Hikmah Alawiyah
Image default
Dakwah Thariqah Alawiyah

Sejarah Hubungan Ulama Nusantara dengan Ajaran Para Habaib

Warisan yang ditinggalkannya adalah ajaran tentang cinta (mahabbah, kepada Allah dan sesama makhluk-Nya), akhlak mulia, dan amal shaleh.

 

Perkembangan Islam di Nusantara memiliki hubungan yang sangat erat dengan ajaran yang dibawa para Habaib sejak berabad silam. Menurut Dr. Haidar Bagir dalam kolomnya yang dipublikasikan oleh islamindonesia.id,  pengaruh Habaib, yakni para tokoh dari keluarga Baniy ‘Alawi di Nusantara, tak pernah bisa dilepaskan dari manhaj tasawuf. Karena, ajaran Baniy’ Alawi, seperti sebutan Thariqah yang disematkan kepadanya, adalah ajaran tasawuf. Dan sebagai ajaran tasawuf, maka warisan yang ditinggalkannya adalah ajaran tentang cinta (mahabbah, kepada Allah dan sesama makhluk-Nya), akhlak mulia, dan amal shaleh.

 

Haidar Bagir memaparkan, relasi ini bahkan telah terjalin sejak abad 13, sebelum era Walisongo. Misalnya,  pada abad 13-14 kita sudah mengenal Abdullah bin Mas’ud al-Jawi, yang menjadi Syaikh dari Imam Abu Abdullah Muhammad bin As’ad al-Yafi’i (1298-1367), seorang ulama sufi terkemuka pada masanya – sebagaimana ditulis sendiri oleh sang faqih-sufi ini.

Wali Songo sendiri, menurut beberapa sumber sejarah adalah keturunan Baniy ‘Alawi melalui ‘Ammul Faqih Alwi bin Muhammad Shaahib Mirbath yang bermigrasi ke India. Yakni mulai dari salah seorang putranya, Abdul Malik, yang belakangan keluarganya disebut ‘Azhamat Khan.

Habib Abdullah Haddad – seperti beliau tulis sendiri dalam al-Nafa’is al-‘Uluwiyah – pernah membaca kitab Risalah al-Qurbah karya Ibnu ‘Arabi bersama Syaikh Yusuf Makassari. Habib Abdurrahman bin Abdillah Bilfaqih – murid utama Habib Abdullah Haddad, selain Habib Ahmad bin Zayn Alhabsyi – diriwayatkan pernah minta di-bay’at oleh tokoh Nusantara yang sama ini juga.

 

Pada kenyataannya, Habib Abdurrahman ini memang ber-bay’at dan mendapat ijazah dari banyak tarekat, salah satunya dari Syaikh Ibrahim al-Kurani, yang juga menjadi guru-guru sebagian ulama-sufi di Nusantara, dan akan disinggung lebih jauh di bawah ini.

 

Sebagaimana disebutkan oleh Habib Abdurrahman dalam Majmu’ Rasa’il yang ditulisnya sendiri, pemberian khirqah (peng-sanad-an ijazah-red) dilakukan oleh al-Kurani lewat surat yang beliau kirim dari Madinah.

Dijelaskan Haidar Bagir, Al-Raniri pun pernah belajar ke Hadramaut dan disebut-sebut sebagai pengikut tarekat al-‘Aidrusiyah. Gurunya ketika di India pun adalah para ulama dari kalangan Bani ‘Alawi, termasuk Abu Hafs ‘Umar bin Abdullah Ba Syaiban al-Tarimi al-Hadhrami yang juga dikenal sebagai Sayid Umar al-‘Aydrus (atau al-‘Aydrusi pengikut Tarekat ‘Aidrusiyah?), yang berada dalam satu rantai perguruan dengan Ahmad al-Qusyasyi.

Al-Qusyasyi sendiri adalah murid beberapa ulama Tarekat ‘Alawiyah lainnya termasuk, Sayid Ali al-Qab’i, Sayid Abi al-Ghayts Syajr, dan Sayid As’ad al-Balkhi. Pada gilirannya, al-Qusyasyi merupakan guru dari para ulama Tarekat ‘Alawiyah yang, antara lain, menjadi guru-guru al-Raniri.

Abd al-Ra‘uf Sinkili, adalah murid al-Qusyasyi, guru dari para ulama dari Tarekat ‘Alawiyah, dan Ibrahim al-Kurani. Al-Kurani dikenal luas sebagai penulis It-haf al-Dzaki, syarah atas al-Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabiy karya Muhammad Fadhlullah al-Burhanfuri, yang dianggap bertanggung jawab atas penyebaran pikiran-pikiran ‘Irfan Ibnu ‘Arabi di Nusantara. Isinya tentang paham martabat tujuh dalam wahdah al-wujud. Buku ini ditulisnya, seperti diungkapkan dalam pengantarnya, “atas permintaan orang-orang dari Jawa.”

Kepada al-Kurani juga silsilah Syaikh Yusuf Makassari bersambung. Selain al-Kurani, di antara guru-guru al-Makassari ini termasuk Umar bin Abdullah Ba Syaiban, yang juga guru al-Raniri, dan Sayid ‘Ali al-Zabidi atau Ali bin Abi Bakr dari Tarekat ‘Alawiyah.

Abdul Shamad al-Palembani bahkan adalah seorang ‘alim Sayid keturunan Yaman. Ayahnya adalah Syaikh Sayid Abdul Jalil — ada yang mengatakannya bin Abdullah atau bin Abdurrahman — bin Syaikh Abdul Wahhab al-Mahdani. Pada gilirannya, Muhammad Arsyad al-Banjari adalah murid dari al-Palembani.

Lewat studi ulama-ulama Melayu ke Jazirah Arab yang bermazhab Syafii dan banyak diwarnai para Habaib yang bermigrasi ke wilayah ini dari Hadhramaut, termasuk Kyai Ahmad Dahlan dan Kyai Hasyim Asy’ari yang belajar kepada, antara lain Mufti Syafii Makkah, Syaikh Ahmad Zayni Dahlan. Yang disebut terakhir juga diketahui belajar dari Habib Husein bin Muhammad al-Habsyi di kota yang sama di Hijaz itu.

Ditambahkan oleh Haidar Bagir, lewat diaspora Hadhramaut ke Asia Timur Jauh, termasuk ke Indonesia di sekitar abad yang sama, yang melahirkan kelompok habaib dan syaraif yang ada di Indonesia sampai masa sekarang. Dan seperti melanjutkan para nenek-moyang mereka sebelumnya, tak sedikit para ulama Nusantara sepanjang dua abad terakhir yang menjadi murid para tokoh utama keluarga Alawi ini.

Seorang Habib yang menonjol dalam hal ini adalah Habib Ali Al Habsyi Kwitang, di antara banyak murid beliau di Betawi adalah KH Abdullah Syafii, KH Tohir Rohili, dan KH Muhammad Hadzami. Di generasi lebih belakangan, Habaib lain yang memiliki murid di lingkungan pendidikan keulamaan di Indonesia, adalah seperti Habib Luthfi bin Yahya, dan lain-lain.

Akhirnya, selama sedikitnya dua dekade terakhir, ada fenomena baru para siswa di Indonesia yang belajar Islam ke Hadhramaut – di samping ke Makkah, di bawah Sayid Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki. Di antara tokoh habaib yang menonjol dalam hal ini tentu adalah Habib Umar bin Hafizh, Habib Abubakar Masyhur, dan lain-lain.

Kemudian dari tokoh-tokoh ulama seperti Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki. Habib Umar bin Hafizh, dan Habib Abubakar Masyhur inilah lahir murid-murid yang kemudian dikenal menjadi ulama di Indonesia, di antaranya Habib Jindan bin Novel, Alm. Habib Munzir Al Musawa, dan lain-lain.

Haidar Bagir menyimpulkan, bahwa pembentukan apa yang kadang disebut sebagai Islam Nusantara – yang berlandaskan ajaran cinta, kedamaian, adab, dan kesantunan – sesungguhnya mendapatkan banyak inspirasi dan pengaruh besar dari manhaj Habaib Hadhramawt yang biasa disebut sebagai Thariqah ‘Alawiyah ini.

Pengaruh tersebut, seperti terlihat di atas, sudah bermula sejak awal masuknya Islam ke Indonesia – enam sampai tujuh abad yang lalu, dan masih berperan besar sampai masa-masa sekarang ini.

(dikutip dari Kolom Haidar Bagir yang dimuat di islamindonesia.id)