Hikmah Alawiyah
Image default
Kitab/Buku Baru

Dalam Beragama, Malu adalah Kunci

Rasa malu kerap kali muncul jika ada kekurangan atau diri merasa hina di hadapan orang lain. Akibatnya, tingkah kita akan menjadi canggung bahkan menjadi tertawaan dan olok-olok orang-orang. Pengalaman atas rasa malu itu sering membekas dan terus terbawa dalam kehidupan kita hingga kita bersumpah tak akan mengulangi hal yang dianggap memalukan tadi.

Sayangnya rasa malu itu kadang ditempatkan saat kita berlaku beda dengan norma-norma golongan, masyarakat, atau pertemanan. Namun bukan ditempatkan dalam perkara-perkara syariat dalam beragama. Akibatnya rasa malu muncul ketika banyak orang di sekitar kita melakukan sesuatu sementara kita tidak, meskipun sesuatu yang banyak orang lakukan itu bertentangan dengan syariat Islam.

Al-Allamah al-Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafizh menyebutkan bahwa hal seperti di atas bukanlah sifat malu tapi pengecut dalam beragama. Sebab sifat malu menurut beliau hakikatnya adalah dari kebaikan, karena sifat malu tak akan muncul kecuali dalam suatu kebaikan.

Sifat malu harusnya muncul ketika seseorang meninggalkan syariat Allah SWT. Sebab malu seharusnya ditujukan kepada Allah dan bukan kepada manusia. Sehingga saat kita meninggalkan syariat atau menentang seruan Allah seharusnya pada saat itu rasa malu muncul, meskipun pada saat itu mungkin banyak orang yang bersama kita meninggalkan syariat itu.

Habib Umar menerangkan bahwa sifat malu itu muncul pada diri seseorang karena kesungguhannya menghadapkan diri kepada Allah SWT dan meninggalkan hal-hal yang tak diridhai-Nya. Sebab menusia, lanjut beliau, lebih wajib malu kepada Allah SWT daripada kepada manusia. Itu jika menyadari hakikat sifat malu yang sebenarnya.

Munculnya sifat malu itu karena meninggalkan seruan Allah SWT, maka rasa malu itu juga akan terpatri dalam ingatan panjang kita. Sehingga di hari-hari berikutnya kita tak akan membuat diri ini malu dengan meninggalkan perintah Allah dan akan melaksanakan perintah-Nya dengan sungguh-sungguh.

Beliau kemudian mencontohkan seseorang yang malu bertanya tentang ilmu yang tak diketahuinya. Padahal ia memerlukan jawaban dan fatwa dari seorang ulama untuk menjawab persoalannya. Namun ia memilih diam dan mengatakan “aku malu”. Contoh itu, menurut Habib Umar bukanlah hakikat dari sifat malu. Sebab ia seharusnya lebih malu kepada hukum-hukum syariat yang tak diketahuinya hingga tak dilaksanakan daripada malu untuk bertanya tentang hal itu kepada seorang ulama.

Hakikatnya sifat malu adalah terpuji. Yaitu jika malu meninggalkan syariat dan perintah Allah SWT. Sayangnya, kadang-kadang menurut Habib Umar banyak orang salah kaprah mengartikan rasa malu sehingga tak bisa membedakan antara sifat malu dan pengecut.

*Sumber: Buku Habib Umar Bin Hafizh Menjawab