Hikmah Alawiyah
Image default
Kitab/Buku Baru

Novel Gadis Garut, Masih Renyah di Era Milenial

Umum pada masyarakat saat ini seorang ulama hanya mengajarkan tentang agama. Kalaupun berkecimpung di dunia lain, biasanya sebagai pedagang, berbisnis atau sebagai pejabat pemerintahan. Jika menulis buku, pastilah buku itu juga tentang keagamaan, tapi Habib Ahmad bin Abdullah Assegaf berbeda dengan habib lainnya. Selain menulis buku agama, Habib ini juga menulis novel percintaan berjudul Fatat Garut (Gadis Garut).

Beliau lahir di kota Syihr, Ibu Kota Hadramuat kala itu, pada 11 November 1882 (1299 H). Beliau merupakan salah satu pendiri perkumpulan Rabithah Alawiyah pada 1928. Beliau menjabat sebagai sekretaris di Rabithah dan juga menerbitkan majalah Ar-Rabithah.

Karya novel beliau berjudul Fatat Garut ditulis dalam Bahasa Arab dan dicetak pertama pada 1929. Novel ini selanjutnya dicetak di Timur Tengah dan diberi keterangan “Novel pertama yang dihasilkan oleh seorang Yaman”, meskipun latar ceritanya di Garut, Indonesia, tentang Indonesia, dan beliau ada di Indonesia.

Novel ini lalu diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Ali Yahya pada 1997 dan diterbitkan oleh Penerbit Lentera pada 2008. Dengan ISBN 978-979-24-3350-0.

Novel setebal 270 halaman ini bercerita tentang perjuangan seorang gadis belia bernama Neng dari jerat belenggu orang tua tirinya yang tak bertanggung jawab. Neng yang memiliki kecantikan lebih dari rata-rata gadis biasanya menjadi incaran banyak pria termasuk pengusaha kaya Belanda bernama Van Ridijk. Ayah tiri Neng bernama Rusna tak mampu menolak kilauan harta yang dipamerkan Van Ridijk, sehingga ingin melepas Neng untuk dijadikan istri Van Ridijk dengan sejumlah imbalan.

Namun, Neng dengan kecerdasannya berusaha keras untuk lolos dari jerat orang Belanda itu. Di sisi lain, Neng jatuh hati kepada pemuda Arab bernama Abdullah. Sehingga kisahnya pun bertautan. Neng mencoba melepaskan diri dari cengkraman ayah tirinya dan Van Ridijk, sekaligus berusaha untuk mendapatkan hati Abdullah.

Lika-liku perjuangan Neng untuk terlepas dari bencana yang siap menerkamnya dan sekaligus berusaha meraih mimpi untuk hidup bersama dengan pemuda pujaan hatinya manjadikan cerita ini mengaduk-aduk hati pembacanya. Pasalnya hampir di setiap kejadian pembaca disuguhkan teka-teki akhir dari upaya Neng dan Abdullah untuk hidup bersama.

Pada paragraf-paragraf awal kita akan dikenalkan dengan Garut. Sebuah tempat yang indah dengan orang-orangnya yang ramah. Kemudian pembaca dikenalkan dengan Neng dan Abdullah. Gadis Garut dan peranakan Arab yang ternyata saling manaruh hati.

Paragraf selanjutnya hati dibuat berdebar-debar. Penulis sungguh piawai membuat plot yang membuat jatung para pembaca seolah mau copot karena naik turunnya cerita yang penuh teka-teki. Bahkan hingga beberapa lembar terakhir, pembaca masih belum bisa menebak ke mana arah cerita akan berakhir. Ini, yang membuat pembaca semakin haus dengan rasa penasaran dan seolah tak mau berhenti membaca hingga tahu bagaimana akhir cerita ini.

Neng merupakan gambaran ideal sosok perempuan. Dia cerdas, berakhlak mulia, dan berani mengambil sebuah keputusan dengan risikonya. Begitu pun dengan Abdullah yang digambarkan memiliki akhlak mulia, bahkan ketika menemui hal-hal yang tak disenanginya, Abdullah tetap mengedepankan adab.

Meski dicetak 20 tahun sebelum Republik ini merdeka, tapi novel Gadis Garut masih tetap relevan dan tak lekang oleh waktu untuk dibaca. Bahkan meski ditulis pada zaman Belanda, novel ini tak kalah menarik dari novel-novel yang dirilis pada era milenial.