Hikmah Alawiyah
Image default
Hikmah Kisah Kaum Shalihin

Mengenal Sayyid Utsman bin Yahya, Mufti Betawi yang Produktif

*Oleh: Amien Nurhakim

Menelisik sejarah ulama di Nusantara pada masa penjajahan Belanda merupakan kajian menarik dan tak pernah habis. Kajian-kajian tersebut beragam tergantung kecenderungan seorang peneliti. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa kajian histori terkait Islam, khususnya di Jakarta, tak lepas dari sosok Penasehat Urusan Pribumi untuk pemerintah kolonial Hindia Belanda, Christiaan Snouck Hurgronje.

Salah satu tokoh besar pada masa kolonial Belanda adalah Sayyid Utsman bin Yahya. Ia merupakan seorang mufti yang diangkat oleh Belanda, mengurusi permasalahan umat ketika itu, dan menjadi Penasehat Kehormatan untuk Urusan bangsa Arab (Adviseur Honorair voor Arabische Zaken).

Sebenarnya pembahasan terkait biografi Sayyid Utsman beberapa telah dituliskan oleh pengkaji sejarah keislaman di Nusantara, salah satunya Prof. Azyumardi Azra. Karyanya tentang Sayyid Utsman diantaranya adalah sebuah jurnal yang diterbitkan oleh Studia Islamika Indonesia Journal for Islamic Studies dengan judul “Ḥadrāmī scholars in the Malay-Indonesian Diaspora: A Preliminary Study of Sayyid ‘Uthmān” pada tahun 1995. Prof. Azyumardi menggunakan pendekatan historis dalam menulis jurnal ini. Temanya adalah perjalanan hidup Sayyid Utsman, khususnya ketika menjabat sebagai mufti pada masa kolonial Belanda. (Azyumardi Azra, Ḥadrāmī scholars in the Malay-Indonesian Diaspora: A Preliminary Study of Sayyid ‘Uthmān, Studia Islamika Indonesia Journal for Islamic Studies, Vol. 2. No. 2, Th. 1995.)

Setelah itu, menyusul beberapa karya berupa jurnal dan buku yang membahas Sayyid Utsman, dari segi biografi maupun sisi-sisi menarik dari Sayyid Utsman. Di antaranya adalah sebuah jurnal yang ditulis seorang peneliti Belanda, Nico Kaptein, yang diterbitkan Brill’s Southeast Asian Library pada tahun 1997 dengan judul “Sayyid ‘Uthmân On the Legal Validity of Documentary Evidence.” Kaptein menuliskan hubungan antara Sayyid Utsman dengan para ulama di Mekkah pada masa itu, dimana terkadang Sayyid Utsman berkirim surat bermaksud menanyakan beberapa kasus hukum, salah satunya adalah kasus talak yang ia tanyakan kepada Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. (Nico J.G. Kaptein, “Sayyid ‘Uthmân on the legal validity of documentary evidence,” Brill’s Southeast Asian Library, Vol. 153, No. 1, Th. 1997)

Pada tahun 2011, M. Noupal menuliskan jurnal dengan judul “Kontroversi Tentang Sayyid Utsman bin Yahya (1822-1914) Sebagai Penasehat Snouck Hurgronje.” Jurnal ini diterbitkan pada konferensi AICIS. Hasil dari penelitian ini ialah bahwa kaitan antara Sayyid Utsman dengan kolonial hanya sebatas untuk memperkaya kajian keislaman di Nusantara, hingga hubungan antara keduanya pun menjadi resmi dengan diangkatnya Sayyid Utsman menjadi mufti, bukan sebagaimana tuduhan yang diarahkan kepadanya bahwa ia adalah antek-antek Belanda. (Noupal. M, “Kontroversi Tentang Sayyid Utsman bin Yahya (1822-1914) Sebagai Penasehat Snouck Hurgronje,” Annual International Conferences of Islamic Studies (AICIS 2011) XII, h. 1391).

Kemudian, tahun 2016 M. Noupal menulis jurnal dan diterbitkan di Jurnal Intizar dengan judul “Kritik Sayyid Utsman bin Yahya Terhadap Gerakan Pembaharuan Islam di Indonesia: Studi Sejarah Islam di Indonesia Abad 19 dan Awal Abad 20.” Dalam jurnal ini disebutkan bagaimana penolakan Sayyid Utsman terhadap Gerakan Pemurnian dan Pembaharuan sebagaimana yang digaungkan oleh Rasyid Ridha di Mesir.

Pada tahun 2014, Nico Kaptein menuliskan biografi Sayyid Utsman dalam Bahasa Inggris, judulnya adalah “Colonialism and the Modern Age in the Netherlands East Indies; A Biography of Sayyid ‘Uthman (1822-1914),” diterbitkan oleh Brill’s Southeast Asian Library. (Nico J.G. Kaptein, Islam, Colonialism and the Modern Age in the Netherlands East Indies; A Biography of Sayyid ‘Uthman (1822-1914), Brill’s Southeast Asian Library, Vol. 4.). Perkembangan selanjutnya adalah penerjemahan karya Nico Kaptein ke dalam Bahasa Indonesia oleh M. Yuanda Azra, yang kemudian diterbitkan oleh Penerbit Suara Muhamadiyyah bekerjasama dengan UYM Press atas seizin Nico dan Koninklijke Brill NV.

Dari sederet penelitian di atas, rupanya banyak perspektif terkait Sayyid Utsman. Penulis sendiri meninjau hal ini dari pendekatan yang digunakan serta kecenderungan pemikiran para peneliti di atas.

Misalnya, Azyumardi menyebut Sayyid Utsman, sebagai ulama Hadhrami terkemuka di Nusantara pada akhir abad 19 dan awal abad 20, bukan termasuk pengecualian dari kuatnya motif ekonomi-politik. Prestasi utamanya tidak terletak pada karir intelektual Sayyid Utsman yang hebat dan istimewa, melainkan pada posisi pentingnya dalam administrasi Belanda. (lihat: Azyumardi Azra, Ḥadrāmī scholars in the Malay-Indonesian Diaspora: A Preliminary Study of Sayyid ‘Uthmān, hal. 1)

Berbeda dengan M. Noupal, yang menggarisbawahi pemahaman fenomena bahwa kedekatan Sayyid Utsman serta kerjasamanya dengan Snouck Hurgronje khususnya, dan pemerintah kolonial Hindia Belanda adalah untuk memperkaya khazanah kajian keislaman di Nusantara, bagaimana Sayyid Utsman berkontribusi banyak dengan karya-karyanya. Kemudian, pendapat-pendapat Sayyid Utsman yang dituliskan di dalam karya-karyanya bersumber dari dalil-dalil teks-teks keagamaan yang ketat, sehingga hal tersebut menimbulkan kecaman dari berbagai pihak. (Noupal. M, “Kontroversi Tentang Sayyid Utsman bin Yahya (1822-1914) Sebagai Penasehat Snouck Hurgronje,” h.1391).

Sayyid Utsman dan Rihlah ‘Ilmiyyah

Nasab lengkap Sayyid Utsman adalah Utsman ibn ‘Abdullah ibn ‘Aqīl ibn ‘Umar ibn ‘Aqīl ibn Syaikh ibn ‘Abd al-Rahmān ibn ‘Aqīl ibn Ahmad ibn Yahya ibn Hasan ibn ‘Ali ibn ‘Alwī ibn Muhammad Mawlā al-Dawilah ibn ‘Alī ibn ‘Alwī ibn Muhammad Faqīh Muqaddam ibn Ali ibn Muhammad Shāhib Mirbāth ibn ‘Ali Khalā’ Qasam ibn ‘Alwi ibn Muhammad ibn ‘Alwi ibn ‘Ubaidillah ibn Ahmad al-Muhajir ibn Isa ibn Muhammad al-Naqib ibn ‘Ali al-‘Uraidhi ibn Ja’far Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn ‘Ali Zain al-‘Abidin ibn Husein ibn ‘Ali ibn Abi Thalib dengan Fathimah binti Muhammad SAW. (Noupal. M, “Kontroversi Tentang Sayyid Utsman bin Yahya (1822-1914) Sebagai Penasehat Snouck Hurgronje,” h. 1371)

Sayyid Utsman lahir di Pekojan pada tanggal 17 Rabiul Awal 1238 H (1 Desember 1822 M). sedang ayahnya dilahirkan di Mekkah, dan leluhur Sayyid Utsman sendiri berada di Hadhramaut, Yaman. Sebagaimana yang dituliskan Noupal, ayah Sayyid Utsman merupakan salah satu pemuka agama di Mekkah. Barangkali dengan ini, kita dapat memahami bagaimana seluk beluk perkembangan Sayyid Utsman serta sepak terjangnya dalam dunia keilmuan.

Sayyid Utsman kecil dididik oleh kakeknya, Syaikh Abdurrahman al-Mishri. Beliau adalah kelahiran Mesir, wafat pada 1847 M dan dimakamkan di Petamburan. Nico J.G Kaptein, Islam, Kolonialisme, dan Zaman Modern di Hindia Belanda: Biografi Sayyid Usman (1822-1914), Yogyakarta, Penerbit Suara Muhammadiyah, Cet. pertama, 2017, hal 64)

Sayyid Utsman belajar beragam jenis ilmu kepada kakeknya. Di antaranya membaca Al-Qur’an, Akhlak, Tauhid, Fikih, Nahwu, Sharf, Tafsir, Hadits, dan Ilmu Falak. Perjalanan menuntut ilmunya sangat panjang. Dari satu daerah kepada derah lainnya, satu negara kepada negara lainnya. Pada umur 18 tahun bertepatan dengan tahun 1840 M, Sayyid Utsman berniat untuk melaksanakan ibadah haji ke Mekkah dan bertemu ayahnya, namun ternyata takdir menetukan yang berbeda. Beliau melanjutkan tinggal di Mekkah, dan menuntut ilmu di sana. Salah satu ulama yang menjadi rujukan Sayyid Utsman saat di Mekkah ialah Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, yang masyhur sekali di tengah-tengah kita. Ssalah satu karyanya adalah syarah terhadap kitab Al-Ᾱjurumiyyah, yaitu Mukhtashar Jiddan. Kitab ini banyak dikaji di pesantren di Indonesia.

Selain di Mekkah, Sayyid Utsman belajar ke Madinah, dan pada tahun 1848 M beliau berpindah ke Hadhramaut, Yaman, untuk melanjutkan studinya. Terdapat dua sumber yang berbeda terkait berapa tahun Sayyid Utsman tinggal di Hadhramaut. Noupal menuliskan, Sayyid Utsman tinggal di sana selama 8 tahun. (M. Noupal, “Kontroversi Tentang Sayyid Utsman bin Yahya (1822-1914) Sebagai Penasehat Snouck Hurgronje,” h.1373), sedang Nico menyatakan bahwa Sayyid Utsman berada di sana selama 15 tahun. (Nico J.G Kaptein, Islam, Kolonialisme, dan Zaman Modern di Hindia Belanda: Biografi Sayyid Usman (1822-1914), hal.73).

Perjalanan menuntut ilmu Sayyid Utsman di Timur Tengah tidak hanya di Mekkah, Madinah, dan Yaman saja. Beliau melanjutkan perjalanan menuju Mesir, Tunisia, Al-Jazair, Maroko, Turki, Syam, Palestina, kemudian kembali lagi ke Hadhramaut. Hingga, pada tahun 1862 M beliau pulang ke Batavia, ketika umurnya 40 tahun.

Sayyid Utsman di Betawi; Mengabdi untuk Umat

Setelah sampai di Betawi, Sayyid Utsman menjalani kehidupannya sebagai anggota masyarakat pada umumnya. Namun begitu cepat nama beliau kian hari kian besar. Banyak para pelajar yang datang kepadanya untuk menuntut ilmu. Tatkala namanya semakin mencolok, salah seorang guru sepuh yang mengajar di Masjid Pekojan, Syaikh Abdul Ghani Bima, meminta Sayyid Utsman untuk menggantikannya karena umur Sayikh Abdul Ghani yang sudah tua. Selain itu, pengajar di Masjid Pasar Senen, Haji Abdul Mu’in pun meminta Sayyid Utsman untuk menggantikannya dengan alasan yang sama. (Nico J.G Kaptein, Islam, Kolonialisme, dan Zaman Modern di Hindia Belanda: Biografi Sayyid Usman (1822-1914), hal. 89)

Tatkala Belanda mencium nama besarnya, Sayyid Utsman pun ditawarkan menjadi Mufti di Betawi, sekaligus Penasehat Kehormatan untuk Urusan bangsa Arab (Adviseur Honorair voor Arabische Zaken). Kedekatannya dengan Snouck menjadi wasilah diangkatnya Sayyid Utsman sebagai Mufti sekaligus Penasehat Kehormatan. Kendati demikian, dua jabatan ini tidak menghentikan profesinya sebagai pengajar dan penulis.

Pada masanya, Sayyid Utsman banyak sekali merespon peristiwa-peristiwa keagamaan yang bergejolak ketika itu. Sebagai orang yang memiliki otoritas untuk mengeluarkan fatwa, Sayyid Utsman berhak mengeluarkan pendapatnya. Tentunya beliau berpegang pada dalil-dalil agama yang telah dipelajarinya. Seringkali, tindak responsif ini berbentuk karya tulisan yang tipis namun informatif. Hingga tak ayal karyanya mencapai lebih dari 120 karya. Sebagian ada yang sampai kepada kita, sebagian ada yang tersimpan di Perpustakaan Nasional, Jakarta, dan sebagian ada yang masih tersimpan di Leiden University, Belanda,

Karya-karya Sayyid Utsman sekitar sepertiganya berbahasa Arab, sedangkan dua pertiganya dalam bahasa Melayu. Meski menggunakan Bahasa Melayu, Sayyid Utsman tetap menuliskannya dengan tulisan Arab, tidak huruf latin. Karya-karya Sayyid Utsman di antaranya adalah Manhaj al-Istiqomah fi ad-Din bi as-Salāmah, Maslak al-Akhyār, Hadits-Hadits Keluarga, Kitāb al-Farāidh, al-Qawānīn asy-Syar’iyyah li Ahl al-Majālis al-Hukmiyyah wa al-Iftāiyyah, dan lain-lain.

Wafatnya Sayyid Utsman

Sayyid Utsman wafat pada hari Senin, 21 Shafar 1332 H yang bertepatan dengan 19 Januari tahun 1914 M. Beliau dimakamkan di Tanah Abang dan setelah itu dipindahkan lagi ke Pondok Bambu, Jakarta Timur. (Nico J.G Kaptein, Islam, Kolonialisme, dan Zaman Modern di Hindia Belanda: Biografi Sayyid Usman (1822-1914), hal. 358). Sebenarnya tidak langsung ke Pondok Bambu. Melainkan sebelumnya dipindahkan ke Jeruk Purut, lalu dipindahkan lagi ke Pondok Bambu.

*Penulis adalah Mahasantri di Darus-Sunnah Ciputat dan Mahasiswa UIN Jakarta.