Hikmah Alawiyah
Image default
Kitab/Buku Baru

BERSIKAP MODERAT

Wahai saudaraku, berbuat baiklah dan tunjukanlah semua amalmu untuk Allah Ta’ala. Jangan sampai engkau melampaui batas dan beramal (ghuluw). Sebab, kebajikan jika dikerjakan secara tidak berlebihan (iqtishad) akan menjadi baik, tetapi jika dikerjakan secara berlebih-lebihan akan disusupi hawa dan menjadi bagian dari nafsu. Bukankah kamu pernah mendengar hadis sahih berikut :

يِْنمِ سَيَْلَف يْتَِنس نْعَ بغِرَ نْمََف ءَٓاسََنلا يْتِٓاوَ رطِفْأوَ م وْصَأوَ موْقَأوَ ماَنَأ يْ نِكلِ

……tetapi aku tidur dan berdiri (untuk salat), berpuasa dan berbuka, dan mendatangi isteri- 

isteriku, maka barang siapa membenci sunahku, maka ia bukan golonganku. — (HR Bukhari, Muslim, Nasai dan Ahmad dengan matan yang berbeda)

Seorang arif berkata, “Jika Allah memerintahkan sesuatu kepada hamba-Nya, maka iblis akan menambah-nambahi perintah itu atau mengurangi nya.” Seorang arif yang lain berkata, “Berlebih-lebihan dalam bersikap lemah lembut merupakan kesombongan, berlebih-lebihan dalam tersenyum merupakan kelemahan akal, dan berlebih-lebihan dalam berterima kasih merupakan rayuan.”

Wahai para salik, semua ucapan diatas merngajarkan agar kamu mengambil sikap tengah (moderat) dalam semua urusanmu, dan tidak berlebih-lebihan dalam beramal. Kadang kala amal manusia rusak tanpa disadarinya karena telah disusupi hawa. Penyebabnya adalah karena nafs memiliki hubungan dengan berbagai amal, namun hubungan tadi tidak memiliki dasar dan hakikat. Kadang kala dalam diri seseorang tampak kelembutan dan kehalusan padahal sebenarnya ia orang yang berhati keras. Sebab, kelembutan dan kehalusan nya itu berasal dari nafsu, bukan dari hati. Keadaan ini sering terjadi. Orang yang berjiwa lemah dan berhati keras kadang kala menangis, namun tangisanya tidak dapat dipercaya. Sebab, yang dapat dipercaya adalah sesuatu yang muncul dari hati, bukan dari nafs tidak perlu diperhatikan, meskipun manusia mengaguminya, sebab tidak memiliki dasar.

Jika kamu ingin membedakan antara perilaku yang muncul dari hati dan perilaku yang muncul dari nafs, maka jadikanlah kesan yang timbul menjadi tolak ukur. Sebagai contoh, jika kamu melihat seseorang menunjukan sikap yang halus dan suka menangis, maka lihatlah apakah kelembutan dan tangisannya itu sesuai dengan wataknya? Jika sesuai, maka nyatakanlah bahwa kelembutan dan tangisan nya itu muncul dari hati. Namun jika orang itu berwatak keras dan sulit, maka ketahuilah bahwa kelembutan dan tangisannya itu berasal dari nafs, bukan dari hati. Dan jika kamu ingin mengetahui bagaimana wataknya, maka perhatikanlah bab sebelum ini yang telah menjelaskan keadaan hati seseorang melalui ciri-ciri wajah. Ciri-ciri tersebut akan kujelaskan kembali secara singkat.

Ketahuilah, orang yang berhati lembut adalah orang yang wajahnya berseri-seri dan sering tersenyum. Sebab, keadaan hati tercermin pada wajah. Perumpamaan wajah dan keadaan hati seperti bayangan sebuah dahan dengan dahan itu sendiri. Bayangan tidak akan berbeda dengan bentuk aslinya. Bahkan kemanapun dahan itu bergerak bayangan akan selalu ikut. Begitulah perumpaan wajah terhadap hati: semua yang disembunyikan hati akan tampak di wajah, orang-orang yang memiliki bashirah mampu mengetahui isi hati seseorang hanya dengan melihat wajahnya. Dan sedikitpun mereka tidak pernah merasa ragu. Ucapan paling mendalam yang pernah kudengar sehubungan dengan ini adalah ucapah Syu’bah bin Hajjajrhm, “Jika aku melihat punggung seseorang aku pasti mengetahui apa yang terdapat dalam hatinya.”

“Bagaimana jika kamu melihat wajahnya?” tanya seseorang.

“Wajah adalah lembaran yang dapat dibaca. Jika hatinya keras, wajahnya tampak keras dan muram hampir tidak pernah senyum. Jika hatinya lembut, ia akan bersikap ramah kepada teman-temanya, rindu pada kampung halaman, dan menyesali umur yang telah disia-siakannya. Sebagaimana dikatakan, bahwa jika kamu ingin mengetahui kesetiaan seseorang, maka perhatikanlah bagaimana kerinduannya pada kampung halamannya, kesedihannya ketika memngingat teman-temannya yang telah meninggal dan penyesalan atas umur yang telah dilewatkannya,”jawabnya.

Sekarang telah jeals abagimu bahwa kelembutan dan kehalusan dapat ditemukan pada diri orang-orang yang memiliki hati dan orang-orang yang dikuasai nafs.

Kenaikan hati yang disertai keburukan nafs lebih baik daripada keburukan hati yang disertai kebaikan nafs. Sebab, hati yang keras sangat buruk dan merupakan penyebab pokok terjadinya berbagai kejahatan dan maksiat. Malik bin Dinar berkata, “Tidak ada musibah yang lebih besar daripada hati yang keras.” Allah Ta’ala mewahyukan kepada orang-orang yang memiliki hati :

 

ْ َ َ ْ ْ َ َٰ َ
َ َ
بلق هل ناَك نملِ ىركذِل كَلِذ يفِ نإ
َ َٰ ِ

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang yang memiliki hati. (Qaf, 50:37)

Dan ketika menyebut nafs Allah Ta’ala mewahyukan :

ءوِسلاُبِ ةراَملَََ سَفَْنلا نَإِ

Sesungguhnya nafs itu selalu menyuruh kepada kejahatan (Yusuf, 12:53)

 Allah mewahyukan kepada Musa, “Salahkah nafs mu, karena yang paling layak untuk disalahkan adalah nafs. Ketika bermunajat kepada Ku, bermunajatlah dengan lisan yang shidiq dan hati yang takut.”

Ketahuilah, setiap kali hati memiliki sesuatu yang baik, maka nafs pun memiliki hal yang serupa yang dapat mengaburkan. Sebagaimana Allah memberi hati keinginan (iradah), maka Allah memberi nafs angan-angan kosong (tammani). Sebagaimana Allah memberi hati perasaan cinta (mahabbah), maka Allah memberi nafs bahwa nafs (hawa). Sebagaimana Allah memberi harapan hati (roja), maka Allah memberi nafs ketamakan (thoma’). Sebagaima Allah memberi hati perasaan takut (khauf), maka Allah memberi nafs perasaan putus asa (qunuth). Perhatikan dan renungkan kata kataku ini.

Salah satu contoh yang dapat memberikan gambaran jelas kepadamu adalah keadaan orang yang terlilit hutang, kamu seringkali melihat orang tidak mau melunasi hutangnya. Namun ketika memperoleh harta, ia justru menyedekahkannya, dan tidak berusaha melunasi hutangnya. Itulah contoh perbuatan baik yang timbul dari nafs. Sebab, di antara sekian banyak jenis nafs, ada nafs yang suka melakukan muruah dan merasakan kenikmatan ketika memberi. Orang yang nafs-nya seperti ini merasakan kenikmatan dalam memberi sebagaimana orang jahat merasakan ketika menolak permohonan pertolongan. Demikian pula hal nya dengan mereka yang mengerjakan sunah, tapi meninggalkan yang wajib. Misalnya: orang yang mengerjakan ibadah haji berulang kali dengan uang halal dan haram serta mengabaikan ketakwaan dalam urusan-urusannya yang lain. Di antara mereka ada yang menunaikan ibadah haji dengan berjalan kaki, tapi meremehkan salat. Hasan Al-Bashri rhm berkata, “Ada seseorang berkata, ‘Aku telat haji, aku telat haji.’ Kamu telah menunaikan ibadah haji, oleh karena itu sambunglah tali silaturahmi, bantulah orang yang sedang kesusahan, dan berbuat baiklah kepada tetangga.”

Contoh lain adalah orang-orang yang mencari harta haram kemudian membelanjakannya dalam kebaikan. Sebagaimana telah kuberitahukan kepadamu, semua perbuatan ini digerakan oleh nafs, sama sekali tidak memiliki hubungan dengan hati.

Allah menjadikan “perbuatan yang dilakukan secara berlebih-lebihan” untuk nafs dan “perbuatan yang dikerjakan secara normal” untuk hati. Jika kamu melihat perilaku, atau pencarian ilmu dan ibadah dikerjakan dengan tenang (thuma’ninah), maka ketahuilah bahwa perbuatan itu muncul dari hati dan pelakunya adalah orang yang berakal. Tetapi, jika kamu melihat seseorang yang perilaku, cara menuntut ilmu dan ibadahnya tidak dilakukan dengan tenang, pelakunya emosional dan bodoh, maka ketahuilah bahwa kegiatan itu digerakan oleh nafs dan hawa. Sebab, hawa merusak dan menggoncangkan akal. Di manapun berada, hawa akan selalu merusak. Demikianlah sifat hawa. Jika hawa berinteraksi dengan akal, hawa akan merendahkan dan menggoyahkan. Jika berinteraksi dengan agama, hawa akan mengotori dan merusaknya. Sehingga kamu dapat melihat bahwa orang yang agamanya dan cara ber-suluk-nya baik bila dikuasai oleh hawa, urusannya menjadi kacau, keadaan menjadi buruk dan dibenci masyarakat. Begitulah sifat kebatilan, ia akan merusak kebenaran, jika keduanya bercampur. Jika hawa mampu merusak orang yang berakal dan beragama, lalu bagaimana jika hawa merasuki para pecinta dunia yang jiwanya lemah? Bagaimana keadaan mereka nanti?

Segala hal yang dirusak oleh hawa dapat diperbaiki oleh akal, karena hawa mempunyai tingkat saraf dan akal. Hawa akan merendahkan dan menjerumuskan manusia, sebaliknya akal akan memuliakan dan menggigihkannya. Sungguh besar perbedaan keduanya.

Kau lihat orang yang dipengaruhi hawa tampak seperti orang buta, tidak tahu jalan (menuju Allah). Hawa menghambatnya dari mencari sesuatu yang memiliki hakikat, membuatnya tidak memikirkan akibat perbuatan yang ia lakukan, membuatnya suka bertengkar dan bermusuhan, membuang-buang umur dalam mencintai dan membanding-bandingkan keutamaan para imam. Lain halnya dengan orang-orang yang berakal, mereka sibuk dengan diri mereka sendiri, menyempurnakan semua amalan mereka dengan niat-niat yang baik, memanfaatkan waktu yang mereka miliki dengan sebaik-baiknya, berusaha keras untuk berbuat kebajikan, dan menyesali perbuatan baik yang tidak dapat mereka kerjakan.

Sumber : Alydrus, Novel. 2017. Rahasia Ilmu para Wali. Surakarta : Taman Ilmu