Hikmah Alawiyah
Image default
Tokoh

Pelopor Surat Kabar Berdialek Hadhramaut

Jika dibuat daftar tentang tokoh habaib di Jakarta, bahkan di Indonesia, yang memiliki keunikan tersendiri, berbeda dengan kecenderungan para habib pada umumnya, Habib Muhammad bin Agil bin Utsman bin Yahya mestilah masuk di dalamnya.

Meskipun sepanjang hayatnya ia tetap berada di lingkungan habaib dan tak memisahkan diri dari mereka, keunikannya tetap menonjol. Jangan heran jika hingga kini, setelah hampir 30 tahun ia berpulang ke rahmatullah, banyak orang – terutama keluarga dan murid-muridnya – yang masih terkenang dengan sosok ulama yang memang “lain” ini.

Siapa sesungguhnya Habib Muhammad bin Agil ini? Mungkin tak banyak yang tahu bahwa beliau lahir jauh dari Jakarta, tepatnya di Kupang, Nusa Tenggara Timur, pada tahun 1895. Ayahnya, Habib Agil bin Utsman Bin Yahya, adalah putra tokoh habaib terkemuka, Habib Utsman bin Abdullah Bin Yahya, yang dikenal sebagai Mufti Betawi. Sedangkan ibunya adalah Fatimah Bahasywan, yang berasal dari Gresik.

Sebagaimana lazimnya anak-anak dari keluarga habaib dan keluarga ulama, sejak kecil Habib Muhammad bin Agil telah mempelajari dasar-dasar ilmu agama. Selain kepada ayahnya, ia juga belajar kepada beberapa guru yang lain, di antaranya Sayyid Abdullah Shadaqah Dahlan, seorang guru yang berasal dari Garut, Jawa Barat.

Pada tahun 1912 ia berangkat ke Hadhramaut bersama ayahnya, Habib Agil bin Utsman Bin Yahya, serta dua orang saudaranya, yakni kakaknya, Abdurrahman, dan adiknya, Husain. Di sana ia tidak tinggal bersama ayah dan saudara-saudaranya, melainkan di tempat mufti Hadhramaut saat itu, Habib Abdurrahman bin Ubaidillah Asseggaf. Mufti ini adalah salah seorang guru utamanya selama ia menimba ilmu di sana.

Sekitar delapan tahun waktu yang dihabiskannya di Hadhramaut untuk belajar. Selama di sana ia tak pernah pulang. Pada tahun 1914, ketika baru setahun berada di Hadhramaut, Habib Utsman bin Abdullah Bin Yahya wafat di Jakarta, sehingga ia tak dapat menyaksikan saat-saat terakhir datuknya ini.

Bahasa Arab dengan segala seluk beluknya adalah salah satu ilmu yang benar-benar ditekuninya ketika di Hadhramaut. Sampai-sampai ia menyusuri daerah-daerah pegunungan untuk belajar kepada orang-orang Badwi, yang dikenal memiliki kefasihan dalam berbahasa.

Munjid Berjalan
Jerih payahnya yang tak kenal lelah membuahkan hasil yang mengagumkan. Ia kemudian menjadi seorang lughawi (ahli bahasa) yang diakui kepakarannya. Sebagian orang menjulukinya “Munjid Berjalan”. Munjid adalah nama sebuah kamus Arab-Arab yang sangat dikenal di dunia, yang menjadi salah satu rujukan penting meskipun tidak terlalu tebal.

Tahun 1920 Habib Muhammad kembali ke Indonesia bersama kakaknya, Abdurrahman, sedangkan adiknya masih berada di sana menemani ayahnya dan baru kembali beberapa tahun kemudian. Sekembalinya dari Hadhramaut, ia langsung pergi ke Bondowoso, berguru kepada Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar. Selama sekitar sebulan ia membaca kitab al-Adzkar di bawah bimbingan gurunya ini.

Tak lama kemudian, masih di tahun itu juga, ia menikah dengan Syarifah Hasnah binti Yahya bin Utsman, wanita kelahiran tahun 1905. Jadi ia menikah dengan sepupunya sendiri, karena ayahnya, Habib Agil bin Utsman, adalah saudara mertuanya, Habib Yahya bin Utsman.

Pada tahun 1920, beberapa bulan setelah menikah, ia diminta oleh para habib di Palembang untuk membuka madrasah dan mengajar di daerah 13 Ulu. Maka berangkatlah ia bersama istrinya. Anak mereka yang bernama Ali lahir di Kota Pempek ini.

Kurang lebih tujuh tahun Habib Muhammad bin Agil membaktikan dirinya untuk mendidik murid-murid di madrasah dan masyarakat yang membutuhkannya. Ia juga sempat mendatangkan beberapa orang dekatnya dari Jakarta untuk menjadi tenaga pengajar dan bersama-sama mengabdi di sana. Di antaranya, Habib Shahabuddin Shahab. Selain itu juga adiknya sendiri, Habib Husain bin Agil, dan adik iparnya, Habib Muhammad bin Yahya.

Orang-orang dari berbagai daerah, dari kalangan habaib atau bukan, berdatangan untuk memasukkan anak-anaknya atau anggota keluarganya yang lain ke madrasah itu. Setelah lembaga pendidikan yang dirintisnya tersebut dapat berjalan dengan stabil, ia pun kembali ke Jakarta pada tahun 1927. Sampai sekarang madrasah yang dirintisnya tersebut masih tegak berdiri dan telah menghasilkan banyak alumnus yang telah membaktikan dirinya masing-masing di berbagai daerah. Setelah berkali-kali berganti nama, kini madrasah tersebut bernama Ar-Riyadh.

Baru saja pulang dari Palembang, tugas pengabdian kembali memanggilnya. Kali itu ia diajak oleh gurunya, Sayyid Abdullah Shadaqah Dahlan, untuk memenuhi permintaan yang datang dari Makassar. Semangat dan jiwa pengabdiannya yang besar membuatnya tak mau menolak ajakan itu, meskipun harus pergi ke tempat yang jauh. Maka ia pun berangkat ke sana dan mengajar di daerah Gowa, tepatnya di Jungaya. Pada tahun 1930, setelah selama tiga tahun membaktikan dirinya di sana, ia kembali ke Jakarta.

Wadah Perjuangan
Jiwa kejuangannya yang tinggi, semangat pengabdiannya yang terus menggelora, penguasaan bahasa Arab-nya yang mendalam, sikap kritisnya yang tak pernah hilang, ditambah perhatiannya yang besar terhadap kondisi umat, mendorong Habib Muhammad bin Agil menerbitkan surat kabar berbahasa Arab. Selama beberapa tahun, surat kabar menjadi wadah pengabdian dan perjuangannya, di samping madrasah dan majelis-majelis ta’lim.

Ada beberapa surat kabar yang sempat dibuatnya dalam waktu yang berlainan. Salah satunya bernama al-Mikwa, yang berarti “setrika”. Dari nama surat kabarnya ini saja kita telah dapat menduga bagaimana kira-kira sikap dan pendiriannya.

Masih di tahun 1930-an, beberapa rekannya di Solo mengajaknya pindah ke sana. Untuk itu mereka siapkan sebuah rumah untuknya. Bersama istrinya, ia pun berangkat memenuhi permintaan mereka. Selama berada di sana ia sempat menerbitkan surat kabar Barhut, yang sangat terkenal di kalangan ulama dan peminat bahasa Arab kala itu. Di kota ini pula bersama beberapa rekannya, di antaranya Habib Ali bin Abu Bakar Bin Yahya (dikenal sebagai Ustadz Ali bin Yahya Solo, putra Habib Abu Bakar bin Umar Bin Yahya Surabaya), Al-Ustadz Al-Hasyimi, ulama dari Tunisia, dan beberapa yang lain, ia mengadakan Majlis al-Udaba’ (Majelis Para Sastrawan), tempat berkumpulnya para ahli bahasa dan sastra Arab. Mereka yang merasa belum berada pada level ini, tak berani memasukinya. Demikian penuturan Habib Novel Bin Yahya, salah seorang putra Habib Muhammad bin Agil yang kini meneruskan pengabdian ayahnya sebagai ustadz dan mengajar di berbagai tempat.

Setelah kurang lebih tiga tahun tinggal di Solo, ia kembali ke Jakarta bersama anak-istrinya. Menjelang kedatangan Jepang, Habib Muhammad bin Agil kembali menerbitkan surat kabar yang bernama at-Turjuman. Keterlibatannya di dunia pers membuatnya berkali-kali berurusan dengan pemerintah penjajah Belanda. Tak kurang dari tiga kali ia ditangkap.

Sikapnya yang tegas tak hanya ditujukan kepada pemerintah atau masyarakat umum. Dalam memperjuangkan sesuatu yang dianggapnya benar, ia tak pilih-pilih bulu. Para ulama pun tak lepas dari sasaran kritiknya. Beberapa kali surat kabarnya memuat karikatur tentang para habib dan ulama yang dipandangnya telah melakukan kekeliruan atau tidak berani menyuarakan kebenaran.

Suatu ketika pernah muncul karikatur seorang tokoh habib di Jakarta yang sangat dihormati oleh umat, bukan hanya oleh kalangan awam, melainkan juga oleh para tokoh habaib dan para ulama. Tetapi Habib Muhammad tak peduli, dan tetap mengkritiknya.

Uniknya, surat kabar-surat kabar yang dibuatnya adalah surat kabar berbahasa Arab dialek Hadhramaut, bukan bahasa Arab fushah, yakni bahasa Arab formal (resmi). Perbandingannya kira-kira seperti bahasa Indonesia resmi dan bahasa Indonesia dialek Betawi. Dalam sejarah persuratkabaran di Indonesia, tampaknya baru Habib Muhammad bin Agil yang menerbitkan surat kabar berdialek Hadhramaut. Hebatnya pula, surat kabar-surat kabar itu tidak hanya beredar di Jakarta dan sekitarnya, melainkan juga sampai ke berbagai daerah, bahkan hingga ke luar negeri.

Selain mengajar dan menerbitkan surat kabar, ia juga pernah menjadi anggota pengurus Ar-Rabithah Al-`Alawiyyah. Ia pun pernah terlibat dalam kegiatan politik, di antaranya dengan menjadi anggota dan pengurus Masyumi di Jakarta. Meskipun tampaknya keterlibatannya di politik bukan karena inisiatifnya sendiri, melainkan karena memenuhi ajakan pihak-pihak yang tertarik dengan pandangan, sikap, dan pendiriannya, pilihan politiknya jelas menunjukkan siapa dirinya.

Walaupun tak larut dalam aktivitas politik, ia cukup aktif mengikutinya. Bahkan tahun 1950-an dalam kapasitasnya sebagai pengurus Masyumi ia pernah ditangkap dan harus mendekam dalam tahanan selama lebih dari setahun.

Membakar Uang!
Salah satu kegiatan yang terus ditekuninya hingga akhir hayat adalah mengajar di majelis-majelis ta’lim. Di antara majelis ta’lim yang puluhan tahun diasuhnya adalah yang diadakan di Mushalla Ar-Raudhah, Jalan Pedati, Kampung Melayu, Jakarta Timur. Di pengajian yang diadakan setiap Selasa pagi ini, salah satu kitab yang diajarkannya hingga saat-saat terakhirnya adalah Ihya’ Ulumiddin, kitab tasawuf yang sangat termasyhur di dunia Islam karya Al-Imam Al-Ghazali.

Banyak lagi majelisnya yang bertebaran di berbagai pelosok Jakarta. Di antaranya di Masjid Cikini, Jakarta Pusat, di sebuah mushalla di Karet Tengsin, Tanah Abang, di sebuah masjid di daerah Kayumanis, Jakarta Timur, dan lain-lain. Di usia tuanya, ia pun sempat mengajar di Kwitang.

Sebagaimana layaknya ulama di mana saja, Habib Muhammad selalu menekuni dan mengkaji berbagai ilmu keislaman. Tafsir, hadits, dan sejarah adalah bidang-bidang yang sangat disukainya. Ia juga tak membatasi dirinya dengan hanya membaca kitab-kitab dalam madzhab atau aliran tertentu. Karenanya, koleksi-koleksi kitabnya juga mencakup karya-karya ulama dari madzhab atau aliran lain. Sayangnya, sebagian besar koleksinya tak ada lagi. Sebagiannya karena musnah dilalap api ketika terjadi kebakaran di daerah tempat tinggalnya.

Sebagai pribadi dan ulama, ketegasan dan keteguhannya tak pernah hilang sejak muda hingga akhir hayatnya. Ia akan segera menegur atau mengkritik, langsung ataupun tidak langsung, jika ada kesalahan-kesalahan yang dibuat orang, apalagi di hadapannya. Meskipun demikian, kemarahannya tak berlangsung lama, dan cepat meredanya.

Di keluarga pun demikian. Dalam rangka mendidik anak-anaknya, ia selalu menekankan mereka untuk berbicara dalam bahasa Arab. Jika aturan itu atau aturan yang lainnya dilanggar, pukulan tongkatnya akan segera mereka rasakan. Tetapi ternyata anak-anaknya punya cara untuk menghindari atau menghentikan hukumannya. Menghadapi itu, biasanya mereka segera berlindung kepada sang nenek, ibunda Habib Muhammad, yang sangat dihormati dan dituruti olehnya.

Sedangkan di dalam pengajian dan ceramah-ceramahnya, salah satu yang sering dikritiknya dengan keras adalah kebiasaan masyarakat di Jakarta yang suka membakar petasan dalam berbagai acara. Habib Muhammad bin Agil sering menyatakan ketidaksetujuannya dengan kebiasaan ini. Pernah di suatu kesempatan berbicara, ia kritik kebiasaan itu dengan keras. Menurutnya, perbuatan itu sama saja dengan membakar uang, yang hukumnya haram.

Setelah selesai berbicara dan kembali ke tempat duduknya, pembawa acara, yang mungkin ingin menjaga perasaan sebagian orang yang telah terbiasa melakukan itu, mengomentari pendapat beliau. Di antaranya dengan mengatakan bahwa segala sesuatu itu tergantung niatnya. Mendengar itu, spontan Habib Muhammad bangkit dari duduknya ingin kembali berbicara. Kalau saja tak ditahan oleh para tokoh yang lain, mungkin ia akan berbicara lebih keras lagi.

Di samping dikenal sebagai sosok yang teguh, tegas, dan dalam beberapa hal berbeda dengan para ulama pada umumnya, Habib Muhammad bin Agil juga dikenal sederhana. Dalam mengajar atau dalam menghadiri acara-acara, ia jarang memakai jubah dan serban di kepala. Ia lebih suka memakai baju koko dengan mengenakan kain sarung dan berkopiah putih yang biasa.

Menurut penuturan salah seorang muridnya, dalam mengajar Habib Muhammad juga tak mau menerima uang jika uang itu berasal dari kas masjid – sesuatu yang telah lumrah sebenarnya di kalangan ulama pada umumnya. Ia hanya mau menerima jika uang itu berasal dari kantung pribadi salah seorang atau beberapa orang muridnya.

Berbeda dengan kebanyakan ulama lain, Habib Muhammad bin Agil tidak suka dicium tangannya. Meskipun para muridnya berusaha keras untuk menciumnya, ia tetap menarik tangannya. Hanya anak-anaknya yang dapat mencium tangannya. Meskipun mencium tangan ulama dan orang-orang tua lain yang dihormati adalah kebiasaan yang sudah berlangsung lama dan ada dasarnya, Habib Muhammad bin Agil tentu mempunyai alasan tersendiri di balik sikapnya itu.

Habib Muhammad juga tak suka mengadakan haul, baik untuk ayahnya maupun kakeknya, Habib Utsman Bin Yahya. Karenanya, tak perlu heran jika tokoh sebesar Habib Utsman, yang oleh para ahli dipandang sebagai ulama dari kalangan habaib yang paling berpengaruh di Indonesia pada abad ke-19, tak diadakan haulnya. Mungkin pula ada wasiat dari Habib Utsman sendiri mengenai hal itu.

Di masa tuanya hubungannya semakin dekat dengan para tokoh habaib yang lebih tua, di antaranya Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi, Kwitang, Habib Ali bin Husain Al-Attas, Bungur, dan lain-lain. Sedangkan Habib Salim bin Jindan, tokoh yang juga merupakan “Singa Podium” dan “Macan Jakarta”, adalah salah seorang sahabat dekatnya. Konon Habib Muhammad bin Agil yang memintanya datang dari Surabaya ke Jakarta hingga menetap di ibu kota sampai akhir hayatnya.