Oleh Sayyid Muhammad Yusuf Aidid, S.Pd, M.Si
Dosen Agama Islam Universitas Indonesia dan PNJ
Nabi Muhammad Bersabda, “Sholat itu mi’rajnya orang-orang Mukmin”. Hadis Nabi tersebut menunjukkan bahwa identitas mi’rajnya seseorang muslim dalam shalat yaitu khusyuk. Sebab melalui khusyuk tersebut seseorang akan berada dalam keseriusan berkomunikasi dengan Allah.
Khusyuk secara etimologi merendahkan diri di hadapan Allah (Syekh Yusuf Muhammad al-Baqai:2008:234). Khusyuk menurut Hasan al-Bashri (w.728 M) bahwa khusyuk ialah perasaan takut yang senantiasa ada di dalam hati. Sedangkan khusyuk dalam perspektif Imam Junaid al-Baghdadi (w.910M) yaitu perasaan tunduk yang timbul di dalam hati terhadap Allah SWT yang mengetahui segala yang tersirat dan yang gaib.
Definisi-definisi khusyuk melalui pandangan kedua sufi di atas bisa diambil kesimpulan bahwa khusyuk adalah sikap hati seseorang untuk sepenuhnya berserah diri dan merendahkan diri kepada Allah sehingga seseorang itu tidak merasakan keadaan sekelilingnya. Adapun gambaran khusyumaknya ulama salafuna salih mencapai derajat luar biasa di dalam shalat. Keadaan seorang alim yang khusyuk diibaratkan ada seekor burung yang hinggap di kepalanya baik saat sholat maupun sujud. (Imam Abdullah al-Haddad:2013:95).
Diceritakan oleh Imam Ghazali di dalam Kitab Ihya Ulumuddin, bahwa Muslim bin Yasar suatu kali melakukan shalat di Masjid Jami’ di Basrah. Ketika ia sedang khusyuk melakukan shalat, salah satu sudut masjid tiba-tiba runtuh sehingga orang-orang berkerumun. Tetapi Muslim tidak mengetahui hal itu sama sekali sampai ia selesai melakukan shalat. Diceritakan pula bahwa pada suatu saat salah satu anggota tubuhnya terkena infeksi sehingga harus diamputasi. Salah seorang yang sering bersamanya menyarankan kepada seorag tabib (dokter) agar mengamputasi salah satu organ tubuhnya dilaksanakan pada saat shalat.
Tingkatan kekhusyukan antara seorang muslim dengan muslim lainnya berbeda. Hal itu tergantung dari koneksifitas antara hati, lisan dan anggota badan di dalam shalat. Keberlangsungan dari konektifitas tersebut saling mempengaruhi sebagai berikut:
1. Ucapan yang dibaca oleh bibir diartikan oleh pikiran dan dihayati oleh hati
2. Perbuatan yang dilakukan oleh anggota badan dalam menghormati dan menganggungkan Allah SWT, merendahkan diri di hadapan-Nya, khidmat, dan memuliakan-Nya diartikan oleh pikiran dan dihayati oleh hati.
3. Penghayatan hati terhadap segala ucapan dan perbuatan tadi menimbulkan kekhusyukan.
4. Setelah khusyuk terwujud, ia mempengaruhi anggota tubuh, sehingga gerak dan sikap jasmani serasi dengan yang dibaca dan yang dihayati.
Untuk itu, umat muslim dianjurkan untuk membaca taawudz dan surat an-Nas sebelum memulai shalat untuk menambah kekhusyukan di dalamnya. Jika kita tidak membaca keduanya maka ada Walhan, (nama salah satu syaitan yang selalu menggoda manusia di dalam shalat) yang mengingatkan umat manusia tentang hal-hal duniawi pada aktivitas yang dilakukan lima kali sehari tersebut.
Oleh karena itu shalat yang tanpa disertai kekhusyukan akan sia-sia. Sebagaimana Imam Hasan al-Bashri, “Setiap shalat tanpa kehadiran hati (khusyuk) padanya, maka berimplikasi pada sanksi yang cepat datang.”( (Imam Abdullah al-Haddad:2009:94). Melalui pernyataan ini ulama sufi memandang bahwa khusyuk merupakan salah satu syarat sah salat. Akan tetapi, ulama fikih memandang khusyuk itu hanya sunnah. Oleh sebab itu ketiadaannya tidak merusak ataupun membatalkan shalat.
Imam Abdullah al-Haddad berpesan, “Bersungguh-sungguhlah dalam mendapatkan rahmat Allah melalui khusyuk dan hadirnya hati saat shalat. Tadaburrilah apa-apa yang kau baca dalam berkomunikasi dengan Tuhanmu saat shalat. Jangan tergesa-gesa apabila kau membaca bacaan shalat, karena keadaan terburu-buru tersebut kau tidak bisa mentadaburi bacaan tersebut. (Imam Abdullah al-Haddad:2013:94)
*Sumber Gambar: liputan6.com