Hikmah Alawiyah
Image default
Kolom Mahya

Tarawih dan Ramadhan

Oleh : Habib Ahmad bin Novel bin Salim Jindan

Sudah menjadi hal yang maklum, bahwa Shalat Tarawih adalah Shalat sunah satu paket yang tidak terpisahkan dari bulan Ramadhan yang penuh dengan keberkahan ini. Shalat ini, dikerjakan sesudah Shalat Isya’ sampai terbit fajar, sekaligus tanda masuknya waktu Shalat Subuh. Seperti yang dikerjakan oleh para sahabat, tabi’in, salaf dan sampai pada masa kini.

Shalat Tarawih tentu juga dikerjakan dan dianjurkan oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. Beliau menunjukkan keutamaan dari Shalat Tarawih tersebut sebagaimana yang diriwayatkan Al Imam Al Bukhori dan Al Imam Muslim dari riwayat Sayyiduna Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, yang mana Beliau berkata:

“Sesungguhnya Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam telah bersabda: Barang siapa menghidupkan bulan Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala dari Allah maka diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu”. Al Imam Nawawi  berkata : yang di maksud “menghidupkan bulan ramadhan” adalah dengan Shalat Tarawih.

PENCETUS SHALAT TARAWIH

Tentulah dapat dipastikan, bahwa pencetus pertama dari Shalat Tarawih adalah Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan dari Ummul Muminin Sayyidatuna Aisyah Radhiyallahu Taala Anha, Beliau berkata: Pada suatu malam An Nabi Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam, mengerjakan Shalat di masjid maka datang sekelompok orang ikut mengerjakan Shalat bersama Nabi sehingga bertambah banyak orang yang ikut Shalat bersamanya, begitu juga hari berikutnya. Pada hari ke tiga dan ke empat banyak orang berkumpul menunggu Nabi Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam akan tetapi Beliau tidak keluar ke masjid, sehingga dipagi harinya Nabi  Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda :

“Sungguh aku telah tahu apa yang kalian lakukan semalam dan tidak ada yang mencegah aku keluar kecuali aku takut apabila diwajibkan kepada kalian” Berkata Sayyidatuna Aisyah : “dan kejadian itu di bulan Ramadhan”

BERJAMA’AH

Setelah Rasulallah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam meninggal, Shalat Tarawih selalu di kerjakan dimalam-malam bulan Ramadhan dan dikerjakan sediri-sendiri. ketika di zaman Sayyiduna Umar Radhiyallahu Ta’ala Anhu. Beliau memerintahkan untuk dikerjakan secara berjamaah (seperti dahulu di zaman Nabi). Seperti yang diriwayatkan Sayyiduna Abdurrahman bin Abdul Qari, Beliau berkata:

“Ketika aku keluar bersama Sayyiduna Umar bin khattab di malam bulan Ramadhan maka kami mendapati muslimin mengerjakan Shalat Tarawih dengan sendiri-sendiri dan ada juga yang berjamaah dengan sekelompok orang. Berkata Sayyiduna Umar: “saya berpendapat, kalaulah dikerjakan berjamaah maka akan indah”, lalu Beliau mengumpulkan mereka dan dipilihlah Sayyiduna Ubay bin ka’ab menjadi Imam.

Berkata Sayyiduna Abdurrahman bin Abdul Qari, lalu keesokan harinya, aku keluar lagi bersama Beliau (Sayyiduna Umar) dan Shalat Tarawih dikerjakan berjamaah dengan imamnya Sayyiduna Ubay bin ka’ab, lalu berkata : “inilah sebaik-baiknya bid’ah”.

RAKAAT  TARAWIH

Shalat Tarawih, merupakan ibadah sunnah yang muakkad, sebagaimana tertera dalam hadits di awal tulisan ini, dengan jumlah rakaat 20, dengan 10 salam. Jika kita gabungkan dengan 3 rakaat dari Shalat Witir, menjadi 23 rakaat. Tidak ada satupun yang menentang akan hal ini, semenjak zaman Sayyiduna Umar bin Khattab, lalu zaman para Imam 4 Madzhab sampai saat ini. Hanya saja memang Al Imam Malik disamping berpendapat 23 rakaat, juga memunculkan pendapat, bahwa Shalat Tarawih 36 rakaat di tambah 3 rakaat witir, menjadi 39 rakaat. Pendapat Beliau ini berdasarkan amalan penduduk Kota Madinah Al Munawwaroh. Para Imam Madzhab mengambil pendapat yang sama, tentang 20 rakaat. Sebagaimana diriwayatkan oleh Al Imam Al Baihaqi dan yang lainnya dengan sanad yang shahih, dari Sayyiduna As Saib bin yazid Radhiallahu Anhu, Beliau berkata:

“sesungguhnya dahulu para sahabat mendirikan Shalat Tarawih dizaman Sayyiduna Umar dua puluh rakaat”.

Begitu juga yang diriwayatkan dari Al Imam Malik bin Anas Radhiyallahu Anhu di dalam kitabnya Al Muwaththo’ dari sahabat Yazid bin Rumman Radhiallahu Anhu berkata:

“sesungguhnya dahulu para sahabat mendirikan Shalat Tarawih dizaman Sayyiduna Umar dua puluh tiga rakaat”.

Dari Al Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni, Beliau menjelaskan sesungguhnya para ulama sepakat bahwa jumlah rakaat tarawih adalah 20. Beliau menolak pendapat Al Imam Malik  Radhiallahu Anhu dalam riwayatnya yang kedua yaitu tiga puluh enam rakaat.

Seperti halnya Al Imam Ibnu Qudamah, Al Imam Ahmad bin Hambal, Al Imam Abu Hanifah, Al Imam Asy Syafi’i dan imam Ats-Tsauri Radhiallahu Anhum juga sepakat bahwa jumlah rakaat Shalat Tarawih adalah 20 rakaat. Adapun Imam Malik RA mengerjakan tiga puluh enam rakaat karena mengikuti apa yang di kerjakan Ahli Madinah.

Disebutkan di dalam kitab Mukhtasor Almuzani bahwa Al Imam Asy Syafi’I berkata: “Aku telah mendapati Ahli Madinah mengerjakan Tarawih 36 rakaat tetapi Aku lebih suka 20 karena mengikuti apa yang telah di riwayatkan dari Sayyiduna Umar bin Khattab.

Begitu juga, telah menjadi amalan Ahlu Makkah mengerjakan Shalat Tarawih dengan dua puluh rakaat ditambah dengan tiga rakaat witir. Al Imam At Turmudzi juga meriwayatkan dalam kitab Sunannya, bahwa Shalat Tarawih adalah 20 rakaat. Begitu pula apa yang dikatakan oleh Al Imam Ibn Rusyd dan Al Imam An Nawawi.

Al Imam Ibnu Taymiyyah mengatakan dalam Fatwanya: “Adalah benar bahwa Ubay bin Kaab dahulu menjadi imam dalam Shalat Tarawih 20 rakaat dan berwitir dengan 3 rakaat. Dengan inilah banyak ulama sepakat inilah yang tepat, karena dikerjakan ditengah-tengah para Muhajirin dan Anshor, dan tidak terdapat seorangpun dari para sahabat yang menentang hal tersebut”.

Sebagaimana dilaksanakan sampai saat ini di Masjidil Haram dan Masjid An Nabawi dan di hampir semua kaum Muslimin. Bahkan Sayyiduna Ali Radhiallahu Anhu berkata: Semoga Allah menerangi kubur Umar Radhiallahu Anhu sebagai mana Beliau telah menerangi masjid-masjid kita”.

Delapan Rakaat?

Kawan-kawan yang berpendapat bahwa Shalat Tarawih 8 Rakaat berpegang pada Hadis As Sayyidah A`isyah tentang Shalat Witir : “Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam tidak pernah menambahi, baik pada bulan Ramadhan maupun selain bulan Ramadhan, dari sebelas rakaat.” H.R.Bukhari dan Muslim.

Menurut kelompok pendukung Tarawih delapan rakaat, sebelas rakaat yang di maksud pada hadis ini adalah delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir. Dari segi sanad, hadits ini tidak diragukan lagi keshahihannya. Karena diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, Imam Muslim dan lain-lain (muttafaq `alaih). Hanya saja, penggunaan hadis ini sebagai dalil Shalat Tarawih perlu dikritisi dan dikoreksi ulang. Berikut ini adalah beberapa kritikan dan sanggahan yang perlu diperhatikan oleh para pendukung Tarawih delapan rakaat :

1. Pemotongan hadis.

Kawan-kawan yang sering menjadikan hadis ini sebagai dalil Shalat Tarawih, biasanya tidak membacanya secara utuh, akan tetapi mengambil potongannya saja sebagaimana disebutkan di atas. Bunyi hadis ini secara sempurna adalah sebagai berikut :

Dari Abi Salamah bin Abd al-Rahman, ia pernah bertanya kepada As Sayyidah A`isyah radhiyallahu `anha perihal Shalat yang dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam pada bulan Ramadhan.

As Sayyidah A`isyah menjawab : “Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam tidak pernah menambahi, baik pada bulan Ramadhan maupun selain bulan Ramadhan, dari sebelas rakaat. Beliau Shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian Beliau Shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian Beliau Shalat tiga rakaat. A`isyah kemudian berkata : “Saya berkata, wahai Rasulullah, apakah anda tidur sebelum Shalat Witir?” Beliau menjawab : “Wahai A`isyah, sesungguhnya kedua mataku tidur, akan tetapi hatiku tidak tidur.”

Pemotongan hadits boleh-boleh saja dilakukan, dengan syarat, orang yang memotong adalah orang alim dan bagian yang tidak disebutkan tidak berkaitan dengan bagian yang disebutkan. Dalam arti, pemotongan tersebut tidak boleh menimbulkan kerancuan pemahaman dan kesimpulan yang berbeda.

Pemotongan pada hadis di atas, berpotensi menimbulkan kesimpulan berbeda, karena jika dibaca secara utuh, konteks hadis ini sangat jelas berbicara tentang Shalat Witir, bukan Shalat Tarawih. Karenanya pada akhir hadis ini, As Sayyidah A`isyah menanyakan Shalat Witir kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam.
Kesalahan dalam memahami maksud hadis.

Dalam hadis di atas, Sayyidah A`isyah dengan tegas menyatakan bahwa Nabi Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam tidak pernah melakukan Shalat melebihi sebelas rakaat. Baik pada bulan Ramadhan maupun pada bulan-bulan yang lain.  Shalat yang dilakukan sepanjang tahun, baik pada bulan Ramadhan maupun bulan lainnya, tentu bukanlah Shalat Tarawih. Karena Shalat Tarawih hanya ada pada bulan Ramadhan. Oleh karena itu para ulama berpendapat bahwa hadis ini bukanlah dalil Shalat Tarawih, akan tetapi dalil Shalat Witir.

Kesimpulan ini diperkuat oleh hadis lain yang juga diriwayatkan oleh Sayyidah A`isyah radhiyallahu `anha. Dari A`isyah radhiyallahu `anha, ia berkata : “Nabi Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam Shalat malam tiga belas rakaat, antara lain Shalat Witir dan dua rakaat Fajar.” (HR. Bukhari).(21)

2. Pemenggalan Hadis.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, kawan-kawan pendukung Tarawih delapan rakaat mengatakan bahwa maksud dari pada sebelas rakaat pada hadis di atas adalah delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir. Hal ini tidak tepat. Karena ini berarti satu hadis yang merupakan dalil untuk satu paket Shalat dipenggal menjadi dua, delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir.

Di sisi lain, jika kita menyetujui pemenggalan ini, maka kita harus menyetujui bahwa selama bulan Ramadhan Nabi Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam hanya melakukan Shalat Witir tiga rakaat saja. Ini tidak pantas bagi Beliau yang merupakan tauladan bagi umat dalam hal ibadah. Imam al-Tirmidzi mengatakan :
“Diriwayatkan dari Nabi Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam Shalat Witir 13, 11, 9, 7, 5, 3 dan 1 rakaat.” Apabila di selain bulan Ramadhan saja Beliau melakukan Shalat Witir sebanyak 13 atau 11 rakaat, pantaskah Beliau hanya melakukan Shalat Witir hanya tiga rakaat saja pada bulan Ramadhan yang merupakan bulan ibadah?

3. Inkonsisten dalam mengamalkan hadis.

Dalam hadis di atas secara jelas dinyatakan bahwa Nabi Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam tidak pernah melakukan Shalat melebihi sebelas rakaat baik pada bulan Ramadhan maupun pada bulan-bulan yang lain. Kalau mau konsisten, kawan-kawan yang memahami bahwa sebelas rakaat pada hadis di atas maksudnya adalah delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir, seharusnya mereka melakukan Shalat Tarawih dan Witir sepanjang tahun, dan bukan pada bulan Ramadhan saja. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Entah dasar apa yang mereka pakai untuk memenggal hadis tersebut pada bulan Ramadhan saja.

KESIMPULAN

Setidaknya ada empat kesimpulan yang dapat kita tarik dari pembahasan ini, yaitu:
Menghidupkan malam-malam bulan Ramadhan dengan ibadah adalah sunnah muakkadah, sebab Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam sangatlah menganjurkan hal tersebut, sehingga Beliau bersabda: “(Ramadhan) adalah bulan yang diwajibkan berpuasa oleh Allah Subhanahu wa Taala, dan Aku sunnahkan Shalat di malam harinya, siapa yang berpuasa di siang harinya dan Shalat di malam harinya (Tarawih) dengan penuh keimanan dan pengharapan kepada Allah, akan keluar dari bulan Ramadhan seperti bayi yang baru dilahirkan (tanpa dosa).”

Tarawih berjamaah sunnah muakkadah, sebab pernah dikerjakan Rasulullah pada beberapa malam dibulan Ramadhan, juga sebagaimana yang dilakukan para sahabat setelahnya.

Jumlah rakaat tarawih 20 rakaat, sebagaimana ijma’ para sahabat dan ulama, merupakan sunnah juga. Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam, “Kerjakanlah atas kalian akan sunnah-sunnahku dan sunnah-sunnah Khulafaur Rasyidin setelahku.” Shalat Tarawih dikerjakan setelah mengerjakan Shalat Isya. Tidak sah bila dikerjakan sebelum menyelesaikan Shalat Isya.

RENUNGAN

Perlu diingat, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa perbedaan ini hanyalah berkisar seputar mana yang lebih afdhal? Jadi, tidak selayaknya kelompok yang lebih memilih melaksanakan Shalat Tarawih dua puluh rakaat melecehkan atau menyesatkan kelompok yang memilih melakukannya delapan rakaat. Begitu pula sebaliknya. Apalagi sampai saling mengkafirkan.

Sungguh sangat disesalkan, di bulan Ramadhan yang agung, bulan untuk berlomba-lomba mencari pahala, berkah, rahmah dan ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta`ala, justru dikotori dengan saling hina, saling menyalahkan. Apalagi sampai saling mengkufurkan antara kelompok masyarakat yang lebih memilih Shalat Tarawih sebanyak dua puluh rakaat dengan kelompok masyarakat yang memilih delapan rakaat saja.

Seorang ulama besar kota Jakarta Al Muhaddits Al Habib Salim bin Ahmad bin Jindan pernah di tanya tentang jumlah rakaat pada Shalat Tarawih di bulan Ramadhan. Maka Beliau menjawab dengan tegas: “Silahkan jika anda ingin salat 20 rakaat. Dan silahkan jika anda ingin shalat 8 rakaat. Dan silahkan jika anda tidak ingin melaksanakan Shalat Tarawih sama sekali, karena Tarawih adalah ibadah yang sunnah dan bukan wajib.

Namun anda sangat dilarang untuk berkelahi, bertikai, bermusuhan dan mendengki serta saling membenci. Inilah yang di haramkan oleh Allah yang harus lebih kita perhatikan. Sungguh, Taufiq hanyalah dari Allah Subhanahu wa Taala, yang semoga di berikan pada kita semua. Amin.