Oleh: Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, MA
Bila menghadapi persoalan seringkali kita berbeda pandangan. Namun demikian, bisa saja semuanya benar dari satu sudut pandang, dan ketika itulah orang akan berkata, “Dua sisi dari satu mata uang.”
Ketika nasib tawanan Perang Badar dimusyawarahkan oleh Nabi saw., Abu Bakar r.a. mengusulkan agar mereka dibebaskan dengan tebusan. “Betapapun mereka adalah bangsa dan keluarga kita juga,” ujarnya.
“Masing-masing membunuh saudara dan keluarganya agar sikap kita yang tegas diketahui musuh,” saran Umar r.a. dengan memberikan alasan.
Sementara itu, saran Abdullah bin Rawahah lebih keras lagi, mungkin merupakan saran yang sangat mengerikan. “Kumpulkan dan bakar saja mereka di satu tempat.” Rupanya masih terbayang dalam benaknya betapa kejam perlakuan mereka selama ini.
Nabi saw. mendengarkan dengan tekun semua pendapat itu. Sejenak beliau meninggalkan ruangan dan datang lagi untuk menanggapi: “Tuhan melunakkan hati seseorang, sehingga lebih lunak daripada kelunakan sebuah barang yang lunak, dan meneguhkan hati yang lain sehingga lebih keras daripada batu.” Selesai memberikan tanggapan, beliau lalu mendukung Abu Bakar. Namun, tak lama kemudian Al-Quran turun membenarkan Umar, karena usulannya dinilai sesuai dengan situasi ketika itu (baca QS 8: 67). (Namun jangan menduga bahwa sikap semacam itu selalu dibenarkan oleh Al-Quran. Dalam perjanjian Hudaibiyah, Umar yang keras itu ditegur ketika berkata: “Mengapa kita harus mengalah dan menerima syarat yang meremehkan agama kita?”).
Situasinya memang berbeda. Setiap situasi membutuhkan sikap yang tepat dan berlandaskan pengetahuan yang benar. Pengetahuan sama dengan kearifan dan sikap tepat adalah hikmah atau kebijaksanaan. Ada tempatnya untuk bersikap lunak dan ada pula bersikap keras. Jika terbalik, maka bukan adil namanya, karena keadilan adalah “menempatkan sesuatu pada tempatnya”. Pelakunya pun ketika itu tidak arif dan tidak pula bijaksana.
Muslim yang baik merasakan kebersamaan dengan Muslim lainnya: Seperti organ-organ satu tubuh merasakan derita yang dirasakan oleh organ lainnya. Namun sebagai Muslim, ia harus juga merasakan kebersamaannya dengan penganut agama lain bahkan dengan seluruh umat manusia, karena planet yang kita huni ini semakin “menyempit”. Itu sebabnya kita perlu menggunakan “suatu bahasa”. Bahasa agama yang kita anut—sedikit atau banyak—kadang tidak dimengerti oleh pihak lain, dan bahasa yang satu itu adalah bahasa moral—bahasa etika. Kalau merujuk ke Al-Quran dan hadis, agaknya bahasa ini ingin disebar-luaskan. Bukankah Nabi hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak?
Dalam masyarakat membangun, bahasa etika mampu membuat tingkah laku yang dapat menjamin setiap individu dan masyarakat sehingga tidak terjerumus ke dalam kekeliruan dan penyimpangan, dan pada saat yang sama memperlancar laju roda pembangunan. Bahasa ini mampu pula meluruskan kekeliruan anggota keluarga kita sendiri, sebelum diluruskan orang lain karena kita merasakan perasaannya. Ia juga mampu mengantisipasi setiap perubahan sehingga tidak menjadi hambatan bagi tercapainya kesejahteraan dan ketenteraman.
Dasar dari segala etika adalah “mengorbankan kepentingan diri demi kepentingan orang lain.” Namun harus diingat bahwa etika—sebagaimana setiap bahasa—walaupun dapat mengalami perkembangan, ia mempunyai kaidah-kaidah yang ketat. Bahasa etika tidak setuju apabila hanya dituntut dari si lemah ketika memperjuangkan haknya, tetapi tidak digubris oleh si kuat dalam melaksanakan kewajibannya. Kalau begini keadaannya, bahasa ini tidak digunakan dengan baik dan benar.[]
*Sumber: http://tempatbagibagi.blogspot.com/
Foto: Dreamstime.com