Hikmah Alawiyah
Image default
Tokoh

Habib Salim bin Hafizh bin Syaikh Abu Bakar, Kakek Habib Umar bin Hafizh

Mungkin tak banyak yang tahu, Habib Salim bin Hafizh, kakek Habib Umar bin Hafizh, lahir di Bondowoso pada 25 Syawwal tahun 1288 H. Sedangkan Habib Umar maupun ayahnya, Habib Muhammad bin Hafizh, lahir di Hadhramaut. Kemudian berkat inayah (pertolongan) Allah, pada 15 Shafar 1297 H ayahnya membawa Habib Salim ke Hadhramaut, tepatnya Misythah. Pada tahun itu pula Habib Salim mulai belajar membaca Al-Quran kepada seorang muallim, `Abud bin Sa`id Basyu`aib. Ayahnyalah yang meminta Muallim `Abud datang dari Desa As-Suwairi untuk mengajarinya, dan untuk itu ia memberikan upah kepada sang muallim.

Setelah Muallim `Abud pergi menunaikan haji, ayahnya memanggil muallim lain dari Desa Al-Wasithah. Terakhir Habib Salim menyempurnakan pelajaran membaca Al-Qurannya kepada Muallim Abdullah bin Hasan Basyu`aib bersama sejumlah anak kecil lain.

Apa yang dilakukan oleh ayahanda Habib Salim dengan memanggil guru-guru Al-Quran untuk anaknya menunjukkan perhatiannya yang besar terhadap penguasaan membaca Al-Quran, sesuatu yang sangat ditekankan di kalangan ulama dan orang-orang shalih. Jikapun tak dapat memanggil guru lain, mereka akan mengajari sendiri dengan serius sampai meyakini benar bahwa anaknya telah memiliki penguasaan membaca Al-Quran yang memadai sebagai modal awal menguasai ilmu-ilmu agama.

Pada tahun 1304 H, Habib Salim berangkat dari Misythah menuju Tarim untuk menuntut ilmu dan kembali mendalami Al-Quran. Apa yang dipelajari dapat ia peroleh dengan sebaik-baiknya seperti yang diinginkan. Ia selalu mendatangi qubah Abu Maryam untuk mengulangi pelajaran Al-Qur’an kepada Muallim Abdullah bin Ahmad Bagharib. Ia juga belajar kepadanya di masjid jami` atau di rumahnya di Suhail, karena ia memang tinggal di rumah sang guru.

Kemudian, bersama sejumlah thalabah (para penuntut ilmu), Habib Salim pindah tempat tinggal ke kediaman Habib Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur. Di rumah gurunya ini, Habib Salim bersama thalabah yang lain mengikuti jejak langkah guru mereka. Setiap akhir malam mereka pergi bersama sang guru ke Masjid Syaikh Ali bin Abu Bakar As-Sakran untuk tadarus Al-Qur’an sampai terbit fajar. Setelah subuh, mereka belajar membaca kitab-kitab kepada beliau hingga datang waktu isyraq (saat terbit matahari). Setelah itu mereka pun kembali ke rumah.

Sepanjang hari, ia membagi waktu-waktunya untuk mengikuti mejelis-majelis ilmu di rumah para syaikh yang mendarmabaktikan diri dan waktu mereka untuk memberikan manfaat kepada para thalabah. Habib Salim tinggal di Tarim dengan pola hidup demikian selama lebih kurang setahun.

Rihlah dan Dakwah
Ketika ayahnya menikah di Seiwun tahun 1305 H, Habib Salim pun pindah ke kota tersebut. Selama tinggal di sini ia selalu menuntut ilmu, bahkan bukan hanya di kota ini, tetapi juga bolak-bolik ke Tarim dan Masythah, selama sekitar dua setengah tahun. Dalam waktu itu, ia belajar membaca berbagai kitab kepada sejumlah syaikh terkemuka. Demikianlah yang ia lakukan hingga ia menikah di Masythah.

Aktivitas menuntut ilmu tak menjadi surut atau berkurang setelah menikah. Ia tetap bolak-balik ke Tarim. Meskipun kecil, Tarim menjadi salah satu kota di Hadhramaut yang sangat terkenal, karena telah melahirkan banyak ulama. Di kota ini bermukim banyak sekali anak-cucu Rasulullah SAW. Sayyid Ali bin Alwi Khali` Qasam dan saudaranya, Salim, adalah keturunan Imam Ahmad (Al-Muhajir) bin Isa yang pertama tinggal di Tarim, yakni sejak tahun 521 H. Kini banyak pelajar mancanegara yang belajar di kota ini, khususnya pelajar dari Indonesia.

Untuk kepentingan dakwah dan penyebaran ilmu, Habib Salim sering melakukan rihlah (perjalanan). Di antaranya, perjalanannya ke Du`an tahun 1349 H, perjalanannya ke Haramain yang kedua tahun 1355 H, lalu perjalanan ke Jawa tahun 1356 H. Ia juga pernah mengadakan perjalanan ke India, kemudian ke Jawa lagi, lalu kembali ke Haramain. Itu dilakukannya tahun 1357 H.

Benua Afrika menjadi tujuan berikutnya. Maka pada tahun 1358 H ia pergi ke Zanzibar dan Mombasa. Keduanya adalah sebagian di antara tempat-tempat di Afrika yang banyak dihuni kaum Alawiyin yang berasal dari Hadhramaut atau nenek moyangnya dari Hadhramaut.

Di negeri-negeri yang ditujunya, Habib Salim selalu mengadakan pertemuan dan menjalin hubungan dengan para ulama terkemuka dan para wali di masanya. Pertemuan-pertemuan dan hubungan-hubungannya dengan mereka serta buah yang didapatnya, baik berupa wasiat maupun ijazah, ia kumpulkan dalam sebuah catatan yang ia namakan Minhah al-Ilah fi al-Ittishal bi Ba`dhi Awliyah. Tercatat 149 syaikh yang disebutnya dalam catatan itu.

Habib Salim menunaikan haji ke Baitullah tahun 1320 H. Dalam kesempatan ini ia berjumpa dengan sejumlah ulama dan orang shalih sehingga dapat mengambil ilmu dan ijazah dari mereka. Setelah itu ia kembali ke Hadhramaut.

Habib Salim wafat di Masythah tahun 1378 H setelah menghabiskan kehidupannya untuk aktivitas ilmiah diniyah yang penuh dengan ketaatan dan ketaqwaan serta manfaat bagi umat dan negeri-negeri yang didatanginya.

Mengutamakan Sikap Khumul
Di akhir-akhir hayatnya ia mengutamakan sikap khumul (tidak ingin dikenal) lebih dari sebelumnya. Sampai-sampai orang mengenal beliau sebagai orang yang benar-benar tawadhu` dalam segala hal ihwalnya. Bahkan, ia terlihat berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menyembunyikan dirinya dalam majelis-majelis umum dengan duduk di barisan paling belakang. Jika orang lain sedang menyampaikan pelajaran, hampir tidak pernah keluar sepatah kata pun dari lisannya.

Setelah beliau berpulang ke rahmatullah, dakwah dan perjuangan Habib Salim diteruskan oleh para murid serta anak-cucunya. Anaknya, Habib Muhammad bin Salim bin Hafizh (kelahiran 1332 H), yang dididik secara langsung olehnya, juga dikenal sebagai ulama terkemuka Tarim. Ilmunya sangat luas, mencakup berbagai bidang keilmuan. Sebagaimana ayahnya, Habib Muhammad bin Salim juga pergi menuntut ilmu ke berbagai tempat. Makkah, Madinah, India, Pakistan, adalah sebagian di antara negeri yang didatanginya.

Selepas menimba ilmu dari banyak ulama di berbagai negeri, ia kembali ke kampung halamannya dan mendirikan majelis ilmu. Bidang pendidikan memang menjadi salah satu perhatian utamanya. Ia sangat berharap adanya lembaga-lembaga pendidikan yang akan memberikan manfaat terbaik kepada umat. Sama seperti ketika belajar, di saat telah mengajar dan berdakwah pun, medan perjuangannya tidak hanya terbatas di Hadhramaut, melainkan juga Mekkah, Madinah, Pakistan, negeri-negeri Afrika, dan lain-lain.

Demikianlah Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz selalu berkhidamat demi kejayaan Islam dan muslimin, hingga suatu ketika di bulan Dzulhijjah 1392 H ia dipanggil oleh pemerintahan komunis dan tak pernah kembali lagi. Sejak saat itu ia dianggap telah gugur sebagai syahid dalam usia 60 tahun.

Cucu dan anak mereka, Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafizh (kelahiran 1963) yang sejak usia 20-an telah sangat dikenal sebagai ulama terkemuka yang menguasai berbagai ilmu, kini melanjutkan perjuangan mereka. Popularitas dan kebesarannya tak perlu diperkenalkan lagi, ratusan muridnya telah tersebar di berbagai negeri. Karenanya, Habib Salim patut untuk tersenyum bahagia, karena perjuangannya tak terhenti.