Hikmah Alawiyah
Image default
Kolom Tamu

Hijrah Alawiyyin dan Terbentuknya Kampung Arab Surabaya

Oleh Luthfi Khoiron
(Penulis dan Da’i LD PBNU)

Migrasi Hadrami ke Kepulauan Melayu adalah migrasi tertua yang berasal dari Arab selatan. Orang-orang Hadrami diilustrasikan sebagai ‘sekutu perjalanan’, sebab sejak dahulu kala mereka rela menempuh berbagai resiko dan bahaya, dalam waktu yang lama. Perjalanan mereka membentuk jalinan khusus yang memiliki karakteristik. Banyak sumber menyatakan, kedatangan orang Arab Hadrami ke Indonesia, bahkan sebelum munculnya Islam. Lalu setelah era Islam, hubungan peradaban dengan kepulauan Indonesia mencapai klimaksnya. Khususnya selama pemerintahan Abbasiyah.

Para peneliti menyebutkan, hubungan orang-orang Hadrami dengan kepulauan Indonesia sudah terjalin sejak lama. Sebagian besar adalah dalam bentuk relasi dagang, kemudian meluas kepada dimensi lain, yang berfokus pada stabilitas di kepulauan Melayu dan juga agenda penyebaran Islam. Corak gerakan orang Hadrami memiliki dua poros utama. Pertama, menyebarkan agama Islam kepada rakyat hingga ke daerah-daerah terpencil. Kedua, berdagang dan mencari cakrawala baru dalam mata pencarian.

Sudah dapat dipastikan, bahwa resimen migrasi massal orang-orang Hadramaut dipimpin oleh para Saadah Alawiyin, yang diikuti oleh masyarakat umum Hadramaut. Hal itu dikarenakan, para sayyid ini memahami sejarah datuk mereka, Rasulullah saw, sebagai teladan paripurna. Mereka telah menyerap implikasi hijrah dan pelajaran-pelajaran yang mesti dipetik. Mereka juga memahami tujuan-tujuan hijrah, di manapun berada.

Seperti halnya orang-orang mukmin generasi awal, rela meninggalkan keyakinan lamanya, lalu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan menyertainya dalam hijrah, karena menghindari fitnah yang akan menimpa agama mereka, seperti itulah orang-orang Hadrami meninggalkan Hadramaut. Mereka melarikan diri dari berbagai fitnah dan persaingan antar suku, yang berebut mendapat kekuasaan di Hadramaut.

Orang-orang Hadrami memahami, makna hijrah tidaklah sempit. Sebab datuk mereka, Rasulullah saw telah meluaskannya dengan sabda indah, “Setiap pekerjaan berdasarkan niatnya. Setiap orang akan memperoleh apa yang diniati. Sesiapa berhijrah untuk Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Pun jika hijrahnya sembari mencari dunia, atau wanita yang akan dinikahi, ia akan memperolehnya.” (HR. Al-Bukhari-Muslim)

Orang-orang Hadramaut mengambil pelajaran indah ini dan menjadikannya sebagai manhaj nabawi untuk diikuti. Mereka pun melakukan migrasi menuju kepulauan Melayu, untuk menyebarkan agama Islam, juga memenuhi kebutuhan mereka dalam urusan dunia.

Tidak diragukan, bahwa migrasi orang-orang Hadrami dimotivasi oleh pelajaran hijrah nabawi, sehingga mereka berhijarah ke timur dan barat, lalu membangun agama di tempat hijrah mereka, berdakwah dengan prinsip hikmah, juga nasihat-nasihat yang baik. Sehingga tidak mengherankan, jejak dakwah yang telah ditorehkan oleh mereka telah menjelma sebagai negara Islam terbesar, Indonesia.

Pelajaran-pelajaran hijrah nabawiyah selalu up to date. Hijrah selalu terjadi karena berjalan di lintasan kebenaran dan juga mencari mata pencarian. Ini selaras dengan firman Allah swt yang artinya, “Bukankah bumi Allah itu luas, maka berhijrahlah di dalamnya,” (QS. an-Nisa’: 97)

Peneliti Belanda, Van den Berg menggambarkan tempat-tempat dimana orang-orang Hadrami tinggal di Ibukota, Batavia. “Orang-orang Hadrami banyak tinggal di pinggiran Batavia. Rumah-rumah mereka seperti milik orang Indonesia. Orang-orang kaya mereka memiliki villa seperti orang Eropa. Orang-orang Hadrami itu bukan dari satu wilayah saja, tapi dari seluruh Hadramaut.”

“Akan tetapi, kelas-kelas sayyid sedikit sekali yang tinggal di Batavia. Tercatat, mereka lebih suka melakukan penetrasi ke wilayah pedesaan, karena berbagai alasan. Pertama, untuk menyebarkan agama Islam dan mengenalkan agama yang benar. Kedua, karena mereka memperoleh penghormatan lebih baik dari penduduk desa, melebihi penduduk kota, sebab mereka adalah keturunan Rasulullah. Sebagai tambahan, banyak kuburan di pedalaman-pedalaman itu yang ramai dikunjungi oleh orang. Berbeda dengan di kota dimana orang-orang disibukkan dengan pekerjaan. Ketiga, karena menghindari gangguan penguasa Belanda, yang menganggap tokoh-tokoh Alawiyyin membahayakan, sebab mereka cepat mengambil hati penduduk dan kata-kata mereka diikuti.”

Berdasarkan statistik yang dilakukan oleh Rabithah Alawiyah Batavia, tahun 1939, jumlah Alawiyyin mencapai 2.255 orang dari 40 klan Hadrami.

Meski migrasi orang-orang Hadrami hanya terkonsentrasi di enam wilayah utama; Batavia, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, dan Surabaya, namun mereka memiliki andil besar dalam membangun Indonesia.

Berbagai pendapat muncul berkaitan dengan awal mula hijrah Alawiyyin ke Asia Timur, khususnya Indonesia. Diakui, bahwa sulit menentukan sejarah awal mula migrasi zaman lampau. Terlebih, apabila menganggapnya sebagai sebuah gerakan demografis orang-orang, yang meninggalkan negara asalnya akibat penganiayaan kelas atau politik, kondisi cuaca buruk, atau karena kondisi paceklik.

Oleh karena itu, para peneliti yang mengkaji hijrah Hadrami ini tidak dapat mendokumentasikan dengan data, hingga abad kedelapan belas. Hal itu juga disebabkan orang-orang Hadrami tidak mendokumentasikan sejarah migrasi mereka ke Asia Timur atau Afrika Timur.

Ada sebuah buku, karya Dr. Bashar Jaafari, duta besar tetap Suriah untuk PBB, berjudul Awliya’ as-Syarq al-Ba’id Asathir Majhulah fi al-Afaq al-Ma’murah (Pemimpin-pemimpin Timur Jauh: Sebuah legenda tidak diketahui di berbagai cakrawala dunia). Buku ini mengisahkan tentang penyebaran Islam di Kepulauan Melayu. Bagian berikut ini akan merangkum pandangan penulis mengenai masalah ini.

“Islam tersebar di Kepulauan Melayu pada tahun 838 M, atau tahun 218 H, yaitu pada masa Khalifah Abbasiyah, Al-Muqtadir Billah.”

“Pada tahun 218 H, bertepatan dengan tahun 838 M, Imam Ahmad bin Isa, yang populer dengan gelar Al-Muhajir memutuskan untuk meninggalkan Basrah pada masa Khalifah Abbasiyah, Al-Muqtadir Billah, disebabkan memburuknya kondisi ekonomi dan keamanan di kota itu, akibat pemberontakan pengikut sekte Qaramithah. Imam Ahmad sendiri adalah putra Sayyid Isa al-Rumi, putra Muhammad an-Naqib, putra Imam Ali Al-Uraidhi, Putra Imam Ja`far as-Shadiq, putra Imam Muhammad al-Baqir, putra Imam Ali Zainal Abidin, putra Sayidina Husein, putra Sayyidina Ali karramallahu wajhah.

Imam Ahmad bin Isa menuju Hadramaut melalui jalur Syam, lalu menetap di sebuah desa kecil bernama Hijrin. Takdir menghendaki, bahwa salah seorang cucunya, yaitu Imam Abdul Malik bin Alawi bermigrasi dari Hadhramaut ke Gujarat, India.

Imam Abdul Malik membangun hubungan yang kuat dengan Sulan Hyderabad, Nashiruddin, yang kemudian menjadikannya sebagai orang khusus, karena ia memiliki silsilah keturunan Ahlulbait Nabi. Setelah itu ia diangkat menjadi pangeran. Setelah kewafatannya, putranya, Imam Abdullah bin Abdul Malik menggantikan kedudukannya. Ia juga menikahi putri Sultan kota Nasrabad, Azmatkhan. Sehingga waktu itu ia bergelar Imam Abdullah Al-Azmatkhan. Setelah kewafatannya, kepemimpinan diserahkan kepada putranya, Imam Ahmad bin Abdullah. Di masa ini, gelar Imam berganti menjadi Sayyid.

Pembukaan terusan Suez pada tahun 1869, memiliki dampak sangat jelas pada aktivitas perdagangan maritim, di Laut Merah dan Samudera Hindia, hingga kepulauan Hindia Timur, Jawa. Kegiatan navigasi ini berkontribusi pada kebangkitan perdagangan antar pelabuhan-pelabuhan yang terletak di Laut Merah, Samudera Hindia, dan pulau-pulau di Kepulauan Melayu. Hal ini juga berkontribusi pada perluasan imigrasi orang-orang Hadrami. Jumlah imigran meningkat drastis, terutama setelah munculnya beberapa kesultanan suku-suku Hadrami yang saling berebut kekuasaan, sementara Hadramaut menghadapi kekeringan dan kelaparan untuk beberapa lama.

Dengan berakhirnya abad kesembilan belas, dan dimulainya abad 20, imigrasi meningkat dari Hadramaut ke India, Indonesia, dan Afrika Timur. Hingga seolah-olah, migrasi seperti menjadi industri nasional, sebab 35% populasi penduduk Hadramaut adalah migran, atau migran yang kembali dari tempat hijrah.

Menurut peneliti Belanda, Van den Berg, sebagaimana laporan yang ia tulis di tahun 1886, “Perjalanan dari Hadhramaut ke Indonesia memerlukan waktu berbulan-bulan. Rute mereka biasanya dari Mukalla atau Asy-Syihr, kemudian ke Bombay. Lalu dari Bombay ke Ceylon (Sri Lanka). Dari sana menuju Aceh atau Singapura. Semua perjalanan ini ditempuh dengan transportasi laut. Sementara migrasi orang-orang kaya, biasanya naik kapal uap Eropa dari Aden ke Singapura, termasuk kapal milik The Massagers Maritime Company.

Dari paparan ini, beberapa analis menyimpulkan, bahwa Kampung Arab Surabaya terbentuk dari rahim Masjid Ampel, yang merupakan bentukan Sunan Ampel, di tanah pemberian Majapahit. Masjid Ampel kemudian menjadi pusat pendidikan agama dengan para santrinya berasal dari beragam asal dan latar belakang, utusan kerajaan hingga rakyat jelata. Guna menunjang kehidupan, mereka mendirikan pemukiman di sekitar Masjid, jaringan sosial dan ekonomi yang akhirnya membentuk pasar tradisional Ampel Suci, sebagai salah satu pasar rakyat tertua di Jawa Timur.

Abad ke-16, para pendatang Arab dengan misi ekonomi dan penyebaran agama mulai masuk ke wilayah Jawa Timur. Kala itu, kondisi Batavia tengah kacau akibat pertikaian ekonomi, sehingga para pedagang ini banyak berpindah tempat. Sebagian menuju Singapura yang kala itu dilihat sebagai daratan baru, sedang sisanya bergerak ke Surabaya dan Gresik. Ketika mereka memasuki Surabaya, mereka memilih kawasan Ampel sebagai tempat menyambung kehidupan. Ditambah nama Masjid Ampel yang sudah tersohor dan ekosistem perdagangan sudah terbentuk oleh para santri Ampel. Wallahu a’lam.

*Sumber Gambar: Republika.co.id