Hikmah Alawiyah
Image default
Kolom Mahya

Moderat Yang Fanatik

Oleh: Abdillah Toha

Sebuah paradoks. Kelompok moderat secara definisi adalah lawan dari kaum fanatik dan ekstrimis. Mirip dengan mengatakan kelompok toleran yang tidak toleran (intoleran). Fanatik artinya semangat yang berlebihan dan kaku dalam mempertahankan pendiriannya yang seringkali dihubungkan dengan keyakinan agama dan ideologi. Semangat berkacamata kuda.

Ada lagi istilah lain yang paradoksikal seperti fundemantalisme liberal. Liberal adalah lawan dari konservatif. Liberal bersikap terbuka terhadap segala pandangan baru dan bila perlu dengan mencemooh semua tradisi yang dijunjung kelompok konservatif. Sedang seorang fundamentalis menolak apapun yang berada diluar prinsip yang diyakininya. Jadi fundamentalis liberal itu sering diartikan sebagai penolakan secara fanatik segala sesuatu yang menyimpang dari kebebasan berpikir dan berubah.

Tulisan dibawah ini akan membahas sebuah paradoks yang mungkin kita butuhkan saat ini. Meski mungkin sifatnya sementara sampai situasi terkendali, kembali normal, dan sehat. Sebutlah sebuah langkah darurat. Seperti menghalalkan mencuri milik kita yang dicuri orang karena melaporkannya kepada pihak berwenang ternyata tidak efektif.

Kita semua sadar bahwa kelompok ekstrimis di negeri kita dan dimana-mana hanyalah minoritas kecil. Namun, dengan penduduk 270 juta, 2 persen saja sudah berarti lebih dari 5 juta orang. Jangankan jutaan, seribu orang saja yang radikal ekstrimis bisa membuat kegaduhan luar biasa. Dan ini disadari oleh mereka yang merancang kekisruhan dengan tujuan tertentu.

Jumlah kecil itu juga lebih mudah untuk digalang. Kelompok ini sangat terorganisasi, militan, dan vokal. Suara dan gerakannya terdengar dan tersebar ke mana-mana. Memberi kesan seakan merekalah yang mayoritas. Yang terjadi kemudian adalah ‘bandwagon effect’, yakni para pembonceng yang melihatnya sebagai gambaran bahwa kelompok merekalah yang besar dan akan berhasil dalam perjuangannya. Ini kemudian membengkak dan berpotensi menarik pengikut baru yang ingin menjadi bagian dari kelompok yang “menang”.

Lawannya, kelompok moderat, dari sifatnya memang tidak suka kegaduhan. Meski jumlahnya jauh lebih banyak, mereka lebih suka dan lebih cenderung diam. Juga karena jumlahnya yang besar dan beragam tidak mudah untuk menggerakkan mereka. Kelompok ini juga lengah dan meremehkan kekuatan radikal. Mereka berpikir ini hanya fenomena sementara dan pada waktunya akan hilang dari pentas sosial, politik, dan keagamaan.

Jelas bahwa kelompok radikal ekstrimis adalah kelompok yang fanatik. Tidak mentoleransi siapa pun yang berbeda keyakinan dengan mereka. Ajarannya sangat mudah merasuk ke benak awam. Tidak rumit. Pilihan antara hitam dan putih. Sorga atau neraka.

Sebaliknya kelompok moderat. Kelompok ini karena sangat toleran terhadap perbedaan pandangan, ajarannya lebih rumit dan lebih sulit ditangkap oleh awam karena spektrum warnanya yang terbentang luas. Pilihannya bukan benar atau salah, baik atau buruk, tetapi mungkin benar atau mungkin salah, sangat baik, baik, agak baik, agak buruk, buruk, atau sangat buruk. Karenanya, mencari pengikut baru apalagi menggerakannya tidaklah semudah kelompok ekstrimis.

Yang gagal dipahami oleh kelompok moderat adalah kenyataan bahwa moderasi dan toleransi itu sebenarnya bukan tidak berbatas. Batas dari toleransi adalah intoleran (tidak toleran) di pihak lawan. Batas dari moderasi adalah penggunaan paksaan dan kekerasan dari kelompok lain yang berbeda pandangan. Batas dari kelompok moderat dan toleran adalah penghalalan cara oleh kelompok radikal ekstrimis.

Dari sebab semua itu, dalam “perang” melawan kelompok radikal ekstrimis yang bila dibiarkan akan menghancurkan sendi-sendi bernegara yang diwariskan oleh founding fathers kita, harus dibangun dan dikembangkan semacam fanatisme kelompok moderat. Dalam arti sebuah kesadaran total bahwa satu-satunya jalan untuk menyelamatkan negeri ini adalah dengan tidak memberikan keleluasaan sedikitpun kepada ekstrimis untuk menyebarkan keyakinannya yang merusak.

Seorang negarawan Inggris pada abad ke 18 mengatakan “The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing.” Artinya, untuk bisa bertahan dan langgeng, kejahatan hanya memerlukan diam dan tidak pedulinya orang baik.

Diperlukan fanatisme untuk tidak diam. Kaum moderat harus bergerak dan bersuara vokal, militan, dan terorganisasi. Fanatisme untuk menolak intoleransi dan pemaksaan kehendak dalam segala bentuknya. Fanatisme untuk memastikan bahwa moderasi dan jalan tengah adalah satu-satunya jalan untuk kehidupan yang beradab. Dengan kata lain, fanatisme positif untuk menggusur fanatisme negatif.

Fanatisme yang diperlukan sekali kali bukan dalam bentuk penggunaan kekerasan, baik verbal apalagi fisik. Fanatisme yang dimaksud adalah membangun kesadaran, kemauan keras, konsistensi, kerjasama, pengorbanan, dan gerakan yang sistematis bagi menumpas gagasan-gagasan buruk dan gerakan- gerakan yang merusak dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang universal.

Masyarakat moderat tidak bisa bergantung kepada penguasa yang seringkali gagal menaruh permasalahan ini pada skala prioritas yang tinggi. Disamping itu, pemerintah dimanapun juga tidak lepas dari kebiasaan berkompromi serta tekanan dari berbagai kepentingan faksi-faksi politik yang cara pandang dan langkahnya sering didikte oleh kepentingan jangka pendek.

Bagaimana membangun masyarakat moderat yang tidak diam dan pasif? Apakah harus menunggu sampai korban lebih banyak jatuh atau kondisi sudah parah sehingga terlambat dan negeri menjadi porak poranda seperti yang kita saksikan di beberapa negeri lain? Tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Mungkin diperlukan munculnya seorang Gandhi, atau Nelson Mandela, atau Martin Luther King Indonesia sebelum kelompok moderat bisa bangun dari tidurnya yang lelap. Wallah a’lam.

*Sumber: IslamIndonesia
Foto: Atypeek via Getty Images