Hikmah Alawiyah
Image default
Tokoh

Habib Fadhl bin Alwi Maulad Dawilah, Tokoh Penting di Banyak Negeri

Selama berabad-abad sejarah perjalanan Islam, di setiap wilayah ada saja tokoh Alawiyin yang menjadi figur penting kaum muslimin. Sebagiannya malah menjadi tokoh sentral yang memberikan arah perjalanan umat di tempat mereka berada. Masing-masing mereka, pada umumnya, menjadi tokoh di wilayah tertentu. Namun ada pula yang popularitas dan ketokohannya tidak hanya di satu daerah, melainkan meluas ke berbagai tempat yang berbeda.

Di antara yang termasuk dalam kelompok yang terakhir ini adalah Habib Fadhl Maulad Dawilah, seorang tokoh besar Alawiyin abad ke-13 Hijriah (abad ke-19 Masehi). Ia tokoh yang terkenal di India, Hadhramaut, Mekkah, Istambul (Turki), dan di berbagai belahan dunia lainnya. Orang-orang mengakuinya sebagai imam, `allamah, wali besar, dan dai yang menyeru ke jalan Allah, dengan ucapan, perbuatan, kesungguhan, dan niatnya.

Tulisan berikut ini mencoba mengungkap sekelumit riwayat hidup tokoh ini yang bahan-bahannya kami rangkum dan terjemahkan dari beberapa kitab, di antaranya kitab Taj Al-A`ras jilid II halaman 437-441, karya Habib Ali bin Husain Al-Attas (Habib Ali Bungur), kitab Lawami` an-Nur halaman 282-284, karya Habib Abu Bakar Al-Adni, kitab Syams Azh-Zhahirah jilid pertama halaman 308-309, sebuah kitab nasab yang sangat penting karya Habib Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur yang di-tahqiq (diedit) dan diberi ta`liq (komentar) oleh Sayyid Muhammad Dhiya’ Syahab, dan dari beberapa sumber lain.

Sultan para Wali
Silsilah tokoh ini adalah Fadhl bin Alwi bin Muhammad bin Sahl bin Muhammad bin Ahmad bin Sulaiman bin Umar bin Muhammad bin Sahl bin Abdurrahman Maula Khailah bin Abdullah bin Alwi bin Muhammad Maulad Dawilah, dan seterusnya. Ia lahir di Malibar (Malabar), sebuah kota di India, pada tahun 1240 H. Ada pula keterangan yang menyebutkan bahwa ia lahir di Hadhramaut. Ayahnya, Habib Alwi bin Muhammad Maulad Dawilah, adalah seorang `allamah yang ahli ibadah.

Habib Alwi ini orang pertama yang berangkat dari Hadhramaut menuju Malibar untuk membimbing penduduknya. Kemudian ia menetap dan menikah di kota itu. Beliaulah yang mendidik dan mengajar Habib Fadhl sampai mendapatkan ilmu yang memadai. Selain itu Habib Fadhl juga belajar kepada para ulama lainnya. Cara ayahnya pula yang kemudian ditirunya dalam menyebarkan dakwah dan mengajari orang-orang yang belum berilmu.

Ketika masih berada di tanah Hindustan, Habib Fadhl adalah tokoh yang menonjol dalam penentangan dan perjuangannya menghadapi orang-orang kafir. Hal ini membuat mereka bersiasat untuk mengeluarkannya dari negeri ini. Akhirnya pada tahun 1268 H ia pun pergi ke Makkah dan tinggal di kota suci itu untuk memberikan dan mengambil manfaat. Selama menetap di sana ia sering bolak-balik ke Hadhramaut untuk mengunjungi para ulama dan orang-orang shalih.

Pada tahun berikutnya ia meninggalkan Makkah menuju Turki, pusat kekhalifahan Islam di masa itu. Dalam perjalanannya ia sempat mampir ke Mesir dan mengunjungi para wali dan ulama negeri tersebut. Setelah itu barulah ia ke Konstantinopel dan disambut oleh Sultan Abdul Majid Khan dengan penyambutan dan perhatian yang lebih dari biasanya. Ilmunya, sifat santunnya, dan keunggulan pemikirannya membuat Sultan kagum kepadanya.

Sejak saat itu ia sering bolak-balik Makkah-dan Turki sampai tahun 1287 H (sumber lain menyebutkan tahun 1292 H) ketika ia dipilih sebagai gubernur Zhufar, salah satu daerah di Hadhramaut. Penduduk Zhufar sendiri yang memintanya menduduki jabatan itu dan hal tersebut didukung oleh Daulah Utsmaniyyah di Istambul. Maka berangkatlah ia ke Zhufar untuk memegang kepercayaan itu. Habib Fadhl menjalankan pemerintahannya hingga tahun 1296 H saat ia meninggalkan jabatan itu akibat suatu muslihat yang halus dari pihak yang tak suka padanya.

Selama menjabat, ia sempat mendapatkan bintang jasa dari Sultan Abdul Hamid. Kemudian ia kembali ke Turki, menetap di sana dan menghabiskan waktunya untuk ilmu dan dakwah di jalan Allah. Di antara pemikirannya yang jitu di masa itu adalah usulnya kepada Daulah agar membangun jalan kerata api dari Turki menuju Hijaz.

Habib Fadhl dikenal memiliki semangat yang tinggi, mempunyai kemauan yang kuat, dan tidak takut kepada siapa pun dalam berjuang di jalan Allah. Semangatnya adalah memberikan manfaat bagi Islam dan kaum muslimin serta menganggap rendah orang-orang kafir dan orang-orang zhalim. Tanpa mengabaikan yang lain, secara khusus ia memberikan perhatian kepada Sadah Alawiyin, karena ia termasuk golongan mereka, bahkan salah seorang pemukanya.

Kitab Tajul A`ras mengutip ucapan seorang Arif billah, Habib Salim bin Abu Bakar bin Abdullah Al-Attas, yang mengatakan, “Habib Fadhl adalah sultan para wali di masanya.” Ia juga mengatakan, “Ketika berada di Makkah, saya mendengar ada suara yang mengatakan, ‘Ada dua orang yang keadaannya lebih hebat dibandingkan orang-orang tuanya, yakni putra Abdul Qadir Al-Habsyi dan Fadhl bin Alwi’.” Yang dimaksud putra Abdul Qadir Al-Habsyi adalah Habib Thohir bin Abdul Qadir bin Muhammad Al-Habsyi, yang lahir di Ghurfah dan dimakamkan di kota itu pula.

Dunia itu Remeh
Bagi Habib Fadhl, dunia adalah sesuatu yang remeh. Tak pernah ia mengumpulkan materi. Ia tak ingin dunia berlama-lama ada di tangannya. Jika diumpamakan, ia adalah seorang pengendara yang berteduh sejenak di bawah pohon yang kemudian pergi dan meninggalkannya begitu saja. Meskipun menjadi tokoh terkemuka dan selama hampir tiga puluh tahun tinggal di Istambul, ibu kota kekhalifahan serta dekat dengan penguasa, ia tidak memiliki tanah atau rumah, tidak pula menyimpan dinar atau dirham.

Habib Fadhl juga dikenal teguh dalam hal ketaqwaan, kezuhudan, dan ibadah. Selama tinggal di Makkah setelah meninggalkan Malibar, kesungguhannya dalam beribadah terlihat nyata, baik siang maupun malam, hingga tampak buahnya dan jelas cahayanya. Ia kemudian dikenal sebagai seorang wali besar yang memiliki kasyaf (pengetahuan tentang hal-hal ghaib yang Allah berikan) dan mempunyai kedudukan yang tinggi di kalangan pemerintah maupun kaum muslimin pada umumnya, terutama ketika berada di Turki.

Kitab Tajul A`ras pada halaman 439 dan 440 menyebutkan suatu peristiwa berkaitan dengan Habib Fadhl ini yang dikisahkan oleh Habib Husain bin Hamid bin Umar Al-Attas. Ia mengatakan, “Ayah saya bercerita demikian: Saya tinggal di Makkah bersama Al-Akh Abdullah bin Abu Bakar bin Abdullah bin Thalib bin Husain Al-Attas. Telah menjadi kebiasaan kami berkumpul setelah shalat Subuh di Masjidil Haram melakukan muthala`ah (kajian) dengan beberapa teman yang lain. Suatu hari Habib Abdullah bin Abu Bakar bin Abdullah Al-Attas bercerita:

Pada suatu malam di bulan purnama saya keluar menuju Masjidil Haram karena menyangka waktu subuh telah tiba. Saya pun berthawaf di Ka`bah. Ketika itu di tempat thawaf hanya ada beberapa orang yang dapat dihitung dengan jari. Maka tahulah saya bahwa saya salah sangka di bulan purnama itu. Saya pun bermaksud kembali ke rubath. Ketika berada dekat dari pintu Sayyidina Ali (salah satu pintu di Masjidil Haram), saya melihat di sana terdapat sebuah halaqah besar yang di dalamnya ada para tokoh yang berwibawa. Di antara mereka terdapat cukup banyak sadah Alawiyin (para habib) yang saya kenali dari penampilan dan sorban mereka yang besar.

Yang berada di tengah halaqah itu adalah Habib Fadhl bin Alwi bin Sahl, yang ketika itu tinggal di Makkah. Ia berdiri di atas kedua kakinya dalam keadaan marah dan mengatakan, ‘Syarif Abdullah (penguasa Makkah waktu itu) harus dihancurkan.’

Mendengar itu, seorang habib sepuh yang memiliki wibawa dan kebesaran menyatakan ketidaksetujuannya dan berkata kepadanya, ‘Ya waladi (‘Wahai anakku’, sapaan yang biasa digunakan untuk orang yang lebih muda yang disayangi), kami bukannya mementingkan pribadi Syarif Abdullah. Yang kami pentingkan adalah umat. Tetapi tak ada orang yang memiliki kecakapan untuk memerintah Makkah selain dia.’

Tetapi pendapat orang tua itu disanggah oleh yang lain, ‘Tidak apa-apa. Biarkan Fadhl memukulnya dengan pukulan yang tersembunyi sebagai balasan atas adabnya yang buruk.’

Akhirnya semua yang ada di halaqah bersatu suara, ‘Inilah pendapat yang benar.’
Kemudian Habib Fadhl menyingsingkan lengan bajunya lalu mengangkat tangannya dan setelah itu menjatuhkannya ke lantai seperti orang yang sedang memukul.

Tak lama kemudian halaqah itu pun bubar. Saya kembali melakukan thawaf dan tetap di masjid sampai sekarang (saat itu).” Demikian cerita Habib Abdullah tersebut.

“Ayah saya (Habib Husain bin Hamid bin Umar Al-Attas) mengatakan, ‘Kami pun kemudian menanti-nanti apa gerangan yang akan terjadi. Kami mencuri-curi dengar apa yang orang-orang katakan. Pagi harinya tersiar kabar di kota bahwa Syarif Abdullah pada malam itu mengalami stroke sehingga lumpuh setengah badannya’.”

Dimuliakan dan Dihormati
Kualitas keilmuan dan kebesaran seseorang di antaranya terlihat dari siapa yang menjadi murid-muridnya atau yang mengambil manfaat darinya. Jika yang menjadi muridnya adalah orang-orang yang berbobot dari segi ilmunya, itu menandakan kebesaran orang yang bersangkutan.

Demikian pula Habib Fadhl ini. Tidak sedikit tokoh ulama yang berhubungan dan mengambil ilmu darinya. Di antaranya yang memiliki ikatan yang kuat dengan beliau adalah Habib Alwi bin Abdurrahman Al-Masyhur. Ketika pulang dari Mesir dalam sebuah perjalanannya, Habib Alwi pergi menuju Turki untuk mengunjungi gurunya itu dan tinggal di tempat beliau selama setahun penuh.

Muridnya yang lain adalah Habib Ahmad bin Abu Bakar bin Semith, seorang tokoh ulama yang sangat terkemuka di Zanzibar.

Suatu ketika Habib Ahmad sedang berada di Istambul, Turki, menjadi tamu Habib Fadhl. Pagi itu Habib Fadhl berkata kepadanya, “Hari ini engkau mendapatkan seorang anak dan kami menamainya Umar.”

Habib Ahmad gembira mendengar kabar itu. Ia menanti sampainya kawat yang mengabarkan hal tersebut. Ternyata memang demikian, sebagaimana yang disebutkan oleh Habib Fadhl. Ketika Habib Ahmad bin Semith kembali ke negerinya di Afrika, ia mendapati keluarganya telah menamai anaknya itu dengan nama lain, yakni nama salah seorang pendahulunya. Maka Habib Ahmad pun mengubah nama anaknya itu menjadi Umar, sebagaimana yang dinamai oleh gurunya, Habib Fadhl.

Habib Fadhl menghabiskan sisa umurnya di Turki sebagai seorang yang dimuliakan dan dihormati serta memiliki kewibawaan yang besar dan kedudukan yang tinggi, hingga kembali ke rahmatullah pada hari Jum’at tanggal 2 Rajab tahun 1318 H di Istambul.

Semoga Allah merahmatinya dengan rahmat yang diberikan-Nya kepada orang-orang yang baik, dan semoga kita mendapatkan keberkahannya. Amin.