Hikmah Alawiyah
Image default
Kolom Mahya

Burdah Al-Bushiri: Cinta Abadi Kepada Nabi

Mawlâya shalli wa sallim dâ-iman abada, `ala habîbika khayril-khalqi kullihimi.
Huwal-habîbul-ladzî turja syafâ`atuhu, likulli hawlin minal-ahwâli muqtahami.
(Wahai Tuhanku, limpahkanlah shalawat dan salam selamanya kepada kekasih-Mu, sebaik-baik makhluk semuanya.
Dialah kekasih yang diharapkan pertolongannya, untuk semua ketakutan yang menimpa).

Itulah sebagian bait-bait qashidah Burdah yang tak asing lagi di telinga kita. Qashidah Burdah memang selalu didengungkan oleh para pecintanya di setiap saat. Hal itu menunjukkan bahwa kaum muslimin di berbagai lapisan menerima qashidah. Di berbagai negeri Islam, baik di negeri-negeri Arab maupun `ajam ada majelis-majelis khusus untuk pembacaan burdah dan penjelasan bait-baitnya. Tak henti-henti semua muslimin di seluruh penjuru dunia menjadikannya sebagai luapan rintihan karena rindu akan pertemuan yang diinginkan. Qashidah Burdah memang bukan sekadar karya. Ia dibaca karena keindahan kata-katanya. Dr. De Sacy, seorang ahli bahasa Arab di Universitas Sorbonne memujinya sebagai karya puisi terbaik sepanjang masa.

Qashidah Burdah adalah salah satu karya paling populer dalam khazanah sastra Islam. Isinya, sajak-sajak pujian kepada Nabi Muhammad SAW, pesan moral, nilai-nilai spiritual, dan semangat perjuangan, hingga kini masih sering dibacakan di sebagian pesantren salaf dan pada peringatan Maulid Nabi. Qashidah ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa seperti Persia, Turki, Urdu, Punjabi, Swahili, Pastum, Melayu, Sindi, Inggris, Perancis, Jerman, dan Italia.

Di Hadramaut dan banyak daerah Yaman lainnya diadakan pembacaan qashidah burdah setiap Shubuh hari Jumat atau Ashar hari Selasa. Sedangkan para ulama Al-Azhar di kota Mesir banyak mengkhususkan hari Kamis untuk pembacaan Burdah dan mengadakan kajian serta penjelasan burdah. Sampai kini masih diadakan pembacaan Burdah di masjid-masjid besar di kota Mesir seperti Masjid Imam Al-Husain, Masjid As-Sayyidah Zainab, dan lain-lain. Di negeri Syam (Syiria) majelis-majelis qashidah Burdah juga diadakan di rumah-rumah dan di masjid-masjid yang dihadiri para ulama besar. Di Maroko pun biasa diadakan majelis-majelis besar untuk pembacaan qashidah Burdah dengan lagu-lagu yang merdu dan indah yang setiap pasal dibawakan dengan lagu khusus.

Hal ini menunjukan bahwa kaum muslimin di berbagai negeri menerima qasidah Burdah tersebut. Ada majelis-majelis khusus untuk pembacaan Burdah dan penjelasan bait-baitnya yang diadakan di sebagian besar negara-negara Islam Arab dan `Ajam, bahkan di berbagai negara lain di dunia, sampai Amerika.

Di pesantren-pesantren di Indonesia, qashidah Burdah dibaca secara rutin setiap malam Jumat atau malam Senin. Tidak hanya itu, ketika mengadakan hajatan atau sedang menghadapi situasi kritis, qashidah Burdah biasanya dibaca dengan harapan agar tercegah dari malapetaka dan marabahaya. Di samping diapresiasi, qashidah Burdah pun diterjemahkan, dijelaskan maksudnya, dan diberi fungsi tersendiri oleh penikmatnya di Indonesia. Jadi Burdah merupakan karya sastra Arab yang digunakan secara khas oleh sebagian masyarakat Indonesia.

Qashidah itu terus bergema, melantunkan senandung kerinduan dan pujaan. Tak henti-henti semua muslimin di seluruh penjuru dunia menjadikannya sebagai luapan rintihan karena rindu akan pertemuan yang diinginkan.

Wahai Junjunganku, limpahkanlah shalawat dan salam kepada kekasih-Mu, sebaik-baik makhluk semuanya.
Dialah kekasih yang diharapkan syafaat, untuk semua ketakutan yang menimpa.

Selain kata-katanya yang sangat indah, qashidah Burdah juga dipenuhi doa-doa yang bisa memberi manfaat pada jiwa. Karena itu tak heran jika banyak ulama memberikan catatan-catatan khusus tentang burdah, baik dalam bentuk syarh (komentar) atau hasyiyah (catatan kaki atau catatan pinggir). Sangat banyak karya syarh atas Burdah, dan banyak pula di antaranya yang tak diketahui lagi siapa pengarangnya.

Hanya yang bisa dicatat dan diketahui namanya karena menjadi bahan kajian di beberapa universitas di antaranya adalah syarh karya Imam Jalaluddin Al-Mahalli (wafat tahun 864 H), Imam Zakariya Al-Anshari (wafat tahun 926 H), Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Hajar Al-Haitami (wafat 973 H), Imam Al-Qasthalani (wafat tahun 923 H), Syaikh Malla Ali Al-Qari Al-Hanafi (wafat tahun 1014 H), dan Syaikh Ibrahim Al Bajuri (wafat tahun 1276 H). Dr. Zaki Mubarak ahli sastra Arab dan Mesir dalam karyanya, Al-Madaih An-Nabawiyyah menyebutkan bahwa gaya puisi Al-Burdah banyak mempengaruhi karya-karya kemudian.

Penyusun Burdah
Qashidah yang sangat mempesona ini adalah buah karya Syarafuddin Abu Abdillah Muhammad bin Sa`id bin Hammad bin Muhsin bin Abdullah bin Shanhaj bin Hilal Ash-Shanhaji Al-Bushiri. Beliau dilahirkan pada hari Selasa awal Syawal tahun 608 H di Dalash, namun tumbuh berkembang di Bushir, sehingga kemudian lebih dikenal dengan nama Imam Al-Bushiri. Sejak kecil, ia telah mulai menghafalkan Al-Qur’an serta mempelajari ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab. Ia dididik oleh ayahnya sendiri dalam mempelajari Al-Qur’an di samping berbagai ilmu pengetahuan lainnya.

Kemudian ia belajar kepada ulama-ulama di zamannya. Untuk memperdalam ilmu agama dan kesusateraan Arab ia pindah ke Kairo. Di sanalah ia kemudian menjadi seorang sastrawan dan penyair yang ulung. Kemahirannya di bidang sastra syair ini melebihi para penyair pada zamannya.

Karya-karya kaligrafinya juga dikenal sebagai seorang khaththath (kaligrafer) terkemuka. Tulisannya sangat indah. Ia mempelajari disiplin ini dan kaidah-kaidahnya kepada Syaikh Ibrahim bin Abu Abdillah Al-Bushiri. Penguasaannya tentang khath (kaligrafi), baik praktis maupun teoritis, membuat banyak pelajar menimba ilmu kepadanya. Dalam seminggu, yang belajar ilmu ini kepadanya lebih dari seribu orang. Demikian disebutkan pengantar kitab syarh Burdah yang berjudul Al-`Umdah fi Syarh Al-Burdah karya Syaikhul-Islam Ahmad bin Muhammad bin Hajar Al-Haitami.

Al-Bushiri berguru kepada banyak tokoh ulama, di antaranya Abu Hayyan Atsiruddin Muhammad bin Yusuf Al-Gharnathi Al-Andalusi, Fathuddin Abul Fath Muhammad bin Muhammad Al-Umari Al-Andalusi Al-Isybili Al-Mishri yang dikenal dengan sebutan Ibn Sayyidin Nas, Al-`Izz bin Jama`ah Al-Kanani Al-Hamawi. Sejak masa kanak-kanak, Al-Bushiri dikenal sebagai orang yang wara’ (sangat berhati-hati karena takut dosa). Pernah suatu ketika ia akan diangkat menjadi pegawai pemerintahan kerajaan Mesir, akan tetapi ketika melihat perilaku pegawai kerajaan ia pun menolaknya.

Mengenai kehidupannya, Dr. Su`ad Mahir berkata,: “Pada awal kehidupannya, Al-Bushiri memegang dan mengajar menulis pada beberapa kelompok di daerah Bilbis, kemudian dia meninggalkan tugas-tugas pemerintahan dan kesenangan kehidupan dunia, lalu menyendiri dalam kehidupan tasawuf dan menghabiskan waktunya untuk beribadah. Kemudian ia pergi ke Iskandariyah untuk menjadi murid Al-Quthb Abul Abbas Al-Mursi. Al Bushiri dan Ibnu ‘Athaillah As-Sakandari adalah dua murid dari Abul Abbas. Al Bushiri dianugerahi keunggulan dalam bentuk syair, sedangkan Ibnu ‘Athaillah (pengarang Al-Hikam) dianugerahi keunggulan dalam bentuk prosa (natsar).”

Al-Bushiri tekun belajar kepada para gurunya sehingga tampaklah keberkahan pada dirinya, dalam agama, ilmu, kewaraan, dan kewalian. Setelah itu dia memilih sistem yang lain dalam mengarang syairnya. Maka jadilah syairnya berisi tasawuf dan pujian kepada Rasulullah, dan dia pun memurnikan cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya.

Al-Bushiri sebenarnya tak hanya terkenal dengan karya Burdahnya saja. la juga dikenal sebagai seorang ahli fiqih dan ilmu kalam. Namun nama Burdah telah menenggelamkannya untuk dikenal sebagai seorang sufi besar yang memiliki banyak murid.

Karena karya Burdahnya yang dipandang puncak karya sastra dalam memuji Rasulullah saw, maka Al-Bushiri digelar “Sayyidul-Muddah” yang artinya Pemimpin Para Pemuji Rasulullah SAW. Bait-bait Burdah yang dikarangnya sangat indah dan menggunakan gaya bahasa yang sungguh menarik, mampu menyentuh jiwa dan mengalirkan air mata orang yang membacanya. Semua itu akan membuat kecintaan kepada Rasulullah SAW semakin mendalam, seiring dengan semangat kuatnya keinginan untuk mengikuti sunnah dan perjuangan Baginda Nabi SAW.

Qashidah yang disusunnya bermula ketika Imam Al-Bushiri ditimpa penyakit lumpuh sebelah tubuhnya. Berbagai perawatan telah diusahakan namun penyakit lumpuhnya tak juga sembuh. Para dokter yang merawatnya pun telah berputus asa untuk mengobatinya. Maka dalam keadaan tak berdaya seperti itu, datanglah ilham dalam hatinya untuk mengarang sebuah qashidah puji-pujian terhadap Rasulullah SAW. Rupanya badan yang lemah lunglai itu masih memiliki pikiran yang yang sangat cerdas, ingatan yang begitu tajam, dan tekad yang demikian kuat.

Maka dengan hati yang dipenuhi kasih sayang dan kecintaan kepada Baginda SAW, ia susun qashidahnya. Satu bait demi satu bait terus dirangkainya hingga qashidah Burdah diselesaikan dengan jumlah 161 bait. Ia berharap dengan keberkahan memuji Baginda, penyakitnya akan disembuhkan oleh Allah SWT.

Diriwayatkan bahwa selesai menulis, beliau pun tertidur dan bermimpi berjumpa Rasulullah SAW. Baginda datang menziarahi beliau yang sedang sakit, lalu Baginda menyapukan tangannya yang mulia pada tubuh Imam Al-Bushiri dan menyelimutinya dengan sehelai selendang (burdah). Ketika ia terjaga dari tidurnya, ternyata didapatinya penyakit lumpuhnya telah sembuh. Badannya seolah-olah tidak pernah ditimpa penyakit lumpuh. Ada juga riwayat lain yang menyebutkan bahwa Imam al-Bushiri mendapati burdah atau selendang tersebut berada di atas tubuhnya ketika beliau terjaga dari tidurnya.

Di kalangan para sufi, Al-Bushiri termasuk dalam jajaran sufi-sufi besar. Sayyid Mahmud Faidh Al-Manufi menulis di dalam bukunya, Jawharat al-Awliya bahwa al-Bushiri tetap konsisten dalam hidupnya sebagai seorang sufi sampai akhir hayatnya. Makamnya yang terletak di Iskandaria, Mesir, sampai sekarang masih dijadikan tempat ziarah. Makam itu berdampingan dengan makam gurunya, Abul Abbas Al-Mursi. Semasa hidupnya, Al-Bushiri adalah sosok yang dikenal kezuhudannya, tekun beribadah, serta tidak menyukai kemewahan dan kemegahan duniawi.

Sebelum kemunculan qashidahnya itu, belum ada seorang pun yang mendahuluinya dalam mengarang qashidah seperti ini, dan hingga kini belum ada yang sanggup menandinginya. Betapa pun banyak qashidah yang dikarang untuk menyerupainya, disusun dengan mengikuti metodenya, namun tak bisa menjangkau tingkatan keindahan qashidah Burdah. Hingga Syaikh Ahmad Syauqi Bik (wafat 1351 H/ 1932 M) yang digelari oleh para ulama sebagai Amirusy Syu’ara (pemimpin para penyair) mengatakan dalam qashidahnya, Nahjul Burdah:

Para pemuja dan pemilik rindu mengikuti pengarang Burdah yang luas dan lebih terdahulu.
Pemujinya memiliki cinta dan rindu yang murni kepadamu, dan orang yang benar cintanya mencatat dari orang yang benar omongannya.
Allah menyaksikan bahwa aku tak dapat menandinginya, siapakah yang dapat menandingi luapan banjir bandang `Arim?
Namun sesungguhnya aku termasuk orang yang memiliki keinginan, dan orang yang ingin seperti kekasih-Mu, tidak pantas untuk dicela dan dikecam.

Imam Ibnu Hajar mengatakan, “Al-Bushiri merupakan keajaiban yang ditampakkan Allah dalam hal susunan prosa dan syair. Andaikan ia tidak memiliki karya kecuali qashidahnya yang terkenal dengan nama Al-Burdah tersebut, maka itu sudah cukup mengangkat kemegahannya. Begitu pula qashidah hamziyahnya (Qashidah yang diakhiri dengan huruf hamzah) yang memukau. Kemasyhuran Al-Burdah terus bertambah sehingga orang-orang selalu membacanya di rumah-rumah dan di masjid-masjid.” Selain Qashidah Burdah, al-Bushiri juga menulis beberapa qashidah lain di antaranya qashidah Al-Mudhariyah fi Madh Khayr Al-Bariyyah.

Al-Burdah menurut bahasa artinya selendang. Sedangkan menurut istilah, mempunyai banyak arti, antara lain baju (jubah) kebesaran khalifah yang menjadi salah satu atribut khalifah. Dengan atribut burdah ini, seorang khalifah bisa dibedakan dengan pejabat negara lainnya dan rakyatnya. Kemudian ia juga berarti nama dari qashidah yang dipersembahkan kepada Rasulullah SAW yang digubah oleh Ka`ab bin Zuhair.

Pada mulanya, burdah (dalam pengertian jubah) ini adalah milik Nabi Muhammad SAW yang diberikan kepada Ka`ab bin Zuhair bin Abi Salma, seorang penyair terkenal. Burdah yang telah menjadi milik keluarga Ka`ab tersebut akhirnya dibeli oleh Mu`awiyah bin Abi Sufyan seharga duapuluh ribu dirham, dan kemudian dibeli lagi oleh Abu Ja`far al-Manshur dari dinasti Abbasiyah dengan harga empat puluh ribu dirham. Burdah itu hanya dipakai sekali olehnya pada setiap shalat Id dan diteruskan secara turun temurun.

Riwayat pemberian burdah oleh Rasulullah SAW kepada Ka`ab bin Zuhair bermula dari kebiasaan Ka`ab yang menggubah syair yang senantiasa menjelek-jelekkan Nabi dan para sahabat. Karena merasa terancam jiwanya, ia lari bersembunyi untuk menghindari amarah para sahabat. Ketika terjadi penaklukan kota Mekkah, saudara Ka`ab yang bernama Bujair bin Zuhair mengirim surat kcpadanya, yang isinya antara lain anjuran agar Ka`ab pulang dan menghadap Rasulullah, karena beliau tidak akan membunuh orang yang bertobat. Setelah memahami isi surat itu, ia pun berniat pulang ke rumahnya dan bertobat.

Kemudian Ka`ab berangkat menuju Madinah. Melalui Abu Bakar Ash-Shiddiq, di sana ia menyerahkan diri kepada Rasulullah SAW. Ternyata apa yang dikatakan saudaranya itu benar. Ka`ab bukan hanya dimaafkan, melainkan juga memperoleh sambutan penghormatan dari Rasulullah. Begitu besarnya rasa hormat yang diberikan kepada Ka`ab sampai-sampai Rasulullah melepaskan burdahnya dan memberikannya kepada Ka`ab.

Ka`ab kemudian menggubah qashidah yang terkenal dengan sebutan Banat Su`ad (Putri-Putri Su`ad), terdiri atas 59 bait puisi. Qashidah ini disebut pula dengan qashidah Burdah. Hasyim Muhammad Al-Baghdadi, kaligrafer terkemuka di dunia, telah menuliskan qashidah-qashidah itu dengan tulisan yang sangat indah di dalam kitab kaligrafinya, Qawaid Al-Khath Al-Arabi.

Sedangkan qashidah Burdah yang disusun oleh Al-Bushiri nama aslinya adalah Al-Kawakib Ad-Durriyyah fi Madh Khayr Al-Bariyyah (Bintang-bintang Gemerlap tentang Pujian terhadap Sang Manusia Terbaik). Namun, selanjutnya lebih dikenal dengan nama Burdah Al-Madih Al-Mubarakah atau Burdah saja. Nama inilah yang kemudian dikenal dengan sangat luas karena sejarah penyusunannya yang unik sebagaimana diungkap di atas.

Burdah Al-Bushiri tersebut terdiri dari sepuluh pasal. Pasal pertama berisi kecintaan kepada Rasulullah SAW. Pasal kedua tentang peringatan dari godaan hawa nafsu. Pasal yang ketiga berbicara mengenai pujian-pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Kemudian dilanjutkan dengan pasal keempat tentang kelahiran Rasulullah SAW. Lalu pasal kelima tentang mukjizat Rasulullah SAW. Pasal keenam tentang kemuliaan kitab suci Al-Qur’an dan pujian atasnya yang diikuti pasal ketujuh tentang Isra’nya (dijalankannya Rasulullah SAW pada malam hari) dan mi`rajnya beliau.

Kemudian pasal kedelapan tentang beberapa kejadian peperangan Nabi Muhammad SAW. Lalu pasal kesembilan tentang bertawasul dengan kemuliaaan qasidah-qasidah yang disusun kepada Rasulullah SAW, dan terakhir pasal kesepuluh tentang munajat dan menghadapkan segala hajat.

Qasidah Burdah dapat dikatakan qashidah yang paling penting dalam pujian kepada Rasulullah SAW. Karena itu, para ulama di seluruh dunia Islam menyambutnya dengan hangat. Ibnu Khaldun pernah menghadiahkan burdah tersebut kepada Timur Lank. Pangeran Abdul Qadir Al-Jazairi pernah menulis di benderanya satu bait burdah di saat berperang melawan Perancis yang bacaannya Wamantakun birasulillahi nushratuhu in talqahul usdu fi ajamiha tajimi (Barangsiapa mengharapkan pertolongan dengan keberkahan Rasulullah, jika bertemu dengan harimau di hutan tidak akan diterkamnya).

Kesesuaian Burdah dengan Sunnah
Isi qashidah Burdah itu relevan dengan sunnah Nabi saw. Maksudnya, kesepuluh pokok permasalahan yang terdapat dalam Burdah sejalan dengan hadits-hadits Nabi. Tema dan keseluruhan subtemanya relevan dan sejalan dengan nas-nas hadits Rasulullah saw. Bagi masyarakat penikmatnya di Timur Tengah, khususnya Mesir, fungsi Burdah mencakup aspek agama, spiritual, hiburan, dan pendidikan yang tercermin dalam kehidupan mereka.

Memang ada beberapa bait Burdah yang harus dipahami menurut persepsi kebudayaaan Arab dan konvensi sastranya. Jika tidak, maka relevansi pun tak akan ditemukan bahkan bait-bait tersebut, yakni bait 119 dan 122 dapat dianggap menyimpang dari sunnah Nabi.

Yang dianggap berlebihan oleh sebagian ahli ialah pujian Al-Bushiri yang terdapat pada bait 38-40. Namun sesungguhnya pujian tersebut wajar dilakukan oleh orang yang sangat mencintai Nabi. Adapun larangan beliau agar umatnya tidak memujinya secara berlebihan dapat dipahami sebagai wujud ketawadhuan beliau dan sebagai ekspresi kekhawatiran kalau-kalau umatnya akan mengkultuskan dirinya sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Yahudi dan Nasrani terhadap nabi-nabinya.

Dengan memaparkan kehidupan Nabi secara puitis, Al-Bushiri bukan saja menanamkan kecintaan umat Islam kepada nabinya, tetapi juga mengajarkan sastra, sejarah Islam, dan nilai-nilai moral kepada kaum Muslimin. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika qashidah Burdah senantiasa dibaca di pesantren-pesantren, dan bahkan diajarkan setiap hari Kamis dan Jumat di Universitas Al-Azhar, Kairo.

Al-Bushiri hidup pada masa transisi, yakni perpindahan kekuasaan dinasti
Ayyubiyah ke tangan dinasri Mamalik Bahriyah. Pergolakan politik terus berlangsung, akhlak masyarakat merosot, para pejabat pemerintahan mengejar kedudukan dan kemewahan. Maka munculnya qashidah Burdah itu merupakan reaksi terhadap situasi politik, sosial, dan kultural pada masa itu, agar mereka senantiasa mencontoh kehidupan Nabi yang merupakan uswatun hasanah (suri tauladan yang baik), mengendalikan hawa nafsu, serta kembali kepada sumber pokok ajaran agama yang murni, Al-Qur’an dan hadits.

Ungkapan-Ungkapan Al-Bushiri dalam Burdah
Pemikiran-Pemikiran Bushiri dalam Al-Burdah dimulai dengan ungkapan rasa pilu atas dukacita yang dialami penyair dan orang yang dekat dengannya, yaitu tetangganya di Dzu Salam. Sudah menjadi kelaziman bagi para penyair Arab klasik dalam mengawali karya syairnya selalu merujuk pada tempat di mana ia memperoleh kenangan mendalam dalam hidupnya, khususnya kampung halamannya. Inilah yang diungkapkan Al-Bushiri pada awal bait:

Amin tadzakuri jiranin bi Dzi Salami
Mazajta dam ‘an jara min muqlatin bi dami?
(Tidakkah kau ingat tetanggamu di Dzu Salam
Yang air matanya tercucur bercampur darah?)

Kemudian ide-ide Al-Bushiri yang penting dilanjutkan dengan untaian-untaian yang menggambarkan visi yang bertalian dengan ajaran-ajaran tentang pengendalian hawa nafsu. Menurut dia, nafsu itu bagaikan anak kecil, apabila diteruskan menyusu, maka ia akan tetap saja suka menyusu. Namun jika ia disapih, ia pun akan berhenti dan tidak suka menyusu lagi. Pandangan al-Bushiri tentang nafsu tersebut terdapat pada bait ke-18, yang isinya adalah:

Wan-nafsu kaththifli in tuhmihu syabba `ala
Hubbir-radha`i wa in tufhimhu yanfatimi
Nafsu bagaikan anak kecil, yang bila dibiarkan menyusu

Ia akan tetap senang menyusu. Dan bila disapih ia akan melepaskannya.
Dalam ajaran pengendalian hawa nafsu, al-Bushiri menganjurkan agar kehendak hawa nafsu dibuang jauh-jauh, jangan dimanjakan dan dipertuankan, karena nafsu itu sesat dan menyesatkan. Keadaan lapar dan kenyang, kedua-duanya dapat merusak, maka hendaknya dijaga secara seimbang. Ajakan dan bujukan nafsu dan setan hendaknya dilawan sekuat tenaga, jangan diperturutkan. Demikian yang diungkapkannya pada bait 19-25.

Selanjutnya, ajaran Imam Al-Bushiri dalam Burdahnya yang terpenting adalah pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Ia menggambarkan betapa Nabi diutus ke dunia untuk menjadi pelita yang menerangi dua golongan; manusia dan jin, serta pemimpin dua kaum; Arab dan Ajam. Beliau bagaikan permata yang tak ternilai, pribadi yang tergosok oleh pengalaman keruhanian yang sangat tinggi. Al-Bushiri melukiskan sosok Nabi Muhammad di antaranya sebagai berikut

Muhammadun sayyidul-kawnaini wats-tsaqalai
Ni wal fariqayni min `urbin wa min `ajami
Muhammad adalah pemimpin dua golongan: manusia dan jin
Pemimpin dua kaum; Arab dan Ajam.

Pujian Al-Bushiri kepada Nabi tidak terbatas pada sifat dan kualitas pribadi beliau, melainkan juga mengungkapkan kelebihan Nabi yang paling utama, yaitu mukjizat paling agung berupa Al-Qur’an, mukjizat yang abadi. Al-Qur’an adalah kitab yang tidak mengandung keraguan, juga tidak akan lapuk oleh perubahan zaman, apalagi bila ditafsirkan dan dipahami secara arif dengan berbekal pengetahuan dan makrifah. Hikmah dan kandungan Al-Qur’an memiliki relevansi yang abadi sepanjang masa dan selalu memiliki konteks yang luas dengan peristiwa-peristiwa sejarah yang bersifat temporal. Demikianlah, kitab Al-Qur’an selamanya hidup dalam ingatan dan jiwa umat Islam.

Pembelaan terhadap Burdah
Meskipun diterima secara luas, tidak berarti Burdah selalu mendapat sambutan positif. Ternyata ada orang-orang atau kelompok-kelompok yang tidak cocok bahkan menyerang qashidah ini karena dianggap isinya bertentangan dengan akidah. Ada pula yang mengkritik segi-segi lainnya, di antaranya fakta-fakta tentang sejarah Nabi saw. Menyikapi itu, banyak ulama yang bangkit membela Burdah dari ”isu-isu miring” tersebut. Isu pertama, terkait dengan cakupan Burdah yang mengandung sejarah Nabi Muhammad. Dalam analisis kesusastraan, fenomena semacam ini mengundang tarik-menarik antara teks Burdah sebagai teks sejarah atau teks sastra. Teks sejarah menuntut kesesuaian teks dengan peristiwa sejarah, sementara teks sastra mengandung kebebasan pengarang dalam mengekspresikan dirinya.

Burdah harus dilihat dengan kacamata kritik sastra, bukan dengan analisis historis yang baku. Pengarang Burdah tidak berpretensi mengungkap fakta-fakta sejarah kehidupan Nabi Muhammad, sehingga bukan tidak mungkin terdapat beberapa hal yang berbeda antara kandungannya dengan fakta-fakta sejarah Nabi sebagaimana dikenal.

Isu kedua, berkenaan dengan kekuatan magis yang dimiliki Burdah. Banyak kisah-kisah ajaib yang menggambarkan betapa syair Burdah punya kekuatan yang luar biasa, seperti kisah kesembuhan Al-Bushuri sendiri dari penyakit lumpuhnya atau kemampuannya menyembuhkan penyakit mata. Karenanya, di berbagai acara dan kesempatan, sebagian masyarakat membacanya dengan harapan-harapan tertentu, di antaraya untuk mendapatkan keselamatan

Perilaku semacam ini tidak bisa serta merta disikapi secara negatif atau dihakimi sebagai tahayul. Kepercayaan ini berpangkal dari kepercayaan terhadap mukjizat yang memang diakui kebenarannya dalam agama Islam. Namun, memang hal-hal demikian harus dilandaskan atas tauhid yang kokoh agar tidak membahayakan keimanan seseorang.

Ya, kita tidak boleh beriktikad bahwa qasidah Burdah yang menyembuhkan penyakit, tapi dengan memuji-muji Baginda saw, menyebut akhlak-akhlak Baginda yang terpuji, dengan kebarkahan Baginda saw sebagai Kekasih Allah, maka insya Allah akan disembuhkan dari segala macam penyakit.

Isu ketiga, isi Burdah dianggap mengandung pemujaan berlebihan, bahkan mendekati pengkultusan, terhadap Nabi. Sesungguhnya pemujaan sebagaimana terdapat dalam Burdah harus dipahami dalam konteks sastra Arab yang cenderung hiperbolis dan mendayu-dayu, terutama saat menghormati dan memuji seseorang. Selain itu, cita rasa linguistik (dzauq al-lughah) adalah sesuatu yang relatif, bisa berbeda-beda antara satu orang dengan orang yang lain. Sehingga, berhubung Burdah adalah teks sastra, maka cara untuk memahaminya tentu tidak bisa secara literer.

Para ulama sepakat bahwa puji-pujian ke atas Rasulullah SAW adalah amalan terpuji, asalkan ia tidak melampaui batas seperti orang Kristen memuji Nabi Isa as sehingga menyatakannya sebagai Tuhan. Allah SWT juga telah memuji Baginda dengan firman-Nya yang artinya, “Sesungguhnya engkau berada di atas akhlak yang sangat agung.” (QS. Al-Qalam: 4) Burdah adalah sebuah ekspresi pujian kepada Rasulullah SAW untuk menanam kecintaan dan semangat untuk mencontoh beliau dalam semua aspek kehidupan.

Keistimewaan Burdah
Di Indonesia, selain Burdah masih banyak kumpulan syair pujian terhadap Nabi Muhammad yang juga dilantunkan dalam ritual-ritual pembacaan shalawat, seperti Al-Barzanji dan Ad-Diba`i. Namun, Burdah dianggap istimewa karena keunikannya dalam beberapa hal. Pertama, syair Burdah dianggap sebagai pelopor yang menghidupkan kembali penggubahan syair-syair pujian terhadap Nabi Muhammad. Kedua, syair Burdah memiliki kualitas sastra tingkat tinggi dan sarat pesan-pesan etis. Ketiga, syair Burdah tidak sekadar menyajikan sejarah Nabi Muhammad, namun juga memberikan beragam ajaran tasawuf dan pesan moral yang cukup mendalam. Dan keempat, syair Burdah dipercaya memiliki kekuatan magis sehingga tidak jarang ia dibacakan pada saat ada hajatan tertentu.

Keistimewaan qashidah Burdah diperkuat dengan kenyataan bahwa selain mengundang banyak budayawan Muslim untuk memberikan komentar (syarh), popularitasnya mampu menembus perhatian para pemerhati sastra di Eropa. Hingga saat ini, syair-syair cinta Rasul ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa India, Pakistan, Persia, Turki, Punjabi, Swahili, Urdu, Indonesia, Inggris, Prancis, Spanyol, Jerman, Italia, dan sebagainya

Para ahli telah melakukan penelitian tentang sastra Islam, termasuk Burdah.
Penelaahan yang dilakukan memperlihatkan pentingnya sastra Islam dan hal-hal yang terkait dengannya. Kepentingan tersebut didasari oleh beberapa anggapan sebagai berikut, baik anggapan yang berkaitan dengan isu keislaman maupun kesusastraan. Pertama, sastra Islam bersumber dari nilai-nilai kebenaran yang abadi, yaitu nilai keislaman. Apabila suatu karya sastra berlandaskan kepada nilai kebenaran yang abadi, maka ia pun akan “abadi” pula. Apabila ia berlandaskan pada nilai yang tidak langgeng, ia pun menjadi karya yang hidup hanya dalam semusim.

Kedua, “keabadian” karya itu karena ia difungsikan oleh pengarangnya sendiri maupun masyarakat penerimanya. Maka karya yang abadi hanyalah yang berfungsi. Ketiga, karya sastra Islam telah memberikan sumbangan berharga bagi perkembangan dunia sastra Indonesia, terutama dalam aspek isinya. Sumbangan itu akan terus bertambah apabila sastra Islam tersebut dikaji dan dipelajari. Salah satu contoh karya tersebut ialah qashidah Burdah.

Burdah menggunakan huruf mim sebagai qafiahnya secara ajeg. Oleh karena itu Burdah disebut juga qashidah Al-Mimiyah.

Tema-tema qashidah Burdah disampaikan untuk mengungkapkan perasaan cinta Al-Bushiri yang dalam kepada Nabi saw dalam bentuk untaian pujian. Pujian itu dimaksudkan agar Al-Bushiri memperoleh syafaat Nabi dan ampunan Allah. Di samping itu, pujian tersebut dimaksudkan agar para pembaca mengetahui berbagai jenis mukjizat Nabi saw. Kemudian pengetahuan itu diharapkan akan semakin menambah kecintaan kepadanya, memujinya, dan meneladaninya.

Fungsi Burdah
Jika kita menganalisi struktur dan isi qashidah Burdah, tampak bahwa karya itu ditujukan oleh pengarangnya untuk mengekspresikan rasa cintanya yang dalam kepada Nabi saw. Selanjutnya ungkapan rasa cinta itu dimaksudkan oleh Al-Bushiri sebagai sarana (wasilah) untuk mendapatkan kesembuhan dari penyakit yang dialaminya, serta agar mendapatkan syafaat Nabi dan ampunan Allah.

Bagi masyarakat yang mengamalkan Burdah, karya ini memiliki fungsi manfaat dan hiburan. Fungsi manfaatnya mencakup aspek agama, spiritual, dan pendidikan. Sehubungan dengan aspek agama Burdah telah diintegrasikan oleh pemakainya ke dalam rangkaian pengamalan keagamaan. Burdah dibaca sebagai amalan khusus pada malam Jumat. Berkaiatan dengan aspek spiritual, Burdah difungsikan untuk menyembuhkan penyakit ruhani, jasmani, dan penolak bala. Pengamalannya diintegrasikan ke dalam pelaksanaan shalat fardhu atau dikaitkan kepada bilangan dan waktu tertentu, misalnya hari dan malam Jumat.

Sedangkan berkaitan dengan aspek pendidikan, pembacaan Burdah difungsikan sebagai kegiatan ekstra kurikuler bagi para pelajar dan kitabnya menjadi salah satu buku ajar dalam bidang akhlak dan sejarah. Di samping untuk memperoleh ketiga manfaat tersebut, pembacaan Burdah pun difungsikan oleh para pembacanya untuk mendapatkan kenikmatan dan hiburan melalui irama, pilihan kata, dan keindahan bahasanya.

Fungsi keagamaan Burdah diketahui melalui pengamalan matan Burdah secara keseluruhan sebagai amal ibadah. Pengamalan mereka didasarkan atas alasan bahwa Burdah itu selaras dengan Al-Qur’an dan sunnah serta didorong oleh kecintaan kepada Nabi dan rasa hormat kepada ulama. Mereka memandang Al-Bushiri sebagai wali Allah yang layak untuk diminta barakahnya. Selanjutnya bait-bait Burdah tertentu diamalkan secara integral setelah shalat fardhu. Bait ke-79, misalnya, dibaca sebanyak tiga kali setelah shalat maghrib dengan tujuan untuk memperoleh kekuatan dalam beragama.

Fungsi spiritual tampak dalam pengamalan khasiat dan faedah yang dikandung oleh hampir seluruh bait Burdah. Bait-bait Burdah memiliki tiga fungsi spiritual: mengobati penyakit ruhaniah, jasmaniah, dan sebagai penolak bala. Untuk memperoleh khasiat tersebut, maka Burdah diamalkan dalam upacara-upacara yang berkaitan dengan perkembangan individu, upacara-upacara keagamaan, pertanian, perdagangan, kegiatan amar ma’ruf nahyi munkar, pengobatan, permintaan keputusan dari Allah bagi yang sakit keras, dan hal-hal magis.

Fungsi pendidikan dapat diberikan kepada Burdah karena ia diajarkan kepada para santri dan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ia dipandang, sebagai salah satu sumber ajaran Islam dalam hal mencintai Nabi dan memujinya, serta mengetahui berbagai mukjizatnya.

Fungsi hiburan dapat diketahui dari pembacaan Burdah untuk menghibur diri, menggairahkan santri atau jamaah dan menyenangkan pihak pengundang. Karena itu pembacanya membaguskan suaranya, mengimprovisasikannya, dan memvariasikannya.

Semoga Allah selalu mengampuni, merahmati, dan meninggikan derajat Imam al Bushiri di surga, memasukkan niat, amal, dan tujuan kita dalam niat, amal, dan tujuan beliau, serta memberikan asrar, anwar (cahaya-cahaya), ilmu-ilmu beliau, dan keberkahan qashidah Burdah kepada kita semua dengan kedudukan junjungan kita, Nabi Muhammad saw.