Hikmah Alawiyah
Image default
Sejarah

HABIB ALI KWITANG dan KEMERDEKAAN RI

Habib Ali bin Abdurrahman Al Habsyi atau lebih sering dikenal Habib Ali Kwitang,  hidup dalam rentang waktu 1869 M hingga 1968 M. Beliau, merupakan satu dari sekian banyak ulama yang menjadi saksi sekaligus mendukung penuh kemerdekaan Indonesia.

Bersama dua sahabatnya, Habib Ali Husein Alatas (Habib Ali Bungur) dan Habib Salim Jindan (kakek dari Habib Jindan Novel) yang kemudian dikenal sebagai “Tiga Serangkai” ulama Betawi, bahu-membahu menyebarkan syiar Islam di tanah Betawi dengan amalan-amalan para salafushsholeh seperti membaca maulid, ratib, yasin dan tahlil, melaksanakan Khataman Bukhari, hingga amalan-amalan puasa sunnah selain puasa wajib Ramadhan.

Membaca Maulid Simthud Durar merupakan salah satu tradisi ratusan tahun yang sampai kini masih dilaksanakan di Masjid Ar Riyadh, Kwitang. Masjid peninggalan Habib Ali ini setiap tahun selalu dipadati ribuan jamaah hingga meluber ke jalan bilamana digelar perayaan Maulid Nabi di bulan Rabiul Awal.

Habib Ali dihormati dan disegani oleh semua kalangan. Beliau tidak berkecimpung dalam politik praktis atau organisasi tertentu. Ia bahkan tidak terlibat dalam struktur organisasi NU meskipun ikut mendorong didirikannya NU cabang Jakarta yang diketuai Guru Marzuki. Tahun 1933 beliau menyatakan dirinya seorang NU di depan 800-an ulama dan 1000-an warga Betawi. Pernyataan ini diikuti pula Habib Salim Jindan.

Habib Ali tidak ingin terlibat dalam politik praktis karena memegang titah gurunya, Habib Utsman bin Yahya (Mufti Betawi) yang meminta dirinya tidak mencantumkan nama dalam struktur organisasi mana pun. Meski demikian, hal itu tidak mengurangi pengaruh beliau dalam perkembangan sosial keagamaan masyarakat Betawi pada jamannya.

Beliau disegani Bung Karno. Bung Karno dengan bangga menyebut dirinya sebagai murid Habib Ali dan seringkali meminta pendapat kepadanya terkait masalah-masalah sosial keagamaan.

**

Jumat pagi, di Bulan Ramadhan, 17 Agustus 1945 sekira pukul 10.00, situasi di Menteng tidak seperti biasanya. Sejumlah pemuda dari berbagai laskar berjaga-jaga, tidak terlalu mencolok memang, tapi juga dapat dirasakan bahwa pada hari itu akan terjadi peristiwa besar dalam sejarah bangsa Indonesia.  Tenang dan waspada, demikian kira-kira gambaran situasi di sekitaran Menteng. Meski bakal terjadi suatu peristiwa besar, Jakarta masih di bawah kendali Jepang.

Tentara Nippon masih ada di mana-mana. Jadi, menjaga kondusivitas wilayah menjadi pilihan terbaik. Bisa saja kelompok pemuda yang menculik Bung Karno ke Rengasdengklok pada dua malam sebelumnya mengerahkan ratusan laskar. Tapi itu tidak dilakukan. Semua berjalan tenang dan kondusif.

Bung Karno dan Bung Hatta lalu berdiri di halaman rumahnya, Jalan Pegangsaan Timur No. 56. Beberapa orang menunggu di halaman.  Lalu didampingi sejumlah orang ia membuka secarik kertas yang pada malam sebelumnya sudah diketik rapih di kediaman Laksamana Maeda.

Kemudian dibacalah naskah bersejarah itu. Suara Bung Karno tidak terlalu keras atau berapi-api, tapi tegas dan kuat. Kalimat proklamasi kemerdekaan Indonesia dibaca dengan jelas, dan khidmat. Sampai pada kalimat terakhir, “Atas nama bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta” Bung Karno tetap menutupnya dengan intonasi yang khidmat. Sekali lagi, khidmat.

Tak ada pekik dan sorak sorai. Tidak ada yel-yel kebebasan. Sekejap pula Bung Karno dan Bung Hatta bersama orang-orang yang mengiringinya menuju tiang bendera. Seorang pemuda dengan langkah tegap maju jalan menuju tiang bendera, mengikat bendera merah putih yang telah dijahit Bu Fatmawati lalu mengereknya hingga tiang tertinggi. Kelak, atas perintah Bung Karno, prosesi ini melahirkan ide pembentukan Paskibraka yang kemudian diejawantahkan oleh Mayor Husein Mutahar, juga seorang habib.

Di hari yang sama, sekira menjelang waktu sholat Jumat di Masjid Kwitang, jamaah sudah berdatangan. Entah, apa mereka sudah tahu atau belum tentang peristiwa bersejarah tadi pagi di Menteng yang jauhnya hanya selemparan batu dari Kwitang.  Sebagaimana adab Sholat Jumat, mereka duduk dalam shaf-shaf menunggu waktu sholat tiba.

Lalu, naiklah ke mimbar Habib Ali. Beliau mengumumkan peristiwa bersejarah tadi padi di depan jamaah Masjid Kwitang, bahwa Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya. Habib Ali meminta jamaahnya memasang bendera merah putih di rumah dan kampungnya masing masing. Habib Ali menegaskan agar apa yang di umumkannya disebarluaskan.

Segera saja kabar ini meluas. Guru Manshur dari Jembatan Lima yang mendengar maklumat dari sang guru langsung membuat bendera Merah putih dan dipasang di atas menara masjidnya. Begitu pun Habib Ali Bungur dan Habib Salim Jindan yang saat itu tinggal di Otista.

Masyarakat bertanya kepada Habib Salim, ”Ya Habib Salim,  ada apa dan kenapa bendera merah putih kau kibarkan di depan rumahmu ?”

Habib Salim menjawab, ”Apa kalian tak dengar kabar bahwa ini negeri telah merdeka, ketahuilah ini negeri telah merdeka dan lambang dari kemerdekaannya adalah bendera merah putih ini, sudah kalian jangan banyak tanya lagi, lekas kalian buat bendera merah dan putih lalu pasang di rumah kalian, kalau ada yang tanya, bilang kalau negeri ini sudah merdeka.“ (YAS)