Hikmah Alawiyah
Image default
Wawancara

Kondisi Manuskrip Islam di Indonesia (1)

Berbicara tentang peradaban Islam, tentu tak bisa dilepaskan dari karya-karya para ulama Islam zaman dulu. Sebab seperti kita tahu, peradaban pada hari ini dibangun di atas pondasi peradaban tempo dulu. Begitupun dengan peradaban Islam. Salah satu pondasi Islam di Indonesia adalah karya-karya manuskrip ulama Islam di Nusantara.

Lalu bagaimana kondisi manuskrip Nusantara saat ini?

Berikut wawancara kami dengan filolog dan juga Direktur Islam Nusantara Center, Ahmad Ginanjar Sya’ban dengan tema: Kondisi Manuskrip Islam di Indonesia.

Q : Apa yang dimaksud dengan manuskrip?

A : Manuskrip itu akar katanya berasal dari bahasa Belanda, manu dan schriff yang artinya adalah naskah tulisan tangan. Padanan istilah lainnya yaitu hand script. Hand script itu juga artinya tulisan tangan.

Nah, Kalau dalam bahasa Arabnya itu makhthuth, dari asal kata-kata khath yang artinya tulisan tangan juga. Jadi secara umum kita bisa mengatakan bahwa manuskrip itu adalah naskah-naskah kuno yang ditulis tangan. Itu pengertian manuskrip.

Namun dalam ilmu filologi Arab, manuskrip dikategorikan sebagai turats, yaitu warisan literasi masa lampau.

Nah, turats Ini bisa dikelompokkan menjadi tiga kategori.

Pertama, al-makhthuth. Artinya, turats kuno berupa naskah tulis tangan.

Kedua, turats mathbu` qadim. Yaitu naskah kuno dalam bentuk cetak. Tentu teknologi cetak zaman dulu berbeda dengan kini. Cetak zaman dahulu ada yang namanya Thaba’ Harf, jadi tipografi. Terbuat dari besi-besi berbentuk huruf yang dibariskan kemudian dipres. Adakalanya disebut dengan Thaba’ Hajar atau litografi, yaitu cetak batu. Kemudian ada juga yang disebut dengan Thaba’ Khasb atau cetak kayu. Yaitu kayu yang diukir berbentuk tulisan lalu dicetak.

Nah, dalam tradisi filologi arab, kategorinya ada makhthuth dan adakalanya mathbu` qadim.

Jadi ada manuskrip dan ada juga old printed book atau kitab cetak tua.

Tapi kalau manuskrip sendiri pengertiannya, itu adalah naskah kuno yang ditulis dengan menggunakan tangan.

Q : Bagaimana cara mengkaterogikan manuskrip?

A : Kita bisa kategorikan manuskrip berdasarkan beberapa hal.

Pertama berdasarkan bahan untuk menulisnya.

Dibandingkan dengan di tempat lain, kekayaan manuskrip Nusantara ini paling kaya. kita bisa lihat kekayaan dan keragamannya dari bahan yang digunakan untuk menulis naskah itu. Ada yang ditulis dari lembaran kulit pohon, misalnya yang kita kenal dengan naskah deluang. Naskah jenis itu banyak ditemukan misalnya di Jawa dan Sunda. Ada juga yang ditulis di atas daun lontar. Ada juga yang ditulis di kertas Eropa atau kertas dari Timur Tengah. Bahkan ada yang ditulis di atas bambu.

Nah itu maksudnya kekayaan manuskrip Nusantara dari segi bahannya itu menunjukkan kekayaannya.

Kedua dari segi bahasanya. Di Nusantara ini ada banyak beragam bahasa, ada bahasa melayu, sebagai linguafrangka di Nusantara. Ada pula manuskrip yang ditulis dalam bahasa-bahasa lokal, seperti bahasa Jawa, Sunda, Madura, Bugis, Batak, dan masih banyak lagi.

Yang menarik, kekayaan manuskrip Nusantara itu selain dari bahan yang dibuat untuk menulisnya dan bahasanya, juga dari aksaranya. Jadi aksara yang digunakan itu ada aksara Jawa kuno, Sunda kuno, kemudian aksara Arab, dan ada juga aksara Latin.

Saya beri contoh begini. Dalam manuskrip Sunda, adakalanya bahasa Sunda ditulis dalam aksara Sunda kuno, namun adakalanya bahasa Sunda ditulis dalam aksara Arab, Sunda Pegon.

Adakalanya bahasa Sunda ditulis dalam aksara Jawa, Cacarakan. Lalu adakalanya bahasa Sunda ditulis dalam aksara Latin Eropa. Satu bahasa yang digunakan, dengan banyak aksara dalam penulisannya. Itu baru dari bahasa Sunda, belum lagi manuskrip dari bahasa Jawa, Melayu, dan sebagainya. Maka dari itu luar biasa sekali kekayaan kita.

Ketiga dari latar belakang keyakinan. Ada manuskrip-manuskrip yang berkaitan dengan agama Hindu-Budha. Ada manuskrip yang berkaitan dengan agama Islam. Kemudian bagaimana kita bisa mengidentifikasinya? Yang membedakannya itu apa? Manuskrip-manuskrip disebut Islami jika di dalamnya terkandung agama Islam. Begitu pun dengan Hindu-Budha.

Tapi di sini ada yang menarik, meski bukan tulis tangan, yang saya temukan ini naskah cetak tua. Yaitu kitab Injil berbahasa Melayu yang ditulis dengan aksara Jawi, dengan aksara Arab pegon. Ini menarik.

Lalu ditemukan juga di Magelang, kitab kejadian alam semesta atau the Book of Genesis berbahasa Jawa. Kitab Taurat dalam bahasa Jawa yang ditulis dalam aksara pegon. Artinya ini menarik sekali.

Demikian pula sebaliknya, misalnya kita menemukan kisah tentang qishashul-anbiya’ atau cerita nabi-nabi. Itu kan islami. Tetapi ditulis dalam aksara Jawa, ha na ca ra ka. Atau misalkan kita menemukan naskah Al-Qur’an, ditulis di atas daun lontar. Padahal bahan ini biasa digunakan dalam naskah-naskah Hindu Budha.

Artinya di sini, kita bisa lihat dialog budayanya. Interaksi peradaban dengan saling silang budaya keharmonisan itu terjadi sejak dulu, memang luar biasa. Maka bagaimana cara membedakan manuskrip ini? Itu bisa dilihat dari latar belakangnya juga.

Terkait pertanyaan ada manuskrip Jawa tetapi tersimpan di Belanda, kita bisa mengatakan itu manuskrip kita, manuskrip Nusantara yang tersimpan di Belanda. Ini ada kategorinya, namanya itu dalam filologi Arab, al-makhthuthah fil-mahjar atau manuscript in exile, manuskrip di tempat yang jauh tersimpannya.

Terkait ini ada banyak faktor, nanti ada kajian tersendiri, yang disebut dengan rihlatul- makhthuthah atau migrasi sebuah manuskrip. Tetapi yang menarik dari sini, misalnya begini. Bagaimana kalau kasusnya ada manuskrip di Timur Tengah, di Arab, manuskripnya ditulis dalam bahasa Arab tentang ilmu keislaman yang berkaitan dengan teks-teks Arab, namun yang menulis itu, katakanlah lahirnya di Mekkah, besar di Mekkah, wafat di Mekkah namun nisbatnya al-Jawi. Itu kan menarik!

Contohnya begini, kita bisa menemukan di Saudi Arabia, ada satu manuskrip judulnya Hasyiyah al-Aqwal al-Mulhaqat `ala Syarh Nazham al-Waraqat. Mengenai ushul fiqih, jelas dalam bahasa Arab, jelas ushul fiqihnya. Yang mengarang itu cucu Syaikh Nawawi Banten. Namanya Syaikh Abdul Haq bin Abdul Hannan al-Bantani al-Jawi al-Makki.

Beliau lahir dan besar di Mekkah. Kita akan mengatakannya bagaimana? Apakah ini manuskrip Nusantara atau bukan?

Ya kita harus berani untuk mengatakan ini bagian dari warisan intelektual kita. Daripada diklaim orang lain, itu harus kita klaim bagian dari kita.

Karena apa? Itu yang nanti memperkaya warisan kebudayaan peradaban bangsa kita, Indonesia ini.

Q : Ini artinya apa? Mengapa Orang Sunda menulis dalam bahasa Jawa?

A : Itu menunjukkan bahwa Nusantara sejak dulu itu sudah sangat kaya akan keragaman budayanya. Jadi bukan berarti, mengapa kok orang Melayu dulu menulis pakai aksara Arab? Mengapa orang Sunda dulu menulis pakai aksara Jawa? Karena memang aksara yang digunakan pada masa itu ya itu.

Ini menunjukkan bahwasanya pada zaman dulu bahasa kita lingua frankanya itu bahasa Melayu dan aksara yang kita gunakan itu aksara Jawi, yaitu aksara Arab. Kalau aksara Arab dijawakan, disundakan, itu namanya pegon. Nah dulu memang leluhur kita ketika menuliskan hukum tata negara, undang-undang, sistem pemerintahan, tata politik, pengetahuan, ilmu mereka bahkan dalam keseharian, bahasa yang digunakan untuk menulis dalam aksara tersebut.

Kini zaman sudah berubah, orang Indonesia, menggunakan bahasa Melayu Indonesia, namun dituliskannya dalam aksara Latin. Demikian juga mengapa banyak ditemukan manuskrip Sunda tetapi pakai aksara Jawa. Itu menunjukkan karena memang dulu di Sunda, aksara Jawa pernah digunakan selama sekian tahun lamanya sebagai aksara perangkat bahasa mereka.

Masa itu terjadi setelah penetrasi Mataram. Kita bisa mereview kasus Sunda ini, mengapa digunakan dengan aksara Jawa. Dalam bukunya, Maruyama, menulis dengan bagus sekali tentang semangat baru tradisi cetak di masyarakat Sunda. Dikatakan di buku itu bahwa dulu para bangsawan Sunda di Priangan, setelah penetrasi Mataram pada abad 17 sampai pertengahan abad 18, melakukan korespondensi surat menyurat antara sesama mereka, menggunakan bahasa dan aksara Jawa.

Bahkan pengaruhnya, bahasa Jawa yang memiliki gradasi level, berpengaruh kepada bahasa Sunda, usak usuk bahasa itu. Hal itu terpengaruh Mataram. Artinya, menunjukkan satu babakan zaman yang luar biasa ketika saling silang budaya ini terjadi dengan demikian harmonisnya.

Bersambung ke Kondisi Manuskrip Islam di Indonesia (2)