Hikmah Alawiyah
Image default
Hikmah Manaqib

Habib Hasan bin Muhammad Baharun Bondowoso

Habib Hasan bin Muhammad Baharun Bondowoso berpenampilan sederhana, layaknya pria-pria muslim lainnya di wilayah Jawa Timur, hanya mengenakan kopiah, baju koko, dan sarung. Jika tak mengenal beliau dengan baik, maka orang pastilah akan menganggap beliau sebagai anggota masyarakat biasa dan bukan siapa-siapa. Padahal beliau adalah ulama besar yang disegani.

Pria berkulit putih dengan kacamata tebal itu adalah Habib Hasan bin Muhammad Baharun Bondowoso. Beliau lahir di Gresik, Jawa Timur, tahun 1915. Ayahanya Habib Muhammad bin Ahmad Baharun adalah seorang da`i. Sementara rumah tempat dia tinggal tak jauh dari kediaman Habib Abubakar Assegaf, yaitu tempat yang kerap ia kunjungi pada saat ada acara majelis rauhah.

Beliau dibesarkan di keluarga dan lingkungan yang religius, sehingga membentuk pribadi yang religius pula pada dirinya. Hal ini dapat dilihat dari betapa tekun beliau beribadah dan selalu haus akan ilmu-ilmu agama. Selain mendapat didikan dari ayahnya sendiri, Habib Hasan sejak belia sudah aktif di Madrasah Al-Khairiyah, Surabaya. Madrasah itu merupakan salah satu madrasah tertua di zamannya. Banyak ulama yang lahir dari madrasah itu.

Di Al-Khairiyah, Habib Hasan kecil dididik oleh para guru yang didatangkan khusus dari Timur Tengah, seperti Syaikh Rabah Hasuna Al-Khalili dari Mesir dan Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih dari Hadramaut, Yaman. Bahasa pengantar di Al-Khairiyah adalah Bahasa Arab, maka wajar bila Habib Hasan sudah mahir berbahasa Arab sejak muda.

Tak hanya menimba ilmu dari para gurunya di Al-Khairiyah, Habib Hasan juga belajar dari buku-buku, bahkan beliau dikenal juga sebagai kutu buku. Tak hanya buku agama, buku-buku umum juga beliau lahap setiap hari. Kegemarannya membaca buku ini juga didukung dengan ingatannya yang kuat. Maka tak heran jika salah seorang gurunya, Habib Hamid bin Ghalib Al-Hamid, sempat menjulukinya sebagai abqari yang artinya si “jenius”.

Pada usia 15 tahun ia sudah dipercaya untuk menjadi ustadz, meskipun masih harus mendapat pengawasan dari guru-gurunya. Sejak saat itu hari-harinya disibukkan dengan pekerjaan yang dicita-citakannya, yaitu mengajar. Hampir tak ada pekerjaan lain yang ia tekuni selain mengajar.

Sejumlah lembaga pendidikan tempat beliau mengajar antara lain Madrasah Al-Islamiyah di Bangil, Pasuruan, dan Madrasah Al-Khairiyah di Banyuwangi. Beliau juga cukup lama mengajar di Madrasah Al-Khairiyah di Bondowoso.

Di samping terus mengajar di lembaga-lembaga pendidikan, Habib Hasan mulai berdakwah di masjid-masjid, dari satu tempat ke tempat lain, hingga ke wilayah pelosok. Tercatat, puluhan majelis ta’lim di Bondowoso dan di beberapa daerah lain berada di bawah asuhannya.

Ketika usianya sudah lanjut dan banyak dari teman sebayanya yang pensiun, Habib Hasan tidak. Beliau tetap gigih berjalan di medan dakwah untuk mendidik dan mencerahkan umat.

Selanjutnya, dengan kepakarannya dalam bahasa Arab, ushul fiqih, dan tafsir, Habib Hasan bin Muhammad Baharun Bondowoso dipercaya menjadi tenaga edukatif luar biasa di Lembaga Kader Fuqaha atau yang dikenal dengan Ma’had Aly, Institut Agama Islam Ibrahimy (IAII), Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo. Yang terakhir adalah sebuah lembaga pendidikan yang diasuh oleh KH. As’ad Syamsul ‘Arifin, sesepuh dan mustasyar ‘am NU.

Selain mengajar dan berdakwah, Habib Hasan juga produktif menulis. Selama masa hidupnya beliau menulis sejumlah buku, di antaranya Islam Esensial Kajian Membumikan Sunnah Rasulullah, Tasawuf dalam Perpektif Islam, Tasawuf Ritual Tasawuf Sosial, Ayah Bunda Nabi, Insan Kamil (terjemahan), dan masih banyak lagi buku beliau yang belum sempat diterbitkan. Selain itu ada juga beberapa karyanya yang hanya diterbitkan untuk kalangan terbatas. Yaitu, berupa materi pelajaran, bahan kuliah umum, makalah seminar, serta kumpulan syair dalam Bahasa Arab yang berisi pujian kepada Rasulullah SAW.

Dari karya-karyanya itu terlihat jelas luasnya pengetahuan dan wawasan yang dimiliki Habib Hasan. Tak hanya tentang bahasa Arab, fiqih, dan tafsir, namun beliau juga seorang yang mumpuni dalam bidang tasawuf.

Tak heran jika ulama besar sekelas Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Mekkah memberikan apresiasi khusus kepada Habib Hasan. Terutama terkait kepiawaian Habib Hasan menggubah syair dalam Bahasa Arab. Apresiasi itu disampaikan Al-Maliki ketika memberikan sambutan dalam peringatan “Temu Sastra Arab” pada 1980. Sampai-sampai Al-Maliki menjuluki Habib Hasan “Kamus Berjalan”. Sampai Al-Maliki mengundang Habib Hasan sebagai tamu kehormatan kapan saja beliau ingin datang.

Habib Hasan semasa hidupnya lebih banyak menetap di Bondowoso Jawa Timur. Beliau tak hanya dikenal sebagai seorang guru bagi murid-muridnya tapi juga sebagai orangtua bagi masyarakat Bondowoso dan sekitarnya. Setiap hari rumahnya tak pernah sepi dari para tamu yang datang dari berbagai wilayah dan ragam profesi.

Habib Hasan wafat pada Sabtu, 28 Agustus 2010/18 Ramadhan 1431 H di RSD Dr. Soebandi, Jember. Setelah beliau wafat, terungkap dari penuturan banyak orang, meski Habib Hasan dan istrinya hidup sederhana di rumahnya yang bersahaja, melalui orang lain ia sering membantu urusan finansial beberapa janda tetangga dengan diam-diam.

*Sumber: Majalah ALKISAH NO.21/18 -31 OKT. 2010