Hikmah Alawiyah
Image default
Sejarah

ZIARAH KUBRO AWLIYA DAN ULAMA PALEMBANG (Bag.1)

Oleh : Ahmad Baihaqi

Setiap akhir bulan Sya’ban, kawasan jalan protokol Pasar Kuto-Pelabuhan Boom Baru, Palembang, Sumatera Selatan, menjadi saksi bagi kegiatan yang dilakukan puluhan ribu kaum muslimin yang datang dari berbagai pelosok daerah Nusantara hingga Mancanegara. Dan puncaknya, kerumunan orang di komplek pemakaman Kesultanan Palembang Darussalam memadati komplek yang penuh nilai kharismatis tersebut.

Mereka berdoa bersama untuk para ulama, pendiri, dan pemimpin kesultanan Palembang terdahulu. Setelah itu, rangkaian kegiatan ditutup dengan makan bersama dengan menu antara lain berupa nasi minyak dengan daging kambing bakar.

Tradisi ini dikenal dengan sebutan Ziarah Kubro. Kegiatan ini berupa pawai bersama untuk berziarah ke makam para ulama dan pendiri Kesultanan Palembang Darussalam, yang diadakan secara rutin seminggu menjelang datangnya bulan suci Ramadhan. Ziarah Kubro biasanya berlangsung selama tiga hari berturut-turut dan diikuti oleh ribuan orang, bahkan bisa mencapai 20 ribu orang dari berbagai daerah bahkan mancanegara. Tetapi pelaksanaan Ziarah Kubro tahun ini, Sya`ban 1442 Hijriah (April 2021) karena masih dalam masa pandemi Covid-19, hanya diadakan secara internal, dengan rangkaian kegiatan yang terbatas, dan diikuti peserta dalam jumlah yang sangat sedikit karena memang sangat dibatasi mengikuti aturan yang ada dan demi kemaslahatan bersama.

Perhelatan budaya dan tradisi agama ini diawali sejak usai shalat Subuh hingga malam hari. Diawali dengan kegiatan ziarah ke makam-makam ulama yang dikunjungi, antara lain, kompleks pemakaman al-Habib Ahmad bin Syech Shahab, pemakaman auliya dan habaib Telaga Sewidak, makam Babus Salam As-Seggaf, dan berakhir di pemakaman Kesultanan Palembang Darussalam Kawah Tengkurep.

Ziarah Kubro merupakan tradisi kuno yang dilakukan sejak zaman Kesultanan Palembang Darussalam. Namun, ketika itu tradisi ini hanya dilakukan kerabat kesultanan dan baru terbuka untuk umum pada 1970-an. Saat itu kegiatan hanya dilakukan satu hari. Karena jumlah jamaah terus bertambah, waktu pelaksanaannya ditambah menjadi tiga hari sejak 2010. Karena unik dan diminati orang dari luar Sumatera Selatan dan luar negeri, kegiatan ini kemudian menjadi agenda wisata Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan sejak 2013.

Tradisi Alawiyyin

Tradisi Ziarah Kubro yang berlangsung di Kota Palembang dan sekitarnya, sesungguhnya dibawa oleh para Alawiyyin ke Nusantara, khususnya Palembang, dengan mengacu tradisi yang telah mengakar kuat di negeri asal mereka Hadramaut, Yaman. Tak heran kiranya, jika Palembang kemudian disebut sebagai Hadramaut ats-Tsani atau Hadramaut kedua, tentunya bagi mereka yang merindukan suasana ziarah di Hadramaut pada bulan Sya’ban atau mereka yang belum pernah ke sana, namun ingin mendapat “ruh” suasana tersebut.

Ziarah yang dimaksud ialah Ziarah Nabiyullah Hud AS yang berlangsung setiap masa panen kurma, hingga akhirnya pada abad ke-10 Hijriyah Syaikh Abu Bakar Bin Salim membuat tradisi baru Ziarah Agung pada bulan Sya’ban dan inilah yang berlangsung sampai sekarang.

Nabi Hud ‘alaihissalam adalah rasul yang diutus Allah Ta’ala kepada bangsa Arab, yaitu kepada kaum ‘Ad. Nabi Hud tinggal di sebuah lembah antara Yaman dan Oman. Beliau wafat dan dimakamkan di tempat tersebut, tepatnya di Syi’b Hud yaitu lembah kecil yang dinisbahkan kepada beliau.

Pemerhati sejarah Palembang, Yudhi Syarofie, menuturkan, Ziarah Kubro pertama kali dilakukan warga keturunan Arab, terutama asal Yaman. Ketika itu, mereka melakukannya secara eksklusif, yakni hanya di lingkungan keluarga. ”Awalnya, kegiatan ini untuk menjaga kekeluargaan mereka yang notabene pendatang dan minoritas ketika itu. Kegiatan itu juga untuk menghormati leluhur mereka yang merupakan golongan habib atau keturunan Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husein, cucu Nabi Muhammad SAW,” katanya.

Ziarah Kubro mulai dikenal luas ketika Islam berkembang pesat di Palembang pada masa Kerajaan Palembang sekitar abad ke-16. Hal ini ditandai dengan meningkatnya peran warga keturunan Arab menjadi penasihat ataupun guru spiritual raja. Tradisi itu mulai menjadi ritual bersama warga keturunan Arab dan pemimpin Palembang ketika masa Kesultanan Palembang Darussalam (1659-1823). “Saat itu, terjadi akulturasi budaya Arab dan Palembang, seperti pawai diiringi prajurit berpakaian khas Melayu Palembang dan mengunjungi makam pendiri ataupun penguasa Palembang terdahulu,” tutur Yudhi.

Pada hari pertama pelaksanaan Ziarah Kubro ini, ribuan jamaah mengunjungi makam Habib Ahmad Bin Syech Shahab di kawasan Masjid Darul Muttaqien Kecamatan Ilir Timur II Palembang. Pada hari kedua, jamaah mengunjungi makam Gubah di Jalan Ki Azhari Kelurahan 14 Ulu Palembang dan pemukiman keturunan As-Seggaf di Kelurahan 16 Ulu Palembang. Dan pada puncak acaranya, digelar dengan ziarah ke pemakaman Al-Habib Pangeran Syarif Ali Bin Syechbubakar, Kawah Tengkurep, dan Kambang Koci di Kecamatan Ilir Timur II Palembang.

Akulturasi Hadramaut dan Wong Kito Galo

Kearifan lokal sebagai ciri khas daerah yang berdimensi positif pasti mendapat dukungan atau penerimaan dari masyarakat setempat. Salah satu masyarakat yang memiliki kearifan lokal yang khas adalah masyarakat Kota Palembang, Sumatera Selatan. Kehidupan masyarakat Palembang yang sangat kental dengan nilai-nilai religius membuat masyarakatnya memiliki nuansa religius dalam hal kearifan lokal. Wujud kearifan lokal tersebut adalah pada sistem religi yang khas, yaitu pada tradisi Ziarah Kubro. Tradisi Ziarah Kubro dilakukan oleh masyarakat di Kampung Arab Palembang. Tradisi ini dilakukan menjelang bulan Ramadan atau lebih tepatnya pada 10 hari terakhir bulan Sya’ban atau 10 hari menjelang bulan Ramadhan. Sampai dengan sekarang, tradisi Ziarah Kubro tersebut tetap bertahan. Meskipun diyakini bahwa modernisasi telah mempengaruhi sendi-sendi kehidupan masyarakat, namun ternyata tradisi Ziarah Kubro tersebut tetap mampu bertahan sebagai sebuah bentuk kearifan lokal.

Tradisi Ziarah Kubro diyakini hanya ada di Palembang dan tidak ada di daerah lain. Puncak Ziarah Kubro tersebut dilakukan di kompleks pemakaman Kesultanan Palembang Darussalam, khususnya di kampung Arab. Meskipun realitasnya warga keturunan Arab, khususnya keturunan Hadramaut, yang menetap dan membentuk suatu komunitas di Nusantara, tidak hanya ada di Kota Palembang, melainkan banyak terdapat di tempat-tempat lain.

Rangkaian acara pada tradisi Ziarah Kubro sudah dimulai sejak Jumat pagi setelah shalat Subuh. Diawali dengan pembacaan Burdah dan haul di rumah panggung yang telah berusia ratusan tahun, dikenal dengan sebutan Rumah Bari. Lalu ribuan peziarah itu akan berangkat bersama-sama melakukan ziarah kubur ke pemakaman para ulama dan auliya yang terdapat di kota Palembang.

Ziarah ke makam para ulama dan auliya ini berlangsung secara bertahap selama tiga hari berturut-turut. Di hari pertama, para peziarah mengunjungi Gubah Al-Habib Ahmad bin Syech Shahab, tempat sebagian besar kaum alawiyyin dimakamkan dan pemakaman Habib Aqil Bin Yahya. Di akhir kegiatan tersebut, para peziarah diharapkan akan mendapatkan ilmu dan teladan dari para ulama dan auliya yang telah mendahului, dan menambah ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam di Indonesia dan mancanegara.

Jamaah dan ulama tersebut kemudian disambut pihak kesultanan, yakni Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin. Mereka berdoa bersama untuk para ulama, pendiri, dan pemimpin kesultanan terdahulu. Setelah itu, rangkaian kegiatan ditutup dengan makan bersama. Menu yang disajikan antara lain nasi minyak dengan daging kambing bakar.

Kegiatan ini juga sudah menjadi agenda wisata religi dan wisata budaya di Kota Palembang. Tidak hanya menarik peziarah dari Kota Palembang saja, para peziarah dari Pulau Jawa, Kalimantan, dan daerah lain di Indonesia juga ikut memeriahkan. Bahkan para tokoh ulama dan tamu dari mancanegara juga ikut meramaikan, seperti dari Malaysia, Singapura, Thailand, Brunai Darussalam, Kuwait, Yaman, serta Arab Saudi.