Hikmah Alawiyah
Image default
Kolom Mahya

Wahyu Allah: Antara “Al-Quran” dan “Al-Furqan”

Oleh Haidar Bagir

Kata “Al-Quran” berasal dari kata kerja qara’a yang memiliki dua makna: sesuatu yang dibaca – yakni, Al-Quran sebagai bacaan – juga qara’a dalam makna “menggabungkan”. Dalam makna yang kedua ini Al-Quran bermakna sesuatu yang menggabungkan jadi satu, sehingga sesuatu itu berada dalam keadaan belum terurai menjadi bagian-bagian.

Untuk memahami makna kata “Al-Quran” ini kita perlu juga memahami bahwa di antara nama lain Al-Quran adalah Al-Furqan. Berbeda dengan Al-Quran, Al-Furqan adalah ayat-ayat Al-Quran yang sudah terurai, seperti kita dapati di dalam mushaf Al-Quran yang kita baca selama ini, yang dibuka dengan Surat Al-Fatihah dan ditutup dengan Surat An-Nas. Memang kata furqan berakar dari kata faraqa yang berarti “memisahkan”.

Sedangkan dalam keadaan masih merupakan Al-Quran, maka seluruh ayat yang sekarang kita baca masih berada dalam gabungan, masih bersifat global atau ijmal, dalam bentuknya sebagai gagasan yang bersifat sintetik—menyatu— yang di-install oleh Allah Swt ke dalam hati manusia. Dalam ayat kedua surat Ar-Rahman, Allah berfirman:

عَلَّمَ الْقُرْآنَ

“(Dia) mengajarkan Al-Quran.” (QS Ar-Rahman [55]: 2)

Melalui ayat ini, berdasar pemahaman di atas, Allah swt ingin mengatakan bahwa sesungguhnya semua hati manusia ketika diciptakan oleh Ar-Rahman – Yang memiliki belas kasih yang universal, kepada semua makhluk-Nya – sudah dibekali dengan Al-Quran. Yakni, tidak ada manusia yang di dalam hatinya tidak memiliki gagasan tentang (segala hal yang dikandung) Al-Quran.

Persoalannya adalah, apakah Al-Quran sebagai gagasan yang bersifat sintetik, menyeluruh, dan menyatu itu teraktualisasikan di dalam kehidupan manusia itu?

Berkat belas kasih Allah Swt, yang ingin memastikan bahwa gagasan tentang Al-Quran lebih berpeluang untuk teraktualisasi dalam kehidupan manusia itu di bumi, maka Al-Quran pun kemudian diturunkan sebagai Al-Furqan kepada Rasulullah saw sepanjang karir kenabian beliau selama  23 tahun.

Ayat demi ayat, kadang-kadang beberapa ayat sekaligus, diturunkan dalam bentuknya yang terurai (tafshil) seperti yang kita baca sekarang ini. Tujuannya tentu adalah untuk lebih mudah dijadikan panduan manusia secara aktual, setelah sebelumnya masih berupa potensi pemahaman Al-Quran dalam hatinya.

Untuk orang seperti al-Insan al-Kamil – yaitu Rasulullah saw – sesungguhnya Al-Quran yang bersifat global di dalam hati beliau sudahlah cukup untuk memandu. Tapi untuk kita manusia biasa yang memiliki berbagai hambatan dan kendala – termasuk dosa yang membuat keruh hati kita – maka kita perlu dibantu untuk mengaktualkan potensi Al-Quran yang ada dalam diri kita itu.

Demikianlah, dengan mempelajari Al-Quran ayat demi ayat, dengan cara menggali maknanya secara sistematis dan analitis, kita berharap bisa memulihkan Al-Quran dalam bentuk global yang ada dalam hati kita, menjadi panduan-panduan praktis di dalam hidup kita.

Dengan cara itu insya Allah kita bisa mendapatkan cahaya di dalam perjalanan kita untuk meraih kebahagiaan hidup, baik kebahagiaan hidup di dunia maupun kebahagiaan hidup setelah mati yang abadi.

Untuk memahami hal ini lebih jauh, dalam ayat keempat surat yang sama Allah melanjutkan:

عَلَّمَهُ ٱلۡبَيَانَ

“(Allah) mengajarkan kepadanya al-bayan (penjelasan/penguraian).” (QS Ar-Rahman [55]: 4)

Yang dimaksud dengan al-bayan dalam ayat ini, menurut setidaknya sebagian ulama, adalah Al-Furqan.

Meskipun Al-Furqan datang belakangan, yang sebelumnya masih dalam bentuk tergabung, menyatu, dan bersifat menyeluruh, semua susunan ayat-ayat, diksi (lafaz), dan kalimat dalam Al-Furqan itu bukanlah berasal dari Rasulullah saw.

Bukan saja Allah swt yang menurunkan Al-Quran dari khazanah ilmu-Nya, tapi Al-Furqan juga sepenuhnya adalah dari Allah swt, didiktekan oleh malaikat Jibril sebagai pesuruh Allah swt. Hal ini dijelaskan dalam surat Al-Qiyamah ayat 19, yang di dalamnya Allah swt menjelaskan:

ثُمَّ إِنَّ عَلَيۡنَا بَيَانَهُ

“Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah penjelasannya.” (QS Al-Qiyamah [75]: 19)

Ini menunjukkan keutamaan Al-Quran dibanding kitab-kitab suci yang lain: sebuah kitab yang susunannya sebagaimana kita baca sekarang adalah dari Allah swt. Sedemikian sehingga di ayat lain Allah swt juga mengatakan bahwa Allah swt sendirilah yang akan memelihara keotentikannya:

إِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا ٱلذِّكۡرَ وَإِنَّا لَهُۥ لَحَٰفِظُونَ

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran, dan sesungguhnya atas Kami kewajiban untuk memeliharanya.” (QS Al-Hijr [15]: 9)

Artinya, kitab suci – Al-Quran dalam bentuk Al-Furqan yang kita baca sekarang ini – adalah sama persis sebagaimana kitab Al-Quran yang masih dalam bentuk globalnya, sekaligus tak berbeda sama sekali dengan susunan yang didiktekan oleh malaikat Jibril kepada Rasulullah saw.

Bahkan, bukan saja semuanya datang dari Allah Swt, tapi sesungguhnya tidak ada sesuatu pun yang Allah tinggalkan di dalam Al-Furqan ini. Demikianlah di dalam salah satu ayat yang lain, Allah swt berfirman:

مَّا فَرَّطۡنَا فِي ٱلۡكِتَٰبِ مِن شَيۡءٖ

“Tidak ada sesuatu pun yang tertinggal – terlewat – dalam Kitab ini, sesuatu apapun.” (QS. Al-An’am [6]: 38)

Jadi, semua hal ada di dalam Al-Quran – yakni, sebagian dalam bentuk prinsip-prinsip – sementara sebagian yang lain secara terperinci. Dan tentu kesempurnaan Al-Quran juga terwakili dalam Al-Furqan.

Kenyataan bahwa Al-Furqan itu pun merupakan wujud sesuatu yang datang dari Allah langsung, memastikan bahwa kesempurnaan Al-Quran – kesempurnaan Kitab di sisi Allah ketika belum terurai – juga terjaga di dalam Al-Furqan. Yakni, bahwa tidak ada sesuatu pun yang terlewatkan di dalam Al Furqan sebagaimana tidak ada sesuatu pun yang terlewatkan di dalam Al-Quran.

Sebagai catatan akhir: telah disinggung di atas bahwa makna asli kata al-bayan sesungguhnya adalah penjelasan atau penguraian, yakni sejalan dengan makna Al-Furqan. Tetapi sebagian mufassir juga mengaitkannya dengan kata al-Asma, yakni “nama-nama”, sebagaimana yang diungkapkan dalam firman Allah:

وَعَلَّمَ ءَادَمَ ٱلۡأَسۡمَآءَ

“Dan Allah  mengajarkan kepada Adam asma (nama-nama).” (QS. Al Baqarah [2]: 31)

Hampir merupakan suatu kesepakatan bahwa nama-nama yang dimaksud di sini adalah konsep-konsep yang meliputi ilmu pengetahuan seluruhnya. Yakni, bahwa sesungguhnya apa saja ilmu pengetahuan yang perlu dipahami oleh manusia, sesungguhnya sudah terdapat pada diri manusia dalam bentuknya yang potensial: yakni, di dalam diri Adam yang kemudian ditransfer kepada anak keturunannya.[]

*Sumber: IslamIndonesia
Gambar: Its.ac.id