Oleh: Amien Nurhakim
Mahasantri Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences
dan Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Manusia dianugerahi berbagai naluri oleh Alah SWT, di antaranya naluri untuk bertahan hidup. Untuk bertahan hidup manusia harus makan dan minum, agar energi dalam tubuhnya tetap terisi dan bisa melakukan aktivitas dengan normal. Untuk mendapatkan makanan, maka manusia harus bekerja. Dari hasil kerjanya itulah manusia dapat memenuhi kebutuhan dirinya.
Banyak sekali ragam pekerjaan di dunia ini. Mungkin terlalu luas untuk memantau keragaman pekerjaan dan profesi di dunia. Cukup di Indonesia saja, betapa banyak jenis pekerjaan yang dilakoni masyarakat. Dari mulai guru, petani, peternak, pedagang, seniman, penulis, wartawan, reporter, bos perusahaan, karyawan, pegawai negeri, hingga pengemudi ojek online, dan lain-lain.
Semua pekerjaan akan menghasilkan rezeki yang halal selama itu dikerjakan dengan cara yang benar menurut syara’. Rezeki yang halal akan membawa keberkahan dalam hidup, sekecil apa pun jenis pekerjaannya. Islam sendiri telah banyak mengatur soal rezeki, banyak ayat maupun hadits yang berkaitan dengan rezeki.
Firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat ke-22:
الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَآءَ بِنَآءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَآءِ مَآءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ ۖ
Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu. (QS al-Baqarah: 22)
Dalam ayat ini Allah SWT mengaruniai manusia dengan beragam rezeki, di antaranya adalah air hujan, yang mana dengan wasilah air hujanlah, Allah tumbuhkan tanaman dan buah-buahan yang dapat dijadikan pangan oleh manusia. Dalam Tafsir Jalalain disebutkan maksud dari lafaz “rizqan lakum” di atas ialah ‘buat kamu makan dan kamu berikan rumputnya pada binatang ternakmu.’ (Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyûthi, Tafsîr al-Jalalain, Kairo: Dar el-Hadits, cetakan pertama, halaman 6)
Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman:
قُلْ إِنَّ رَبِّي يَبْسُط الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَآءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَهُ ۚ وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفهُ ۖ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
Katakanlah, “Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya).” Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.(QS Saba’: 39)
Ayat di atas menegaskan kepada kita bahwa Allah Maha Berkehendak untuk memberi rezeki kepada siapa pun, atau tidak memberi. Maka kaya dan miskin dalam kehidupan ini adalah ketentuan Allah SWT. Tanpa menafikan kewajiban usaha mencari rezeki terlebih dahulu. Dalam Tafsir Jalalain disebutkan bahwa tatkala Allah melapangkan rezeki-Nya, dan juga sebaliknya menyempitkan rezeki-Nya, maka itu semua adalah cobaan dari Allah kepada hamba-Nya, apakah mereka mampu menghadapinya atau tidak. (Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyûthi, Tafsîr al-Jalalain, halaman 569)
Masih banyak lagi ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan tentang rezeki. Selain ayat Al-Quran, banyak pula hadits-hadits yang berkaitan dengannya. Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لأن يحتطب أحدكم حزمة على ظهره خير له من أن يسال أحدا فيعطيه أويمنعه (أخرجه البخاري)
Rasulullah bersabda “Pastilah seseorang di antara kalian mencari seikat kayu bakar lalu dipikul di atas punggungnya untuk dijual, itu lebih baik baginya daripada mengemis kepada orang lain, hingga ia diberi atau tidak diberi.” (HR al-Bukhari)
Hadits di atas menegaskan kepada kita bahwa mencari penghidupan yang halal, meski hanya mencari kayu bakar untuk dijual, maka itu sudah mulia. Dibanding dirinya meminta-minta kepada manusia. Jika ditinjau pada masa sekarang, pencari kayu bakar dapat dianalogikan dengan pemulung barang bekas atau gelas plastik dan semacamnya yang kemudian mereka jual, dan keuntungannya pun tidak lebih dari cukup, atau bahkan mungkin kurang. Ternyata Islam lebih menghargai usaha seperti ini selama proses pengerjaannya dengan cara yang benar, dibanding dengan seseorang yang duduk di pinggir jalan atau mengetuk pintu rumah orang-orang untuk mengemis padahal ia mampu untuk bekerja dan masih kuat.
Terkait mengemis itu sendiri, Islam mencela perbuatan ini, terutama bagi orang yang mampu untuk bekerja. Salah satu sabda Nabi SAW yang berkaitan dengan ini adalah hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu:
مَا زَالَ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ، حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِيْ وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ.
“Seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain, hingga ia akan datang pada Hari Kiamat dalam keadaan tidak ada sekerat daging pun di wajahnya.”
Dalam kitab Fathul Bâri Imam Ibnu Hajar mengutip pendapat al-Khaththâbi mengenai penjelasan “tidak ada sekerat daging pun di wajahnya.” Beliau berkata:
يحتمل أن يكون المراد أنه يأتي ساقطا لا قدر له ولا جاه، أو يعذب في وجهه حتى يسقط لحمه لمشاكلة العقوبة في مواضع الجناية من الأعضاء لكونه أذل وجهه بالسؤال
Lafaz tersebut berisi beberapa kemungkinan, di antara maksudnya adalah ia datang (pada hari kiamat) dalam keadaan jatuh tidak memiliki kemampuan maupun kemuliaan, atau maknanya ialah ia disiksa di wajahnya sampai dagingnya jatuh karena beratnya hukuman pada anggota tubuhnya, yang demikian disebabkan perilakunya yang menghinakan dirinya dengan meminta-minta. (Imam Ibnu Hajar al-‘Asqallâni, Fath al-Bâri, Beirut: Dar el-Ma’rifat, 1379, juz 3, halaman 339)
Dan perlu diketahui bahwa rezeki terbagi kepada dua, halal dan haram. Rezeki yang halal tentunya akan membawa keberkahan, sedang yang haram akan membawa kepada sebaliknya. Oleh demikian maka Islam menganjurkan kaum muslimin untuk mencari rezeki yang halal. Upaya Islam dalam menyerukan pencarian rezeki yang halal ini beragam adanya. Mulai peringatan dari nash Al-Qur’an dan hadits, yang kemudian disarikan oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka.
Pembahasan para ulama terkait rezeki halal dan haram adakalanya mereka selipkan dalam pembahasan lainnya, seperti misalnya kitab adab dan tasawuf maupun fikih. Ada pula yang menyusunnya dalam kitab khusus. Misalnya, Imam al-Ghazali dalam Ihyâ ‘Ulumiddîn menempatkan bab khusus tentang halal dan haram. Sedangkan kitab khusus yang menerangkan tentang rezeki di antaranya adalah kitab Ishlâh al-Hâl bi Thalab al-Halâl karya Sayyid Utsman, Mufti Betawi pada masa kolonial Belanda.
Kitab yang dikarang Sayyid Utsman rata-rata tipis dan kurang lebih dua pertiga dari keseluruhan karya-karyanya menggunakan bahasa Melayu, serta ditulis dengan tulisan arab pegon (Arab Melayu). Begitu pun halnya dengan kitab ini. Sayyid Utsman memberi nama kitab ini dengan, Ishlâh al-Hâl bi Thalab al-Halâl, yang artinya ‘Memperbaiki Keadaan dengan Mencari yang Halal’.
Kitab ini sudah tidak diproduksi lagi. Penulis sendiri yakin bahwa kitab ini diproduksi oleh Sayyid Utsman di percetakan pribadinya. Mengenai tahun selesainya kitab ini, Sayyid Utsman menulis sendiri tahun tersebut, yaitu 1298 Hijriyah di negeri Betawi.
Latar belakang penulisan kitab ini adalah sebagaimana yang dituturkan sendiri oleh beliau dalam kitab ini, dan telah penulis sesuaikan dengan bahasa Indonesia yang relevan saat ini, yaitu: Sebagian orang tidak mengetahui akan kewajiban mencari rezeki yang halal atas seorang mukallaf. Sebab dari rezeki itulah ia bisa makan, juga untuk makan anak istrinya. Dan sebagian orang menyagka bahwa mencari rezeki itu adalah tindakan menuntut dunia (tergila-tergila harta) padahal mereka sendiri masih bodoh terhadap ‘pencarian dunia’ mana yang diharamkan oleh syariat. Lebih-lebih, karena keyakinan itu menyebabkan mereka tidak mau bekerja, melainkan meminta-meminta pengasihan orang lain, atau dalam bahasa kita adalah mengemis dari orang lain. (Sayyid Utsman, Ishlâh al-Hâl bi Thalab al-Halâl, percetakan pribadi, tahun 1298 H, halaman 1)
Karena sebab di atas lah Sayyid Utsman menyusun kitab ini. Namun di sini penulis menemukan data yang berbeda yang ditulis oleh peneliti Belanda yang terkenal, Nico J Kaptein. Ia mengelompokkan kitab ini ke dalam kitab yang terkait dengan Ibadah haji ke Mekkah dan diterbitkan pada tahun 1880 M. Ia berpatokan pada salinan naskah yang tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden. Menurutnya, Sayyid Utsman menyebutkan dalam kitabnya, motif penyusunan kitab ini adalah untuk menyanggah ide yang lazim di kalangan para jamaah haji yang kembali ke Hindia Belanda bahwa mereka tidak perlu lagi bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, namun sebagai orang alim ia bisa hidup dari sumbangan, baik zakat maupun sukarela, dari orang di kampung mereka. (Nico J.G Kaptein, Islam, Kolonialisme, dan Zaman Modern di Hindia Belanda: Biografi Sayyid Usman (1822-1914), Yogyakarta, Penerbit Suara Muhammadiyah, Cet. pertama, 2017, hal 116)
Sebenarnya di sini Penulis merasa janggal dengan latar belakang dan pengelompokan kitab ini kepada bagian kitab yang terkait dengan ibadah haji. Setelah membaca kitab ini dari awal hingga akhir, Penulis sama sekali menemukan pembahasan di atas. Kata haji hanya disebutkan sekali pada saat Sayyid Utsman menukil tafsir ayat ke-198 dalam surah Al-Baqarah, yaitu:
{ليس عليكم جناح} في {أن تبتغوا} تطلبوا {فضلا} رزقا {من ربكم} بالتجارة في الحج نزل ردا لكراهتهم ذلك
(Tidak ada dosa bagi kamu) dalam (mencari) atau mengusahakan (karunia) atau rezeki (dari Tuhanmu) yakni dengan berniaga di musim haji.
Penulis tidak mengetahui darimana anggapan Nico tersebut muncul. Barangkali ia menemukan sumber lain yang tidak Penulis dapatkan. Kendati demikian, tahun yang dituliskan Sayyid Utsman dalam kitabnya, dengan yang ditemukan Nico J Kaptein sama persis. 1880 Masehi jika dikonversikan kepada Hijriyah maka antara 1297 dan 1298 Hijriyah. Perpindahan dari 1297 ke 1298 terjadi pada bulan Desember.
Sayyid Utsman banyak mencantumkan ayat Al-Qur’an dan tafsirnya, juga hadits serta pendapat para ulama untuk menguatkan pendapatnya. Bisa dihitung, lebih banyak ayat, tafsir, hadits, dan pendapat para ulama dibandingkan dengan pendapat Sayyid Utsman sendiri. Peranan Sayyid Utsman dalam kitabnya lebih banyak saat menerjemahkan nash-nash di atas ke dalam bahasa Melayu serta menuliskannya menggunakan arab pegon.
Kitab-kitab yang menjadi referensi Sayyid Utsman dalam mengutip dalil-dalil beragam. Yaitu Tafsir Jalalain karya Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi, Ihyâ ‘Ulumiddin karya Imam al-Ghazali, Tanbîh al-Ghâfilîn karya Syekh Abu Laits as-Samarqandi, al-Jawâzir karya Imam Ibnu Hajar al-Haitami, Kasyful-Gummah karya Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani, Tuhfatul-Muhtâj karya Imam Ibnu Hajar al-Haitami, Nuzhatul Majâlis karya Syekh Abdurrahman ash-Shafûri asy-Syafi’i, al-Iqnā’ karya al-Khathîb asy-Syarbîni, dan Hasyiyah Bujairimi ‘ala al-Khathîb karya Syekh Sulaiman bin Muhammad bin ‘Umar al-Bujairami asy-Syafi’i.
Kitab Ishlâh al-Hâl ini terbagi kepada 7 pasal. Pasal pertama, kewajiban syara’ menuntut rezeki yang halal dan pujian terhadapnya dalam syara’. Pasal kedua, menjelaskan keharaman mengemis kepada orang lain, peringatan syara’ atas perilaku tersebut, serta kebencian syara’ padanya. Pasal ketiga, menjelaskan kebencian syara’ pada seorang yang tidak mencari rezeki yang halal. Pasal keempat, menjelaskan keharaman menipu harta orang. Pasal kelima, menjelaskan pahala berniaga dan pujian perbuatan tersebut dalam syara’. Pasal keenam, menjelaskan pahala menanam pepohonan dan pujian perbuatan tersebut dalam syara’. Pasal ketujuh, menjelaskan pahala mencari rezeki yang halal.
Pada setiap pasal di atas terdapat dalil-dalil yang dikutip Sayyid Utsman. Selain itu, beliau juga mengutip kisah-kisah pengalaman para nabi dan ulama yang mencari rezeki halal. Harapan Sayyid Utsman dengan adanya kitab ini ialah dapat memberi manfaat kepada para pembaca, atau pendengar karena ia dapat memahami bagaimana mencari rezeki yang halal.
Ada hal menarik dalam kitab ini yang menggambarkan contoh penipuan yang pernah terjadi di Betawi pada masa itu. Penulis mengutip langsung perkataan Sayyid Utsman dan menuliskannya dengan bahasa latin tanpa mengubah isinya, yaitu:
“Dan sebagian lagi daripada tipu besar dan pedaya besar dan dosa besar yaitu membuat cetak uang palsu atau membuat masak kimia, yakni membuat tembaga jadi emas atau membuat timah jadi perak dengan campuran obat-obatan maka adalah sekalian itu pekerjaan orang yang kurang akal dan gelap hatinya, sebab bahwa itu ilmu kimia telah suci pada zaman sekarang adanya, maka tiada lagi yang ada melainkan cerita kusang daripada ajaran iblis buat mempalingkan orang-orang daripada pekerjaan yang fardhu, mencari yang halal kepada pekerjaan bid’ah yang haram, maka terlalu nyata pada orang-orang bahwasanya belum pernah seorang menjadi saudagar mempunyai harta besar daripada itu pekerjaan melainkan yang ada padanya yaitu lah kemiskinan jua sentosa zamannya.” (Sayyid Utsman, Ishlâh al-Hâl bi Thalab al-Halâl, halaman 13)
Kutipan di atas menceritakan bahwa pernah terjadi penipuan yang dilakukan oleh sebagian orang yang mengubah tembaga menjadi emas atau timah menjadi perak dengan cara-cara sebagaimana yang dijelaskan dalam ilmu kimia. Hal ini menarik bagaimana Sayyid Utsman mendapatkan data ini. Barangkali trik penipuan seperti ini kala itu banyak dilakukan orang-orang sehingga Sayyid Utsman dapat memasukkannya kepada salah satu contoh bisnis yang dilarang.
Pada akhir kitab ini Sayyid Utsman mengingatkan para pembaca bahwa kewajiban dalam syara’ itu tidak hanya mencari rezeki yang halal, akan tetapi masih banyak di antaraya adalah menuntut ilmu, sembahyang, dan puasa. Jadi mencari rezeki yang halal pun mesti dibarengi dengan menjalani kewajiban-kewajiban lainnya.
Kitab ini bagus sekali jika dicetak ulang dan dibahasakan dengan bahasa Indonesia masa sekarang tanpa meninggalkan tulisan asli Sayyid Utsman, yaitu bahasa Melayu dengan tulisan arab jawi atau arab melayu. Lebih bagus lagi bila ada seseorang yang kompeten yang mensyarah kitab ini serta menambahkan penjelasan-penjelasan yang relevan, sebab Sayyid Utsman hanya sedikit saja menambahkan penjelasan-penjelasan, lebih banyaknya terisi oleh dalil-dalil dan kutipan daripada kitab-kitab turats yang telah disebutkan, sehingga karya-karya turas ulama Nusantara tidak menghilang begitu saja ditelan zaman.
*Sumber Foto: nu.or.id