Oleh : Ahmad Baihaqi
Berbicara tentang Ziarah Kubro di Kota Palembang tak bisa lepas dari peran komunitas Arab Hadrami yang ada di pinggiran sungai Musi, tepatnya di Kecamatan Seberang Ilir 2 dan Kecamatan Ulu. Sekalipun pada masa sekarang Ziarah Kubro telah banyak melibatkan luar komunitas Arab, tapi awal mula tradisi ini merupakan tradisi ruwahan yang dilakukan komunitas Arab ke pemakaman keluarga mereka. Komunitas Arab umumnya tinggal di pinggiran Sungai Musi, baik Seberang Ulu maupun Seberang Ilir dan tidak jauh dari Jembatan Ampera dan Benteng Kuto Besar sebagai ikon Kota Palembang.
Di perkampungan Arab berdiri rumah-rumah khas Palembang yang sudah berusia ratusan tahun. Beberapa rumah masih mempertahankan keaslian dengan dinding papan yang sudah sangat tua, sementara sebagian yang lain telah direhab dimana dinding kayunya sudah diganti dengan semen. Namun demikian, rumah tersebut masih menyimpan arsitektur aslinya.
Di beberapa lokasi terdapat masjid yang menjorok ke sungai. Ada juga pesantren yang sudah lama menjadi lembaga pendidikan. Akses ke perkampungan Arab bisa dilakukan dengan menggunakan transportasi darat. Fasilitas jalan sudah beraspal, walau sebagian masih ada yang berlubang-lubang. Antara Seberang Ulu dan Seberang Ilir bisa dijangkau dengan menggunakan transportasi darat tapi harus melalui Jembatan Ampera, sementara menggunakan transportasi air jauh lebih dekat. Biasanya untuk menyeberangi Sungai Musi dilakukan dengan sampan yang tersedia.
Perkampungan Arab sejak masa lampau hingga sekarang tidak mengalami perubahan yang signifikan. Hal ini terlihat dari pola pemukiman dan struktur bangunan yang masih tetap mempertahankan arsitektur lama. Hanya beberapa rumah yang kemudian diubah strukturnya menggunakan batu untuk menghindari gangguan banjir. Sementara pola pemukiman masih tetap dipertahankan. Sehingga, banyak bangunan yang kemudian ditetapkan sebagai benda cagar budaya. Rumah orang Arab ini biasanya membentuk semacam komplek keluarga, yang berkelompok di sekitar kediaman ‘pater familias’ (kepala keluarga besar). Dengan demikian, kewilayahan menjadi salah satu prinsip penataan kehidupan kota; setiap marga keturunan Arab Hadramaut mengawasi wilayahnya sendiri. Marga al-Munawar misalnya, tinggal di 13 Ulu, Assegaf di 16 Ulu, dan al-Musawa di 14 Ulu. Sedangkan di sebelah Ilir marga al-Habsyi memiliki markas di 8 Ilir, Baraqbah di 7 Ulu, al-Jufri di 15 Ulu, dan al-Kaf di 8 Ilir dan 10 Ulu. Tujuh keluarga terkemuka ini pada paruh kedua abad ke-19 bersama-sama membentuk elit kota Palembang.
Selain perumahan, terdapat masjid sebagai tempat ibadah, pasar kuto, serta pesantren yang telah berusia ratusan tahun. Di beberapa sudut di perkampungan Arab terdapat pemakaman seperti Kawah Tengkurap dan Kambang Koci di pelabuhan Boom baru, pemakaman Telaga Sewidak dan Babussalam serta pemakaman Gubah Duku di 8 Ilir.
Menurut masyarakat setempat, pemakaman-pemakaman tersebut merupakan tanah wakaf yang dihadiahkan oleh Kesultanan Palembang kepada nenek moyang mereka pada masa lalu. Pemakaman-pemakaman ini merupakan pemakaman orang-orang pertama keluarga komunitas Alawiyyin termasuk di dalamnya para penyebar pertama agama Islam di Palembang. Oleh sebab itu, perkampungan Arab Hadrami dan pemakaman keluarga Alawiyin inilah yang menjadi noktah awal bagi sejarah tradisi Ziarah Kubro di bumi Wong Kito Galo.
Munculnya Komunitas Arab dan Islam di Palembang
Komunitas Arab Hadrami, begitu juga dengan agama Islam di Palembang telah ada sejak lama. Bahkan William Marsden (1783) dalam bukunya History of Sumatera mencatat bahwa Islam merupakan agama yang berlaku di seluruh kekuasaan sultan, kecuali di sebuah distrik yang bernama Salang. Kedatangan bangsa Arab ke suatu wilayah memang tidak lepas dari perdagangan dan penyebaran agama Islam. Demikian halnya kedatangan mereka ke Kota Palembang.
Keberadaan komunitas Arab di Kota Palembang tidak terlepas dari muara Sungai Musi yang strategis sebagai jalur perdagangan. Pada masa kejayaannya, banyak bangsa berdatangan ke Palembang hanya untuk berniaga, termasuk Cina, India, dan juga Arab. Kedatangan bangsa Arab ke Palembang sama dengan ke daerah lain untuk berdagang dan menyebarkan agama Islam. Beberapa dari orang pertama keturunan Arab yang tinggal di Palembang berasal dari Hadramaut dengan memanfaatkan jalur dagang Sungai Musi untuk memperoleh keuntungan, selanjutnya mereka menyebarkan agama Islam kepada masyarakat Palembang.
Kekuatan ekonomi kalangan Arab Hadrami tersebut berimplikasi pada kemampuan keturunan Arab untuk membangun berbagai bangunan seperti rumah, masjid, mushalla, majelis, pesantren serta membangun tradisi yang didukung oleh para Sultan. Masa ketika Kesultanan Palembang dipimpin Sultan Syarif Ali, pada dasawarsa antara 1840-1880, merupakan zaman kemakmuran besar untuk Koloni Hadramaut di Palembang. Pada pertengahan abad ke-19, yang tercatat sebagai pemilik kapal yang terkaya ialah Pangeran Syarif Ali bin Abubakar bin Saleh dari marga Syechbubakar.
Pertumbuhan ekonomi yang pesat juga berpengaruh pada besarnya koloni Arab Hadrami di Palembang yang sampai pertengahan abad ke-19 masih menjadi magnet para migran baru. Akibat ekspansi pada tahun 1885, masyarakat Hadramaut di Palembang, yang berjumlah lebih dari 2000 orang, menjadi koloni Arab yang terbesar di Hindia-Belanda sesudah Aceh (Van den Berg 1886:108: Peeters1997:16).
Sejak itu Islam menjadi agama kerajaan dan hubungan dengan keturunan Arab di Palembang semakin erat. Hal ini dibuktikan dengan penyerahan berbagai tanah wakaf kepada keturunan Arab untuk dijadikan sebagai lokasi makam para pendahulunya. Hubungan erat antara Kesultanan dan keturunan Arab Hadrami telah memberi peluang yang besar bagi mereka untuk membangun komunitas, tradisi, dan tinggal menetap di Kota Palembang.
Ziarah pada makam-makam keluarga Ba’alawi yang pada awalnya merupakan ruahan yang hanya diikuti oleh keluarga saja, kemudian beralih menjadi ziarah yang dihadiri oleh banyak muslim dari berbagai wilayah bahkan dari luar negeri.
Berbagai cerita karamah menjadi salah satu alasan para peziarah mengunjungi makam. Beberapa cerita karamah yang berhubungan dengan tokoh di pemakaman tersebut, di antaranya tentang cerita Hababah Sidah binti Abdullah bin Agil al-Madihij pernah bertemu dengan Rasulullah SAW secara yaqazhah (dalam keadaan terjaga, tidak dalam keadaan tidur) dengan iringan tetabuhan rebana dan aroma harum wewangian, sehingga seluruh perkampungan di sekitar rumahnya pun dapat mendengar suara tabuhan rebana tersebut. Hingga kini rumah tempat tinggalnya masih ada dan terawat dengan baik.
Cerita lain tentang al-Habib Alwi bin Ahmad al-Kaf, seorang wali quthb yang dikenal memiliki banyak karamah. Diceritakan bahwa pernah suatu kali ayahnya, Habib Ahmad al-Kaf melakukan pelayaran ke Singapura dengan sebuah kapal. Di dalam perjalanan, kapal tersebut mengalami kebocoran. Semua penumpang panik. Ketika akan diperbaiki ternyata kapal tersebut telah ditambal dari luar dengan sebuah sandal yang menutup rapat kebocoran tersebut. Setelah sandal tersebut diambil dan dihadapkan kepada Habib Ahmad, beliau mengenali bahwa sandal tersebut adalah milik anaknya, Habib Alwi. Perasaan aneh menyelimuti hati Habib Ahmad. Setibanya di Palembang, didapati Habib Alwi, anaknya, tengah menunggunya dengan mengenakan sebelah sandal seraya meminta sandal yang satunya lagi dari ayahnya. Masih dalam kisah karamah beliau, 6 bulan setelah Habib Alwi wafat, datanglah surat dari al-Hajrain, Hadhramaut, yang surat itu dibawa melalui perjalanan laut dari Hadramaut ke Palembang yang memakan waktu 6 bulan lamanya. Surat tersebut diterima sanak familinya. Dan isinya adalah menanyakan siapakah waliyullah di Palembang yang wafat sehingga di kota Tarim, Hadramaut terjadi gempa. Dan waliyullah tersebut tak lain adalah Habib Alwi bin Ahmad al-Kaf.
Komunitas Arab Hadrami yang didominasi kalangan Sadah Alawiyyin di Kota Palembang telah melahirkan satu tradisi yang dikenal dengan Ziarah Kubro. Ziarah Kubro ini dilakukan oleh masyarakat Arab Hadrami di kota Palembang pada bulan Sya’ban. Pemberian tanah wakaf oleh Kesultanan telah mendorong keluarga keturunan Arab Hadrami untuk memakamkan keluarga mereka di tempat tersebut. Sehingga banyak para alim ulama dan tokoh kehormatan dari kalangan Alawiyin ini yang dimakamkan di beberapa lokasi seperti di Telaga Sewidak, Gubah Duku, Babussalam, dan Kambang Koci yang terletak di pelabuhan Boom Baru, yang berdekatan dengan pemakaman Kesultanan Palembang di Kawah Tengkurep.
Ziarah Kubro beberapa tahun belakangan tidak lagi hanya diikuti oleh keluarga komunitas Alawiyyin Palembang saja tapi telah diikuti oleh ribuan orang dari berbagai daerah dan suku bangsa yang ada di Indonesia. Bahkan untuk beberapa kali pelaksanaan turut dihadiri oleh alim ulama dari berbagai negara seperti Arab Saudi, Yaman, Malaysia, dan lain-lain. Hubungan yang terbina pada masa lampau antar keturunan Arab Hadrami di Palembang dengan luar negeri telah mendorong keinginan untuk ikut terlibat dalam ziarah tersebut. Hubungan lantaran faktor historis kekerabatan serta hubungan karena pendidikan. Jasa-jasa para pendahulu telah mendorong keinginan tersebut untuk hadir setiap ada perhelatan Ziarah Kubro di Palembang.
Rangkaian acara dalam Ziarah Kubro tidak hanya sekadar ziarah, tapi juga kegiatan haul untuk memperingati para ulama besar yang berjasa dalam penyebaran agama Islam di Palembang. Rangkaian acara selama pelaksanaan Ziarah Kubro tersebut adalah, pertama, ziarah ke Pemakaman al-Habib Ahmad bin Syech Shahab (Gubah Duku) yang terletak di Jalan Dr. M. Isa Lr. Gubah 8 Ilir Palembang. Diawali dari Masjid Darul Muttaqien yang berlokasi di dekat pertigaan Jalan Slamet Riyadi dan Jalan Dr. M. Isa (Pasar Kuto). lalu menuju ke Gubah Duku. Masjid dan gubah tersebut dibangun oleh al-Habib Ahmad bin Syech Bin Shahab di atas tanah wakaf milik ayahnya, al-Habib Syech bin Ahmad Shahab yang dihadiahi Sultan. Al-Habib Ahmad bin Syech sendiri adalah seorang alim dan banyak karamahnya. Beliau juga termasuk orang pertama yang melakukan perluasan Masjid Agung Palembang setelah Sultan Badaruddin.
Kedua, Rauhah dan Tausiah di Pondok Pesantren Ar-Riyadh yang terletak di Jalan K.H. Ahmad Azhari Kelurahan 13 Ulu Palembang. Pesantren ini didirikan oleh Habib Abdurrahman bin Abdullah al-Habsyi. Pesantren ini merupakan tempat para santri menuntut ilmu dan telah menghasilkan banyak lulusan yang menjadi dai, guru agama, dan pimpinan pondok pesantren di berbagai wilayah di Indonesia.
Ketiga, ziarah ke pemakaman ulama dan auliya di Telaga Sewidak dan Babussalam atau As-Seggaf yang terletak di 14 Ulu. Dimulai dari kediaman al-Habib Ahmad bin Hasan al-Habsyi yang terletak di kampung Karang Panjang 12 Ulu Palembang. Lalu melintasi perkampungan Alawiyyin al-Munawar hingga berakhir di pemakaman auliya dan habaib Telaga Sewidak. Setelah itu dilanjutkan ke pemakaman habaib di Babus-Salam di Jalan Jendral A. Yani 16 Ulu.
Keempat, Haul al-Imam al-Faqihil Muqaddam ats-Tsani al-Habib Abdurrahman Assegaf, seorang waliyullah besar kelahiran kota Tarim, yang kemudian dilanjutkan dengan Haul al-Habib Abdullah bin Idrus Shahab dan al-Habib Abdurrahman bin Ahmad Bin Hamid. Dan acara puncak Ziarah Kubro Ulama dan Auliya Palembang Darussalam dipusatkan di Seberang Ilir Kota Palembang, antara lain di Pemakaman al-Habib Pangeran Syarif Ali Bin Syechbubakar, Pemakaman Kawah Tengkurep, dan Pemakaman Kambang Koci.
Sya’ban tahun ini, tahun 1442 H bertepatan dengan April 2021 masa pandemik Covid 19 belum lagi berakhir, sehingga Ziarah Kubro hanya berlangsung secara internal, dengan rangkaian acara yang terbatas, dan diikuti jamaah yang sangat sedikit karena memang sangat dibatasi. Sangat berbeda dengan pelaksanaan tahun-tahun sebelumnya yang melibatkan jamaah sampai ribuan orang, bahkan bisa mencapai 20 ribu orang. Meski demikian, tulisan ini diharap sebagai pengobat rindu suasana meriah dan syahdu dalam perhelatan Ziarah Kubro itu. Mudah-mudahan pula di lain waktu, harapan untuk bersua dan bersilaturahim dalam ajang ziarah agung itu kembali hadir bagi para pecinta habaib dari berbagai pelosok Nusantara dan mancanegara. Semoga..
Ahmad Baihaqi