Hikmah Alawiyah
Image default
Hikmah Manaqib

Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih Al-Alawy

Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih Al-Alawy lahir pada Selasa 15 Shafar 1316 H/4 Juli 1898 M di Tarim, Hadaramaut, Yaman. Sejak kecil beliau dikenal tekun dalam belajar dan mencari ilmu, bahkan beliau bisa dibilang tangkas dan cerdas dalam menuntut ilmu.

Pada masa mudanya beliau dikenal memiliki perhatian terhadap ilmu. Beliau juga menaruh rasa hormat yang tinggi kepada guru-gurunya. Dalam menuntut ilmu dari guru-gurunya beliau memiliki filosofi “tidaklah dikatakan mengagungkan ilmu bila tidak memuliakan ahli ilmu”.

Dikisahkan, suatu ketika di kala Habib Abdul Qadir menuntut ilmu kepada salah seorang gurunya, ia ditegur dan diperingatkan. Padahal, waktu itu ia dalam posisi yang benar. Setelah mengetahui bahwa Habib Abdul Qadir pada posisi yang benar, sang guru meminta maaf.

Habib Abdul Qadir kemudian menjawab permintaan maaf gurunya, “Meskipun saya benar, andaikan Paduka memukul muka hamba dengan tangan Paduka, tak ada rasa tak terima sedikit pun dalam diri hamba ini.”

Begitulah salah satu contoh keteladanan Habib Abdul Qadir sebagai seorang murid; harus bersopan santun kepada gurunya.

Di antara guru-guru Habib Abdul Qadir adalah Habib Abdullah bin Umar Asy-Syathiri, Habib Alwi bin Abdurrahman Al-Masyhur, Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf, Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdhar, Syekh Muhammad bin Abdul Qadir Al-Kattani, Habib Ali bin Zain al-Hadi, Habib Ahmad bin Hasan Alatas, Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, Syekh Abubakar bin Ahmad Al-Khatib, dan Syekh Abdurrahman Bahurmuz.

Sejak usia kanak-kanak Habib Abdul Qadir sudah hafal Al-Qur’an, bahkan pada usia 16 tahun beliau sudah mendapat ijazah dan berhak untuk memberikan fatwa agama, antara lain dalam bidang hukum, dakwah, pendidikan, dan sosial.

Maka tak salah kiranya jika salah seorang gurunya, Habib Alwi bin Abdullah Bin Syihab mengatakan “Ilmu fiqih marga Bilfaqih setara dengan ilmu fiqih Imam Adzra’iy. Sedangkan dalam bidang tasawuf serta kesusastraan bagai lautan tak bertepi.”

Habib Abdul Qadir mendirikan sejumlah organisasi pendidikan dan sosial di kota Tarim. Di antaranya adalah Jami’yyatul Ukhuwwah wal Mu’awanah dan Jami’yyah An-Nashr Wal Fadha’il.

Setelah itu beliau berdakwah keluar dari kota Tarim. Sebelum sampai ke Indonesia, beliau menyempatkan diri melaksanakan ibadah haji dan berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW. Usai melaksanakan ibadah hajinya, beliau melanjutkan perjalanan dan singgah di beberapa tempat, seperti Aden, Pakistan, India, Malaysia, dan Singapura.

Pada setiap persinggahannya itu Habib Abdul Qadir tak pernah lupa untuk membina umat, baik secara umum ataupun khusus, yaitu di lembaga pendidikan atau majelis taklim.

Pada usia 23 tahun beliau mendarat di Surabaya, dan langsung diangkat sebagai direktur Madrasah Al-Khairiyah. Sekitar 13 tahun kemudian beliau mendirikan Madrasah Ar-Rabithah di Solo.

Kemudian pada 12 Pebruari 1945 beliau mendirikan Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah dan perguruan tinggi di kota Malang, Jawa Timur. Beliau juga pernah mengajar di IAIN Malang pada 1960 untuk mata kuliah tafsir.

Habib Abdul Qadir memiliki sejumlah keistimewaan, di antaranya beliau ahli ilmu nahwu, sharaf, dan badi`. Di bidang hadits, beliau menguasai bidang riwayat, dirayah, dan hafal ribuan hadits.

Beliau juga banyak mendapat hadits musalsal, yaitu riwayat hadits yang tersambung langsung kepada Rasulullah SAW yang disampaikan para perawi secara berurutan dan sama dalam keadaan dan situasi tertentu, baik secara perbuatan maupun perkataan. Hadits-hadits tersebut beliau peroleh melalui saling bertukar isnad atau periwayatan hadits dengan Sayyid Alwi bin Abbas Al-Maliki ketika beliau berkunjung ke Mekkah.

Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih juga mendirikan lembaga pendidikan di sejumlah wilayah, antara lain Pendidikan Guru Agama di Sawangan, Bogor, Jawa Barat dan Madrasah Darussalam, Tegal, Jawa Tengah.

Habib Abdul Qadir wafat pada 21 Jumadal Akhirah 1382 H/19 November 1962 M dalam usia 64 tahun. Saat mendekati wafat beliau berkata kepada putra tunggalnya, Habib Abdullah, “…Lihatlah, wahai anakku. Ini kakekmu, Nabi Muhammad SAW datang. Dan ini ibumu, Sayyidatuna Fatimah, datang…”

Ribuan orang melepas kepergian sang permata ilmu yang mumpuni ini. Beliau disemayangkan di Masjid Jami’ Malang, dan selanjutnya dimakamkan di kompleks makam Kasin, Malang, Jawa Timur.

*Sumber: Majalah Alkisah No. 06/13-26 MAR 2006, Rubrik “Manakib Salaf”