Hikmah Alawiyah
Image default
Kabar Mahya

Nasionalisme dalam Spiritualitas Islam itu Nyata

Salah satu ciri seorang nasionalis yaitu orang yang memiliki paham kebangsaan adalah mendahulukan kepentingan bangsa lebih dahulu sebelum kepentingan kelompok, individu lain atau diri sendiri. Maka tak jarang kita mendengar bagaimana para pejuang bangsa Indonesia terhadulu mementingkan perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia daripada kepentingan lain. Begitu pun para ulama terdahulu.

“Mereka (ulama) berperang melawan penjajah bukan untuk dirinya tapi untuk bangsa Indonesia”, kata Ustadz H. Rahkmad Zailani Kiki, Sag, MM, narasumber yang dihadirkan Majelis Hikmah Alawiyah (MAHYA) di Pesantren Qothrun Nada, Depon, Sabtu 19 Oktober 2019, dalam diskusi panel bertema “Nasionalisme dalam Spiritualitas Islam”.

Ustadz Kiki kemudian mencontohkan Sayyid Idrus bin Salim al-Jufri dari Palu, Sulawesi Tengah. Meski tak lahir di Indonesia, tokoh ulama yang lahir di Hadramaut, Yaman ini menurut Ustadz Kiki memiliki semangat nasiolisme yang besar.

Ini terlihat jelas dari syair Kemerdekaan Republik Indonesia yang ditulis oleh Sayyid Idrus atau yang dikenal juga dengan sebutan Guru Tua ketika merespons proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945.

Salah satu bait syair itu berbunyi :

كل أمة لها رمز عز * ورمز عزنا الحمراء والبيضآء

“Tiap bangsa memiliki simbol kemuliaan dan simbol kemuliaan kami adalah merah dan putih.”

Ustadz Kiki juga mencontohkan bagaimana pendiri Pondok Pesantren Suryalaya, Syaikh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad atau yang dikenal dengan Abah Sepuh, meninggalkan wasiat kepada murid-muridnya yang berbunyi:

Berhati-hatilah dalam segala hal jangan sampai berbuat yang bertentangan dengan peraturan agama maupun negara. Taatilah kedua-duanya tadi sepantasnya, demikianlah sikap manusia yang tetap dalam keimanan, tegasnya dapat mewujudkan kerelaan terhadap Hadlirat Ilahi Robbi yang membuktikan perintah dalam agama maupun negara. (Laman Resmi Pesantren Suryalaya)

Surat wasiat itu membuktikan begitu besar kecintaan Abad Sepuh kepada bangsa dan negara ini. Hingga beliau memberikan wasiat agar murid-muridnya menaati negara. Ini menurut Ustadz Kiki adalah bentuk nasionalisme yang nyata dari seorang ulama.

Ini bagi Ustadz Kiki merupakan contoh nyata bagaimana agama dan negara disatukan. Ini sekaligus wujud nyata dari “Nasionalisme dalam Spiritualitas Islam”, seperti pada tema acara pagi itu.

“Jadi perintah negara itu juga harus diaati. Kalau naik motor pakai helm, jangan mentang-mentang anak santri cuma pakai peci,” kata ustadz Kiki yang disambut tawa oleh para santri Qothrun Nada yang mengikuti seminar.

Ustadz Kiki juga menegaskan bahwa semakin seseorang mencintai agamanya, semakin cinta juga ia kepada negaranya. Maka bagi seorang santri yang mencintai agamanya, mencintai negaranya adalah sebuah keniscayaan. Karena itu “Nasionalisme dalam Spiritualitas Islam” bukan sebuah utopia, tapi hal nyata yang dapat diraih oleh seluruh rakyat Indonesia dan para santri pada khususnya.

Para ulama mementingkan perjuangan kemerdekaan Indonesia dengan tetap memegang prinsip hidup yang memiliki rasa keterkaitan dengan Allah SWT. Begitulah makna dari Nasionalisme dalam Spiritualitas Islam, seperti yang dipraktekkan oleh para ulama terdahulu.