Hikmah Alawiyah
Image default
Sejarah

Ulama yang Patahkan Pedang

Diceritakan, Ulama ini kemana-mana selalu membawa pedang. Senjata ini seolah-olah menjadi bagian dari dirinya. Kemana pun dia pergi, bahkan pada saat mengikuti pelajaran dari Syeikh ‘Ali bin Ahmad Ba Marwan pun beliau tak melepas pedang dari tangannya. Beliau adalah Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad bin ‘Ali Ba ‘Alawi.

Al-Faqih Al-Muqaddam merupakan putra satu-satunya Habib Ali bin Muhammad Shahib Mirbath. Beliau menurunkan 75 leluhur kaum Alawiyin. Beliau juga merupakan sesepuh Alawiyin yang ada di Asia Tenggara.

Namun setelah menyatakan memasuki dunia kesufian, kebiasaannya itu berubah 180 derajat. Al-Faqih Al-Muqaddam tak hanya menanggalkan pedangnya, bahkan mematahkannya. Ini merupakan simbol beliau tak menyukai kekerasan dan tak pernah mengharapkan kekuasaan.

Al-Faqih Al-Muqaddam mengajak pengikut dan keluarganya untuk lebih memusatkan perhatiannya kepada upaya penyucian hati dengan banyak membaca Al-Quran, shalat malam, puasa Sunnah, menyantuni fakir miskin, janda dan anak yatim. Beliau juga menekankan agar fokus kepada ilmu dan amal.

“Dengan jalan mematahkan hawa nafsu melalui berbagai bentuk mujahadah,” seperti yang dikutip oleh Habib Novel bin Muhammad Alaydrus dalam bukunya yang berjudul “Jalan nan Lurus, Sekilas Pandang Tarekat Bani ‘Alawi”.

Habib ‘Ali bin Husain Al-‘Aththas menjelaskan dalam bukunya Tajul A’ras, ada tiga alasan mengapa. Al-Faqih Al-Muqaddam mematahkan pedangnya.

Pertama, karena beliau mengajak keturunannya untuk menjadi orang-orang mulia di sisi Allah, yaitu dengan memanggul senjata batin. Senjata batin itu biasa disebut dengan saiful qudrah.

Kedua, untuk menghindari kekejian penguasa saat itu. Sebab penguasa saat itu tak segan-segan membunuh siapa saja, dan menyita barang-barang mereka meskipun tak bersalah. Dengan menanggalkan senjatanya maka keturunan beliau akan selamat dan tetap dapat melanjutkan risalah datuknya.

Ketiga, saat ini adalah akhir zaman yang dipenuhi fitnah. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW ketika akhir zaman umatnya diminta menanggalkan senjata. Seperti sabda Rasulullah SAW:

“Akan terjadi berbagai fitnah, orang yang duduk pada saat itu lebih baik daripada yang berdiri. Yang berdiri lebih baik daripada yang berjalan. Yang berjalan lebih baik daripada yang berusaha.”

Hadist ini menunjukkan betapa dahsyatnya fitnah dan anjuran untuk menjauhi fitnah. Dalam riwayat lain yang lebih panjang dari hadist di atas Rasulullah menyampaikan:

“Seseorang hendaknya mengambil pedangnya dan memukul mata pedangnya dengan batu.”

Hadist ini dimaknai secara harfiah, yaitu hendaknya benar-benar memtahkan pedangnya hingga tak terjerumus dalam pertikaian. Namun ada pula yang mengartikan kalimat “memataskan pedang” pada hadist itu hanya sebuah kiasan. Yang maksudnya sesorang harus meninggalkan pertikaian.

Menurut Habib ‘Ali bin Husain Al-‘Aththas, arti pertama itulah yang mendorong Al-Faqih mematahkan pedangnya.

Habib ‘Abdullah bin ‘Alwi Al-Haddad menyebut keputusan Al-Faqih Al-Muqqadam sebagai keputusan yang tepat. Keputusan itu oleh Habib Abdullah Al-Haddad dianggap sebagai sebuah anugerah tiada tara dari Allah SWT bagi Bani Alawi.

“Dua orang yang merupakan anugerah Allah kepada Al Abi Alawi. Pertama, Sayyidina Ahmad bin Isa karena telah membawa mereka berhijrah dari berbagai fitnah dan bid’ah. Kedua, Al-Faqih Al-Muqaddam yang telah menyelamatkan mereka dari memanggul senjata.”

Karena itu, tulis Habib Novel bin Ahmad Alaydrus dalam buku yang sama, hingga kini bani Alawi lebih suka untuk tidak terlibat dalam dunia politik. Sebab mereka lebih fokus untuk mengejar kedudukan sejati, yaitu kedekatan dengan Allah SWT.

Sumber:
Buku: “Jalan Nan Lurus, Sekilas Pandang Tarekat Bani Alawi”, karya Habib Novel bin Muhammad Alaydrus.