Hikmah Alawiyah
Image default
Wawancara

Kondisi Manuskrip Islam di Indonesia (2)

Berbicara tentang peradaban Islam, tentu tak bisa dilepaskan dari karya-karya para ulama Islam zaman dulu. Sebab seperti kita tahu, peradaban pada hari ini dibangun di atas pondasi peradaban tempo dulu. Begitupun dengan peradaban Islam. Salah satu pondasi Islam di Indonesia adalah karya-karya manuskrip ulama Islam di Nusantara.

Lalu bagaimana kondisi manuskrip Nusantara saat ini?

Berikut wawancara kami dengan filolog dan juga Direktur Islam Nusantara Center, Ahmad Ginanjar Sya’ban dengan tema: Kondisi Manuskrip Islam di Indonesia.

Q : Kalau terkait dengan manuskrip Islam, kondisinya seperti apa saat ini?

A : Ini penting. Alhamdulillah semakin ke belakang perhatian terhadap manuskrip keislaman di Indonesia dan di Nusantara itu semakin meningkat.

Karena apa? Karena ketika kita melihat kajian manuskrip keislaman, di dunia ini hanya memetakan, manuskrip Islam itu adalah manuskrip Arab, Persia, Turki. Sudah, itu saja.

Karena di India dulu ketika zaman Mughal menggunakan bahasa Persi. Sementara bahasa Nusantara, Melayu Jawi, Jawa, kurang mendapatkan porsi di sini. Itu kenapa? Ya karena kita tidak ada yang mengkaji dan menulis tentang itu.

Akan lain ceritanya jika misalkan banyak sarjana dari kita yang mengetengahkan warisan intelektual Islam yang ada di Nusantara ini sejajar dengan bahasa-bahasa yang disebutkan tadi.

Sebenarnya pada akhir abad 19 manuskrip Islam Nusantara pernah mendapat porsi. Yaitu pada 1889. Saat itu ada sebuah katalog yang diterbitkan di Kairo oleh sebuah maktabah (perpustakaan) di sana.

Kepala perpustakaan Kairo saat itu namanya Sayyid Ali Hilmi al-Daghistani. Katalog Itu bernama Fihris al-Kutub al-Arabiyah wa al-Farisiyah wa at-Turkiyah wa Al-Jawiyah. Jadi tentang katalog kitab-kitab berbahasa Arab, berbahasa Turki, berbahasa Persia, dan berbahasa Jawi. Ya, Jawi itu bahasa Nusantara.

Ini artinya apa? Artinya dulu bahasa Nusantara itu menjadi bahasa intelektual yang sejajar dengan bahasa-bahasa `ajam (non Arab) lainnya seperti Persi dan Turki. Yang nomor tiga itu adalah Jawi, Nusantara, bukan bahasa Urdu, Kurdi, Bosnia, Albani, melainkan Jawi.

Hanya saja, memang sekarang ini, kita harus berjuang keras bagaimana mentahqiqnya, sehingga kita punya tempat di belantika wacana keilmuan Islam dalam narasi besar ini. Dan bukan senantiasa menjadi arus pinggiran. Padahal, karya kita itu banyak sekali. Karya-karya ulama kita itu banyak sekali, cuma menjadi terlupakan, terpinggirkan, justru karena kita yang kurang manaruh perhatian besar terhadap karya-karya ulama kita itu.

Q : Secara tidak langsung Anda mau mengatakan manuskrip Islam di Indonesia saat ini sedang terpinggirkan?

A : Ya secara tidak langsung begitu.

Q : Lalu upaya apa yang harus dilakukan untuk mengangkatnya kembali?

A : Ya itu kita memang harus duduk bersama. Bersama berbagai kalangan yang memang punya perhatian dan juga dengan para pemangku kebijakan. Artinya, kita tak bisa melakukan ini sendirian. Kita harus bekerjasama, karena ini bukan pekerjaan yang mudah.

Saya beri contoh begini. Ulama-ulama Nusantara itu banyak sekali menulis kitab-kitab tentang tata bahasa Arab dan dijadikan rujukan di dunia Arab. Kita bayangkan ya. Contohnya begini, kitab-kitab rujukan bahasa Arab dan Balaghah itu di zaman klasik dimulai dari Awamil Jurjani, Al-Ajurumiyah, Alfiyah.

Saya kasih contoh begini. Kitab `Awamil Jurjani itu karangan Syaikh Abdul Qadir Al-Jurjani. Yang yang menulis syarah terhadap kitab ini orang Nusantara, menulisnya dengan bahasa Arab. Yaitu Syaikh Ahmad al-Fathani. Wafatnya di Mekkah tapi orang Nusantara dari Pathani, Thailand Selatan. Syarh yang beliau tulis itu judulnya Syarh Tashil Nailil Amani ala Awamil al-Jurjani.

Itu baru satu, tata bahasa Arab yang ditulis dalam bahasa Arab yang dijadikan referensi di dunia Arab dan ditulis orang Nusantara.

Kedua, kitab Al-Ajurumiyyah. Kitab ini kan sangat populer sekali di dunia Islam. Di antara syarah kitab Ajurumiyyah yang sangat populer itu adalah kitab Mukhtashar Jiddan, karangan Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, gurunya Sayyid Utsman Bin Yahya, Mufti Batavia. Sayyid Ahmad Zaini Dahlan wafat pada tahun 1886.

Beliau sekaligus guru dari Syaikh Nawawi Banten. Syarah yang ditulisnya, Mukhtashar Jiddan itu terkenal. Yang menulis hasyiyah (syarah terhadap syarah) atas kitab itu orang Semarang namanya Syaikh Ma`shum bin Salim as-Samarani al-Jawi, jadi orang Semarang, orang Jawa.

Lalu Al-Ajurumiyah itu dinazhamkan. Di antaranya al-Kawakib al-Jaliyyah. Nah nazham al-Kawakib al-Jaliyyah itu disyarahkan oleh Syaikh Nawawi Banten, judulnya Fath al-Ghafir al-Khathiyyah Syarah Nazhm al-Ajurumiyyah Al-Musamma al-Kawakib al-Jaliyyah.

Yang ketiga, Alfiyah Ibn Malik. Kitab Alfiyah itu salah satu kitab babon yang merupakan referensi utama dalam gramatika Arab. Yang mengarang adalah seorang dari Andalus, Spanyol, namanya Syaikh Jamaluddin Muhammad bin Abdullah bin Malik al-Andalusi.

Yang menulis syarah kepada Alfiyah itu banyak. Ada Al-Asymuni, ada Al-Makudi, ada Ibnu Aqil. Termasuk ada ulama Nusantara yang menulis syarah Alfiyah ini, dari Senori, Tuban, yaitu Kiai Abul Fadhl al-Senori. Judulnya Tashil al-Masalik Syarh ala Alfiyah ibn Malik.

Lalu cucunya Syaikh Nawawi Banten menulis Hasyiyah Tadrij al-Adani ala Syarh Taftazani ala Matn az-Zanjani fi Ilm Ash-Sharf. Lalu ada kyai Abu Hamid Kendal yang menulis as-Salsal fi al-Madkhal ila ‘Ilm ash-Sharf karangan Syaikh Abu Hamid Kendal. Ini artinya ulama Nusantara itu dalam bidang tata bahasa Arab pun mereka juga menulisnya, lalu dicetak di Timur Tengah dan dijadikan rujukan atau referensi oleh orang-orang Arab.

Itu kan luar biasa! Yang menulis orang-orang sini. Itu merupakan satu warisan intelektual yang saya pikir kita semua harus tahu. Harus memahami konsep keilmuannya.

Dan yang paling penting itu harus mengetahui apa arti nilai keilmuan tersebut. Karena sampai sekarang kitab-kitab tersebut terus dicetak ulang di timur tengah, bukan di satu negara lho ya.

Ini menunjukkan mereka memang otoritatif ketika mereka menuliskan ilmu-ilmu tersebut. Itu baru dalam bidang tata bahasa Arab. Belum dalam tasawuf dan fiqih, belum dalam ilmu-ilmu yang lainnya.

Karena itu kita bisa membayangkan bagaimana kayanya.

Hanya memang masalahnya ada semacam “ketidaksambungan” antara kekayaan intelektual ini dengan generasi sekarang. Ya kan?

Kita bayangkan saja. Ini ada kekayaan yang luar biasa, namun generasi sekarang tidak tahu akan kekayaan itu. Akhirnya ini ada di mana dan kita ada di mana.

Ini yang kita ingin bilang, ya sebenarnya kondisi manuskrip-manuskrip Islam di Nusantara ini ya seperti itu. Kita harus bekerja keras lah.

Q : Pernyataan Anda sepertinya masih ngambang dan ragu-ragu untuk bicara terbuka. Sebenarnya seperti apa sih kondisi manuskrip Islam di Nusantara ini? Dan apa dampaknya jika kita tak mulai berbenah?

A : Ya saya bilang kondisinya memperihatinkan lah. Untungnya, di Indonesia ini ada satu sub budaya, subculture yang disebut dengan pesantren dan majelis taklim. Karena di tangan pesantren dan majelis-majelis taklim inilah kitab-kitab warisan intelektual ini masih lestari sampai sekarang.

Jadi warisan intelektual ini masih dipelajari, diajarkan, dihafalkan, bahkan ditulis ulang, dan juga disyarahi. Artinya, para kyai di pesantren itu menulis karya yang tersambung dengan ini. Makanya pesantren itu bisa kita sebut sebagai scriptorium naskah Islam Nusantara.

Scriptorium merupakan tempat menyalin dan diproduksinya naskah. Ya, kita bisa katakan seperti itu. Pesantren itu satu hal yang harus kita jaga betul. Karena ia identitas utama Islam kita di Indonesia ini.

Lalu apa dampaknya? Menjadikan generasi sekarang itu terputus dari akar ilmu pengetahuan mereka. Tercerabut dari identitas mereka. Dan yang terparah mereka akan kehilangan jati dirinya. Gamang, tidak tahu mereka itu identitasnya apa? Tidak punya akar.

Jadi kita bisa bayangkan, pohon yang tumbuh tidak punya akar yang kuat, akan mudah sekali digoyang angin dan tumbang. Makanya hal itu sangat penting sekali. Dan kita akan sangat senang ketika menemukan ada orang, baik secara perseorangan ataupun kelompok yang punya kepedulian terhadap warisan kekayaan peradaban yang luar biasa ini.

Jadi harus ada yang mau menginventarisasi manuskrip, ada yang mau menyimpan, memperbaiki, merestorasi, menuliskan katalog atas itu. Ada yang mau mengkajinya, mentahqiqnya. Bila ada yang seperti itu, maka itu namanya juhd azhim jiddan li raf`i mustawa al-hadharat al-islamiyyah fi Indonesia, upaya yang luar biasa agung sekali untuk meningkatkan tingkat peradaban Islam di Indonesia.

Hal itu yang di kemudian hari bisa mengangkat derajat peradaban Islam Nusantara ini sejajar dengan peradaban Islam di kawasan-kawasan lain. Karena apa? Karena, nilai peradaban suatu bangsa itu ditentukan oleh nilai ilmu pengetahuan yang mereka miliki. Dan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat muslim Nusantara itu tersimpan di naskah-naskah mereka.

Q : Menurut Anda, apa yang membuat masyarakat tampaknya memandang manuskrip itu tidak penting?

A : Bukan berarti masyarakat tidak mau tahu, tepatnya mereka harus kita beri tahu. Tentang arti penting manuskrip ini, nilai peradabannya, cara merawatnya. Artinya mereka itu harus tahu nilai mahalnya seperti apa. Ini bukan secara finansial tetapi bagi peradaban besar kita.

Lalu kalau misalnya masyarakat tetap acuh saja, ya memang tugas kita untuk memberikan penyadaran terhadap mereka. Artinya apa? Kita memang perlu satu kerja kelompok, kerja bersama baik dengan aktivis literasi, pemangku kebijakan di pemerintahan untuk menyadarkan masyarakat.

Tidak harus semuanya. Tapi paling tidak ada yang melakukan. Yaitu mereka yang kemudian tahu betul tentang nilai penting manuskrip-manuskrip kita dan memang peduli terhadap manuskrip-manuskrip tersebut.

Kondisi Manuskrip Islam di Indonesia (1)