Dalam gelar wicara bersama Prof. Ismail Fajrie Alatas baru saja dihelat melalui zoom meeting dan disiarkan langsung di channel Youtube Majelis Hikmah Alawiyah yang mengangkat tema “Otoritas Religius, Thariqah Alawiyah dan Islam Indonesia”, beliau menjelaskan tesis sentral dalam bukunya, bahwa buku yang dia tulis berjudul What is Religious Authoriry? Cultivating Islamic Communities in Indonesia merupakan hasil tulis ulang dari disertasi yang pada awalnya berbasis pada penelitian etnografi selama kurang lebih dua tahun di Pekalongan. Diskusi itu sendiri dimoderatori langsung oleh Dr. Haidar Bagir.
Tidak hanya sebagai kota batik, kota Pekalongan mengundang daya tarik bagi Prof. Aji atas seorang figur Alawiyin, yakni Habib Luthfi bin Yahya-yang mana selama beberapa dekade telah membangun jamaahnya. Sehingga komunitas beliau menjadi begitu besar hingga saat ini. Kendati demikian, Prof. Aji melihat bahwa Habib Luthfi bukanlah satu-satunya individu yang membangun komunitas. Banyak juga pada habaib lainnya, para kiai, dan para ustaz yang juga membangun jamaahnya masing-masing.
Hal menarik lain yang menjadi pengamatan adalah bahwa setiap komunitas di Pekalongan tersebut dibangun oleh individu-individu yang terus-menerus melakukan pekerjaan untuk membangun komunitasnya dengan berbagai cara, termasuk penggalangan dana, membangun majelis, membuat kajian-kajian rutin.
“Membangun sebuah jamaah itu bukanlah hal yang mudah,” jelasnya.
Kenapa Mereka Membangun Jamaah?
Menurut Prof. Aji, setiap aktor sosial masing-masing memiliki motif yang berbeda dalam membangun jamaahnya, salah satunya adalah karena jamaah merupakan situs untuk transmisi dan realisasi dari ajaran-ajaran kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Bagi dia, setiap jamaah memiliki konsep pemahammannya sendiri mengenai apa yang disebut sunah. Ini dimungkinkan oleh manuver setiap aktor yang pergi dari satu jamaah ke jamaah yang lain (terlepas apapun orientasinya).
Maka, wajar saja jika terdapat jamaah yang meyakini sebuah praktik kebudayaan sebagai sunah, tetapi oleh jamaah lain dianggap bukan sunah tetapi malah bid’ah. Dan, itulah yang terjadi di seluruh dunia Muslim. Kenapa itu terjadi? Karena jika kita berbicara tentang sunah sebagai model hidup seorang Muslim, maka basis dari sunah itu ada di masa kenabian.
“Oleh karena itu di sini kita memahami kenapa walaupun setiap Muslim itu menganggap bahwa sunah adalah sesuatu yang normatif dan otoritatif, tapi realisasinya di dalam sejarah dan di setiap komunitas Muslim yang ada itu bisa berbeda-beda,” terangnya.
Lebih jelas, Prof. Aji menganalogikan dengan sejarah kitab sunah yang ditulis lintas zaman. Ia menerangkan bagaimana para ulama cum mujahid yang hidup di perbatasan antara Khilafah Abasiyah dan Imperium Bizantium ketika menulis kitab sunah semuanya berkaitan dengan jihad dan perang. “Mengapa demikian? Karena kitab-kitab tersebut semuanya ditulis untuk jamaah yang memang kebanyakan adalah mujahidin,” lanjutnya.
Potret di atas tentu berbeda dengan era di mana kitab-kitab sunah ditulis oleh ulama-ulama sufi yang ada di Baghdad atau di Khurasan. Di dalam karya mereka, Nabi difigurkan sebagai seorang mistik.
Tak lupa,, Prof. Aji juga mencontohkan bagaimana tokoh-tokoh modern di Indonesia seperti Aa Gym yang memiliki pengikut dari kalangan urban, middle class, dan para professional.
“Nah, jadi di mana tempat kita berbicara tentang masa lalu kenabian akan mempengaruhi dan membentuk cara kita berbicara tentang masa lalu itu. Kini kita berada di dunia Islam yang mementingkan sunah namun juga dibarengi dengan realisasi sunahnya berbeda-beda. Di sinilah pentingnya figur otoritas religus-seorang yang membangun jamaah dan berusaha mentransmisikan sunah, sehingga sunah itu menjadi lokal menjadi bagian yang dipahami masyarakat lokal dan diapresiasi, dan paling penting bisa dijalankan,” tegas Prof Aji.
Lalu Apa Bedanya dengan Tesis Fazlurrahman Tentang Sunah?
Bagi Prof. Aji, sunah yang dituliskan Rahman terlalu normatif. Rahman mengatakan bahwa sunah itu “sesuatu yang terus berubah-ubah” atau “sesuatu yang harusnya berubah”. Sementara menurut Prof. Aji, sunah itu “bukan harusnnya berubah”, namun ketika didekati dengan pengkajian sejarah dan antropologis, maka kita akan tahu bahwa sunah memang selalu berubah dan tidak perlu ada agenda besar untuk mengubah.
Dia juga merasa keberatan dengan tesis Fazlur Rahman tentang sunah.
“Artinya, kalau kita lihat Shahih Bukhari dengan ribuan hadis yang biasanya digunakan, dibicarakan, direalisasikan dalam sebuah jamaah, hanya sedikit dari ribuan itu, karena memang banyak yang tidak relevan dengan konteks jamaahnya. Jadi, inilah yang harus umat Muslim pahami, karena kita selalu menganggap di satu sisi ada Islam dan di sisi lain ada kebudayaan.”
“Islam merupakan produk dari sebuah praktek atau pekerjaan menghubungkan antara jamaah dan sunah. Jadi, buat saya yang paling kita pahami adalah sunah itu tidak bisa dipisahkan dari jamaah. Artinya, jamaah dan partikularitas dari jamaah itu membentuk realiasasi sunah,” pungkasnya.
(Sumber : Islami.co)