan mengendalikannya. Maka, dalam hal kesehatan tubuh, kita terlalu berlebihan percaya diri dan percaya kata dokter atau ahli dalam memelihara kesehatan kita. Akibatnya, justru kita menjadi terlalu tegang dan ketakutan sendiri akan bayangan kegagalan melakukan cara hidup sesuai dengan aturan dan pandangan ahli-ahli kesehatan itu.

Kenapa? Karena kita yakin kalau kita melanggar, kita paati akan jatuh sakit dan mungkin berumur pendek. Seolah pandangan ahli itu pasti benar, seolah semua operasi tubuh kita bisa diduga. Dan seolah tak ada Yang Maha Kuasa yang bisa mengintervensi itu.

Inilah gejala manusia modern. Obsessed dengan (aturan-aturan dan nasihat-nasihat) tentang kesehatan. Sehingga hidupnya malah tak nyaman dan penuh ketegangan.

Apakah dengan demikian kita tak boleh menjaga kesehatan. Tentu boleh, bahkan harus. Tapi, kalau pun kita berpandangan seperti kaum predeterminis (jabariyah), maka menjaga kesehatan adalah bagian dari akhlak kita kepada diri sendiri. Pun agama mengajarkan agar kita menjaga kesehatan.

Apalagi jika kita ambil pandangan pertengahan. Bahwa sesungguhnya ada semacam kausalitas, tapi kausalitas tak se-rigid itu. Bahwa di atas semuanya itu ada kemahakuasaan Allah Swt. Sehingga sikap terbaik adalah, mari kita jaga kesehatan, tapi jangan sampai tegang dan panik, sehingga kita justru ketakutan dan bisa jatuh sakit beneran.

Mari jaga kesehatan secukupnya, dengan cara-cara yang normal, bersandar kepada rahmat (kasih sayang) Allah yang telah membuat kehidupan dan alam semesta ini dengan cara sebaik-baiknya, demi kebaikan manusia. Dan dengan penuh kepasrahan jika Allah yang Maha Bijaksana mengintervensi kausalitas itu sehingga menyebabkan sesuatu yang tak sesuai dengan harapan kita. Misal, membuat kita jatuh sakit. Kita harus memiliki sebatas tertentu sikap “ragu badan” (body doubt).

Demikianlah seharusnya sikap kita terhadap semua masalah kesehatan, bahkan terhadap semua masalah kehidupan. Termasuk dalam menyikapi wabah Corona. Menjaga kesehatan seperlunya, serta tidak tegang dan panik, karena di atas segalanya ada Dia Yang Mahakuasa dan Mahabijaksana. Dan yang paling penting dari semuanya itu, dengan begini kita telah menjaga agama kita, kepasrahan (Islam) kita, iman kita.

Semoga Allah Swt selalu memberi kita sehat dan afiat – yakni kemampuan kita menggunakan semua organ tubuh kita sesuai dengan apa yang mendatangkan ridha-Nya.

*Sumber: Mizan