Hikmah Alawiyah
Image default
Kolom Mahya

Puasa Para Nabi

Ibadah puasa dapat dikatakan ibadah yang paling tua diamalkan manusia dibandingkan ibadah-ibadah lainnya. Bahkan sejak manusia pertama, Nabi Adam as, puasa sudah dijalankan sebagai ibadah. Nabi Adam as dikatakan melaksanakan puasa selama tiga hari.

Diriwayatkan, ketika keluar dari surga dan turun ke bumi, Nabi Adam as terbakar kulitnya karena matahari hingga menghitam. Setelah itu beliau berpuasa selama tiga hari. Kemudian datang Malaikat Jibril yang bertanya kepadanya, “Wahai Adam, maukah tubuhmu kembali memutih?” Nabi Adam menjawab: “Tentu saja.” Malaikat Jibril melanjutkan, “Berpuasalah engkau pada tanggal 13, 14, dan 15.” Maka beliau pun menjalankan apa yang disampaikan Jibril.

Pada hari pertama puasa, memutihlah sepertiga tubuhnya. Hari kedua memutih dua pertiga tubuhnya. Hari ketiga, memutihlah seluruh tubuhnya. Maka kemudian puasa ini dikenal dengan sebutan puasa “ayyamul-bidh” atau “hari-hari putih”. (dari Tafsir ats-Tsa‘labi, dikutip dari NuOnline).

Dalam Tafsir Ibnu Katsir terkait surah Al-Baqarah ayat 183 dan 184 yang menerangkan perihal puasa, diterangkan hal serupa. Bahwa puasa diwajibkan kepada umat-umat sebelum Rasulullah SAW, tiga hari setiap bulannya. Sampai kemudian di-nasakh (dihapus) dan diganti dengan puasa wajib satu bulan penuh pada bulan Ramadhan.

Seperti yang diriwayatkan dari Mu’adz, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, ‘Atha’, Qatadah, dan adh-Dhahhak bin Muzalim bahwa puasa pertama kali dikerjakan seperti yang diwajibkan kepada umat-umat sebelumnya, yaitu tiga hari setiap bulannya. Ditambahkan oleh adh-Dhahhak, bahwa pelaksanaan puasa seperti itu masih terus disyariatkan pada permulaan Islam. Jadi sejak Nabi Nuh as, sampai Allah SWT me-nasakh-nya dengan puasa Ramadhan.

Ada perbedaan tata cara pelaksanaan puasa dari zaman Nabi Adam as dan nabi-nabi berikutnya dengan puasa pada zaman Rasulullah SAW. Namun secara batiniah, menurut Al-Ghazali tak ada perbedaan puasa antara para nabi. Dalam kitab Ihya Ulumiddin yang ditulisnya dijelaskan tingkatan puasa. Pertama adalah tingkatan umum, kemudian tingkatan khusus, dan berikutnya tingkatan lebih khusus atau spesial. Puasa tingkatan lebih khusus inilah yang disebut Al-Ghazali sebagai puasa para nabi.

Puasa para nabi ini, kata al-Ghazali, adalah selain berpuasa dengan menahan lapar, haus dan kelamin, dan menjaga anggota tubuh dari perbuatan dosa, juga puasa hati dari segala keinginan yang hina dan dari segala pikiran duniawi, serta mencegahnya dari berpikir kepada selain Allah SWT secara keseluruhan. Sehingga, ketika tiba berbuka puasa pun, pikiran tetap kepada Allah SWT dan hari akhirat. Bukan berpikir tentang makanan atau hal-hal lain yang bisa melalaikan diri dari Allah SWT. Jikalau berpikir tentang dunia pun, maka yang dimaksud adalah dunia untuk agamanya.

Sampai-sampai memikirkan bahan untuk berbuka puasa saja, sudah dianggap sebagai kesalahan dalam berpuasa. “Barangsiapa tergerak keinginannya, dengan bertindak pada siang harinya untuk memikirkan bahan berbuka puasa, niscaya dituliskan sebagai kesalahan baginya. Karena yang demikian itu termasuk kurang kepercayaan dengan karunia Allah SWT dan kurang yakin dengan rezeki yang dijanjikan,” kata Al-Ghazali.

Bukan hanya itu. Ketika tiba waktu berbuka puasa pun, kemudian tidak serta merta menuruti semua hawa nafsunya yang sebelumnya dilarang ketika berpuasa. Jadi bila berbuka, cukup berbuka dengan menyediakan hidangan seperti hari-hari di luar bulan puasa. Tetap menyempitkan pembuluh darahnya untuk mengekang hawa nafsu dari makan dan minum berlebihan. Artinya perilaku puasa tetap dijalankan meskipun pada saat malam hari atau setelah berbuka puasa. Sehingga, tak ada celah sekecil apa pun pada saat berpuasa untuk memikirkan hal selain Allah SWT. Seluruh gerak pikir dan hati semua tercurahkan kepada Allah SWT, hingga pada puncaknya dapat mencapai kebahagiaan karena berjumpa dengan Allah SWT.

Seperti yang disabdakan Rasulullah SAW:

لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ، وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ

“Bagi yang berpuasa ada dua kebahagiaan; kebahagiaan ketika berbuka puasa dan kebahagiaan ketika bertemu Tuhannya.” (HR. Imam Muslim)

Sayyid Syekh Abdul Qadir Al-Jilani dalam kitab Sirrul Asrar menerangkan bahwa kebahagiaan pertama karena berhasil menjaga diri untuk tidak makan, minum, dan jima’ pada siang hari hingga tiba waktu berbuka puasa. Sementara kebahagiaan kedua karena berhasil menahan seluruh anggota tubuhnya dari apa-apa yang diharamkan Allah SWT dan dari hal-hal yang tercela secara lahir dan batin.

Hal-hal tercela secara lahir adalah segala hal yang dilarang secara syar’i saat berpuasa. Sedang hal-hal tercela secara batin adalah segala keinginan dari pikiran atau hati yang diisi dengan hal lain selain Allah SWT. Sehingga dalam menjalankan puasanya, hati dan pikiran hanya berfokus kepada Allah SWT.

Karenanya pelaku puasa selalu bersama Allah SWT, dan ini menjadi kebahagian yang tak terhingga sebab tujuan puasanya memang semata-mata hanya untuk Allah SWT.

*Sumber gambar: Al-Tsaqafah