Hikmah Alawiyah
Image default
Kolom Mahya

Mempertahankan Pencapaian Taubatan Nashûhâ

“Sedikit tetapi berkesinambung lebih disukai Allah daripada banyak yang hanya sesekali”

Selama bulan puasa, sekian banyak aktivitas positif yang kita lakukan. Sekian banyak pula kebiasaan lama yang kita tinggalkan. Kesadaran akan kesalahan dan dosa pun telah kita “bisikkan” kepada Allah disertai dengan tekad untuk tidak mengulanginya. Itu semua dalam rangka menyucikan dan mengembangkan daya-daya positif kita sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya.

Banyak pelajaran yang kita raih dari Ramadhan. Ia telah mengajar kita dan kita pun telah buktikan bahwa apa yang pada mulanya terasa berat, dari hari ke hari semakin ringan dan ringan hingga tidak lagi terasa beratnya.

Melalui puasa juga kita buktikan bahwa nafsu bagaikan bayi. Memang pada mulanya ia meronta ketika akan disapih, tetapi jika ibu berkeras, pada akhirnya sang bayi menerima lalu melupakan tuntutannya.

Puasa juga membuktikan bahwa jiwa kita setelah berhasil menahan tuntutan nafsu—jiwa kita itu—memperoleh kenikmatan ruhani yang amat menyenangkan, melebihi kesenangan dan kenikmatan jasmani. Memang demikian itulah jiwa manusia sehingga anak-anak di bawah umur pun merasakannya, sampai-sampai tidak jarang mereka tetap berkeras untuk berpuasa kendati ibu bapaknya melarangnya.

Selama Ramadhan kita merasa telah menemukan kembali fitrah kita, yang merupakan potensi spiritualitas yang dapat mengantar manusia menyadari kesalahannya dan mengakuinya, serta mendorongnya berhubungan dengan Zat Yang Mahatinggi itu.

Namun, setelah Ramadhan berlalu dan bulan Syawal datang, kita dituntut untuk mempertahankan pencapaian kita. Ini adalah tantangan yang tidak ringan karena mempertahankan prestasi lebih sulit daripada meraihnya. Bahkan tantangan dapat menjadi lebih besar jika kita menarik pesan dan kesan dari makna harfiah syawwâl. Nama bulan ini terambil dari akar kata syâla yang berarti mengangkat atau meningkat. Seakan-akan bulan yang datang sesudah Ramadhan itu adalah bulan peningkatan aktivitas positif serta kualitas pribadi, bukan sekadar bulan mempertahankan pencapaian.

Kegiatan positif yang selama ini kita lakukan, bahkan fitrah yang kita temukan kembali itu, harus diasah dan diasuh serta dikembangkan agar manusia tidak mereduksi kemanusiaannya dan tidak menyia-nyiakan potensinya.

Jangan mengeluhkan buruknya lingkungan atau menjadikannya dalih, tetapi ciptakan lingkungan baru yang sehat. Baca dan tontonlah yang bermanfaat. Pilihlah teman sejawat yang mau menegur dan membimbing. Tinggalkan keburukan dan tingkatkan amal dan pengabdian. Tidak harus yang besar, yang kecil pun jadilah.

Berpagi-pagi Rasul saw. mengajarkan bahwa sedikit tetapi bersinambung lebih disukai Allah daripada banyak yang hanya sesekali. Tidak usah amalan sunnah yang sulit, menyingkirkan secuil sampah, bersedekah sebiji buah, bahkan senyum pun jadilah. Sebarkanlah salam/kedamaian kepada yang dikenal dan tidak dikenal. Ucapkanlah Subhanallah saat Anda menemukan keindahan, Alhamdulillah saat merasakan nikmat, Allahu Akbar ketika bertemu dengan kebesaran Allah, demikian seterusnya. Islam tidak menuntut banyak, bahkan tidak membebani yang berat, karena memang Allah swt. tidak menghendaki sedikit kesulitan pun bagi hamba-hamba-Nya, bahkan sebaliknya menghendaki kemudahan (QS. al-Baqarah [2]: 185 dan al-Mâ’idah [5]: 6). Rasul saw. pun berkali-kali mengingatkan perlunya memilih yang ringan, yang tentu saja hendaknya berkualitas, ketimbang yang berat.

Itu sedikit dari banyak kiat yang dapat kita lakukan untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas pribadi kita dan menjadikan tobat kita pada bulan Ramadhan itu Taubatan Nashûhâ. Pernahkah Anda tahu ada susu yang telah diperah dikembalikan lagi atau dapat kembali ke tempatnya sebelum diperah? Tidak, bukan? Demikian itulah dosa yang telah dikerjakan tidak akan terulang kembali, layaknya susu yang telah diperah itu. Demikian makna Taubatan Nashûhâ. Wa Allâh A’lam.

*Sumber: http://quraishshihab.com