Hikmah Alawiyah
Image default
Kolom Mahya

Sayyid `Abbas Al-Maliki Tunas-Tunasnya Tetap Tumbuh

Di awal-awal abad ke-20, ada seorang ulama terkemuka di Makkah yang terus-menerus mengikuti perkembangan pelajaran anaknya dan selalu mendiskusikan materi-materi yang dipelajarinya. Ia pilihkan guru-guru terbaik untuknya. Tak ada pula dalam kamusnya kata jemu untuk selalu mendengarkan sang anak menghafal kitab-kitab matan (kitab-kitab inti yang belum diberi syarah) yang sedang ditekuninya.

Untuk memberikan dorongan kepada sang anak, berkali-kali ia mengatakan, “Ijazah seseorang adalah ilmunya dan manfaat yang diberikannya kepada orang lain.” Itulah sebagian usahanya. Namun, betapapun besarnya harapan orangtua dan apa pun yang dilakukannya, jika Allah tak menghendaki, keinginan itu tetap akan jauh dari kenyataan. Menyadari hal tersebut, sang tokoh ulama ini tak hanya melakukan usaha-usaha lahir. Dengan penuh kesungguhan ia pun bermohon kepada Allah agar Dia menyenangkan hatinya dengan halaqah anaknya di Masjidil Haram. Harapannya, di suatu saat kelak ia dapat menghadiri halaqah-halaqah anaknya dalam sebuah majelis ilmu yang membanggakannya. Itulah yang didambakannya.

Doa yang paling banyak diucapkannya adalah Allahumma ashlih dzurriyati wahdihim ila sabilir-rasyad (Ya Allah, baguskanlah keturunanku dan berilah mereka petunjuk ke jalan yang benar). Doanya tak sia-sia. Allah mengabulkan permohonannya dan menyenangkan hatinya.

Tahun 1347 H, anaknya yang baru berusia 20 tahun telah menjadi pengajar di Madrasah Al-Falah dan diberikan izin mengajar di Masjidil Haram, sebuah kedudukan yang istimewa. Anak ini mengadakan halaqah di Babus Salam, yang dipenuhi penuntut ilmu. Hal itu membuat sang ayah bersyukur kepada Allah dan selalu menghadiri pelajaran yang diberikan anaknya. Karena gembira dan rasa syukurnya, ia selalu berada di samping sang anak dan mendampinginya di setiap majelis-majelis yang diselenggarakannya. Baik di Masjidil Haram maupun di rumahnya dan di majelis-majelisnya yang khusus.

Siapakah kiranya tokoh ulama yang berbahagia ini, dan siapa pula anaknya yang menyenangkan hatinya itu? Tak lain, dialah Sayyid Abbas bin Abdul Aziz bin Abbas Al-Maliki Al-Idrisi Al-Hasani, ulama terkemuka di Makkah sejak paruh kedua abad ke-19 hingga awal-awal abad ke-20 Masehi (akhir-akhir abad ke-13 hingga paruh pertama abad ke-14 Hijriyyah). Namanya tercatat dalam semua sumber yang memuat para ulama Makkah abad ke-14 Hijriyyah. Tokoh ini juga menjadi salah satu tumpuan para ulama kita yang belajar di sana.

Sedangkan anak yang dimaksud adalah putranya, Sayyid Alwi bin Abbas Al-Maliki, yang juga menjadi tokoh besar kecintaan umat dan kebanggaan keluarga. Setelah Sayyid Alwi wafat, putranya, Sayyid Muhammad bin Alwi, menjadi penggantinya. Tokoh ini juga membanggakan, dan sangat akrab di telinga kita.

Uraian berikut mencoba menghadirkan sekelumit perjalanan kehidupan Sayyid Abbas setelah kita mengenal kehidupan anak dan cucunya. Bahan-bahannya dihimpun dan diterjemahkan dari Siyar wa Tarajim (halaman 163-165), sebuah karya Syaikh Umar Abdul Jabbar. Kitab ini memuat riwayat hidup para tokoh ulama Makkah abad ke-14 Hijriyyah (tahun 1800-an Masehi). Selain itu dilengkapi juga dari kitab Lawami` an-Nur, kitab tentang tokoh-tokoh Hadhramaut (halaman 278-279), dan beberapa sumber lainnya.

Pemburu Ilmu
Sayyid Abbas lahir di Makkah pada tahun 1270 H, dan di kota suci ini pula ia dibesarkan. Ia berasal dari keturunan ulama dan hidup di lingkungan ulama pula. Sejak kecil Sayyid Abbas telah mulai menghafal Al-Quran kepada Syaikh Ali Al-Ghazawi dan dapat menghafalkannya di usia 15 tahun.

Kemudian ia belajar dan menghafal sejumlah kitab matan kepada ayahnya dalam berbagai disiplin ilmu. Seperti tajwid, qira’at, ilmu kalam, faraidh, dan ilmu bayan. Kurang lebih dua tahun Sayyid Abbas menimba ilmu dari sang ayah.

Sejak kecil ia dikenal sangat serius dalam belajar. Kesabarannya dalam mengejar ilmu, sulit dicari bandingnya. Wajarlah jika ia hafal Al-Qur’an dan berbagai kitab matan di usia sangat muda. Sayyid Abbas menghafalkan matan al-Ajurumiyyah dan Alfiyyah kepada Sayyid Umar Syatha dan menghadiri halaqah pelajarannya di Masjidil Haram. Ia juga belajar membaca kitab-kitab nahwu, sharaf, dan ilmu kalam kepadanya. Sedangkan kepada Sayyid Abu Bakar Syatha (Sayyid Bakri Syatha), pengarang I`anatuth-Thalibin, kitab fiqih rujukan yang sangat termasyhur, ia belajar membaca syarah-syarah kitab Alfiyah Ibnu Malik, Shahih al-Bukhari, Irsyad asy-Syari karya Al-Qasthalani, asy-Syifa karya Al-Qadhi `Iyadh, Ihya’ Ulumiddin karya Al-Ghazali, dan sebagainya.

Rasa hausnya akan ilmu membuatnya selalu mencari guru. Maka ia pun menghadiri majelis Syaikh Muhammad `Abid, yang kemudian menjadi salah seorang guru utamanya. Kepada mufti Malikiyah ini ia belajar membaca sejumlah kitab fiqih Maliki, ilmu bayan, sharaf, faraidh, mantiq, dan kitab-kitab hadits. Tidak cukup hanya itu. Ia juga membaca kitab tentang faraidh, falaq, bahkan ilmu teknik, kepada Syaikh Muhammad Yusuf Khayyath. Itulah sebagian kisah perburuan ilmunya.

Setelah cukup bekal ilmu yang dimiliki, ia menghabiskan sebagian besar waktu dalam kehidupannya untuk mengajar dan berdakwah. Pengabdiannya di Masjidil Haram dimulai tahun 1309 H setelah diberikan izin mengajar oleh guru-gurunya. Banyak pelajar di Masjidil Haram yang belajar kepadanya, termasuk anaknya sendiri yang telah dikisahkan di atas. Sayyid Abbas juga menjadi imam dan khatib di Masjidil Haram, sebagaimana juga ayahnya, Abdul Aziz, kakeknya, Abbas, dan saudaranya, Abdul Aziz. Selain di masjid, ia pun mengajar murid-muridnya di rumah, sebagaimana kebiasaan banyak ulama lainnya.

Di masa Syarif Husain memerintah Hijaz (sebelum masa Dinasti Sa`ud), Sayyid Abbas menjadi anggota Dewan Pengajaran. Kemudian Syarif Husain mengutusnya ke Habsyah (Ethiopia) untuk membangun masjid bagi kaum muslimin di sana.

Melalui tangannya, sejumlah penganut Nasrani di Habsyah memeluk Islam. Beberapa kali berlangsung diskusi antara dirinya dan pendeta-pendeta di sana. Kisah perjalanan dan pengalamannya di Habsyah ia tulis dalam sebuah karya berjudul ar-Rihlah ila al-Habasyah. Setelah itu ia ke Baitul Maqdis dalam rangka pembangunan Kubah Shakhrah dan Masjid Al-Aqsha. Sejumlah uang yang terkumpul dari para donatur ia bawa untuk tujuan ini. Sekembalinya dari tugas-tugas di luar negeri, Sayyid Abbas ditetapkan sebagai kepala Dewan Pengajaran.

Pergantian pemerintahan di tanah Hijaz tidak membuat karir dan pengabdiannya berakhir. Di masa Dinasti Sa`ud, Sayyid Abbas diangkat sebagai anggota Majelis Syura dan menjadi kepala Mahkamah Rendah. Selanjutnya menjadi qadhi pada Mahkamah Tinggi.

Sayyid Abbas dikenal sebagai sosok yang serius dan amanah dalam bekerja. Setiap tugas yang dipercayakan kepadanya, ia jalankan dengan ikhlas, sungguh-sungguh, menghindari kepentingan pribadi, jauh dari riya’, serta menjaga kemuliaan dan harga diri. Kehidupan Sayyid dipenuhi berbagai aktivitas kebaikan bagi banyak orang. Ia tidak membeda-bedakan orang besar dan orang kecil, kaya dan miskin, orang terhormat maupun rakyat jelata.

Dengan para ulama, Sayyid Abbas menjalin hubungan sangat baik, apalagi yang berasal dari kalangan Alawiyin. Sebagai sesama dzurriyyah Rasulullah, ia sangat mencintai dan menghormati mereka. Habib Abubakar bin Abdullah Al-Attas, Habib Ahmad bin Hasan Al-Attas, Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi (shahib Maulid Simthud Durar), dan tentu sang ayahanda, Habib Muhammad bin Husain Al-Habsyi, adalah sebagian tokoh Alawiyin yang akrab dengannya.

Bertetangga dengan Rumah Allah
Syaikh Umar Abdul Jabbar, dalam kitabnya, sebagaimana disebutkan di atas, mengisahkan pengalamannya menghadiri majelis Sayyid Abbas dalam pelajaran hadits. Ketika itu yang menjadi muqri (pembaca kitab) adalah anaknya sendiri, Sayyid Alwi.

Hadits yang dibaca saat itu adalah, “Sesungguhnya Allah memuliakan Makkah pada saat menciptakan langit dan bumi.” Setelah muqrinya selesai membaca, ia memberikan penjelasan sebagai berikut, “Ya Sayyidi… ini adalah negeri Allah di mana Dia memerintahkan nabi-Nya, Ibrahim, membangun rumah-Nya dan menjadikannya sebagai kiblat bagi kaum muslimin. Dia juga mewajibkan haji bagi orang yang mampu dan menjadikannya sebagai tempat tinggal bagi Ibrahim dan Ismail, tempat turunnya wahyu, dan tempat muculnya keimanan.

Ketika diutus dan kemudian hijrah ke Madinah, Rasulullah berjuang di jalan Allah untuk meninggikan kalimat-Nya dan menyebarkan agama-Nya sampai sempurna kemenangan dengan dibebaskannya Makkah dan disucikannya ia dari kotoran orang-orang musyrik dan berhala-berhala mereka.

Ya Sayyidi… sesungguhnya Allah telah memberikan kepada kita bertetangga dengan rumah-Nya yang di dalamnya itu pahala kebaikan dilipatgandakan sebagaimana dilipatgandakan pula dosa keburukan. Menjadi kewajiban kita untuk memperhatikan hak bertetangga dengan-Nya dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.

Ya Sayyidi… bertaqwalah kepada Allah, dan jagalah hati agar tidak lalai kepada-Nya, di negeri-Nya. Dan sembahlah Dia dengan ikhlas, agar engkau termasuk orang-orang yang selamat.

Ya Allah… tambahkanlah kemuliaan, keagungan, kewibawaan, dan kebaikan kepada rumah-Mu ini.”

Demikianlah sebagian keterangan Sayyid Abbas ketika mensyarahkan setiap hadits yang dibaca oleh putranya, Sayyid Alwi, dengan pensyarahan-pensyarahan yang jelas dan bermanfaat sampai selesainya pelajaran dengan mengucapkan Wallahu a`lam. Setelah itu ia mengangkat kedua tangannya, berdoa bagi dirinya dan murid-muridnya.

Selain memiliki banyak murid, Sayyid Abbas pun meninggalkan karya yang cukup banyak dalam berbagai disiplin ilmu, seperti ilmu bayan dan ilmu fiqih.

Begitulah kehidupan dari pribadi yang tenang, berwibawa, cerdas, baik hati, murah senyum, dan manis tutur katanya ini, yang penuh dengan segala sesuatu yang bermanfaat. Ia telah banyak berbuat untuk mengabdi kepada agama, tanah air, dan kaumnya.

Puluhan tahun sudah Sayyid Abbas mengabdikan dirinya untuk kepentingan Islam dan kaum muslimin. Ribuan murid telah mengambil dan merasakan manfaat ilmu darinya. Beberapa karya pun telah lahir lewat penanya.

Setelah itu semua, dan setelah ia menyaksikan penyejuk matanya, Sayyid Alwi, benar-benar telah memenuhi harapannya, pada tahun 1353 H ia pun pergi menghadap Tuhannya dalam usia cukup lanjut, 83 tahun menurut hitungan Hijriyyah. Ia wafat di kota kelahirannya, Makkah, dan dimakamkan di Al-Hajun.