Hikmah Alawiyah
Image default
Tokoh

Sayyid Abul Hasan An-Nadwi

Permata India yang Disegani

Pada hari Jum’at 23 Ramadhan 1420 H, bertepatan dengan 31 Desember 1999 M, dunia Islam dikejutkan oleh wafatnya tokoh ulama India, Al-Allamah Asy-Syaikh As-Sayyid Abul Hasan Ali Al-Hasani An-Nadwi. Wafatnya ulama ini merupakan musibah yang menimpa dunia Islam. Betapa tidak, ia adalah tokoh ulama dan pemikir yang telah mengharumkan abad kedua puluh ini. Sumbangan dan jasanya di bidang dakwah dan pemikiran Islam sangat besar. Lebih dari setengah abad ia berperan di bidang dakwah, pendidikan, dan pemikiran Islam.

Ia, yang bernama Ali, dan bergelar Abul Hasan, lahir pada tanggal 6 Muharram 1333 H/1914 M di Takia Kala, Rae Berily, Uttar Pradesh, India. Ayahnya adalah Sayyid Abdul Hayy bin Fakhruddin bin Abdul Aliy Al-Hasani. Nasabnya sampai kepada Al-Hasan, putra Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Fathimah binti Rasulullah. Keluarganya yang pertama pindah ke India dari negeri Arab adalah Al-Amir Sayyid Quthbuddin Muhammad Al-Madani (581-677 H). Ia datang ke India melalui Baghdad dan Ghaznah di permulaan abad ketujuh Hijriah.

Tokoh terkenal lain dari keturunan ini adalah Sayyid Fakhruddin bin Abdul Aliy Al-Hasani (wafat 1326 H), kakeknya yang banyak mengarang kitab dalam bahasa Persia. Begitu pula Sayyid Abdul Hayy bin Fakhruddin Al-Hasani (wafat 1314 H), ayahandanya, seorang doktor yang mahir dan pengarang terkenal. Di antara karyanya adalah kitab Nuzhatul Khawathir (delapan jilid besar) yang menyebutkan lebih dari 5.000 riwayat hidup raja-raja dan pembesar India dari permulaan sejarah Islam di India sampai zamannya (abad ke-14 H).

Kakak Sayyid Abul Hasan, Sayyid Abdul Aliy Al-Hasani, sangat menguasai bahasa Arab dan Inggris. Ia pujangga India yang pertama menjadi anggota Majma` Al-Ilmi Al-Lughawi (Pusat Bahasa Arab) di Damaskus, Syiria. Ia juga rektor Nadwatul Ulama yang ketiga setelah ayahandanya wafat. Dialah yang mengurus pendidikan Sayyid Abul Hasan setelah ayah mereka wafat saat Sayyid Abul Hasan baru berusia delapan tahun.

Penelaah Kitab
Sejak kecil Sayyid Abul Hasan sangat gemar membaca dan menelaah kitab. Kitab-kitab karya ayah dan kakaknya menjadi bahan bacaannya selain kitab-kitab ulama lain. Ia juga gemar mengumpulkan kitab. Dalam usia belasan tahun ia telah mempunyai perpustakaan pribadi.

Bukan hanya sang ayah yang memberikan pengaruh positif, melainkan juga ibunya, seorang wanita yang disegani dan pendidik yang memiliki dedikasi tinggi. Ia penghafal Al-Quran dan pengarang syair-syair sejarah Islam dalam bahasa Urdu dan Persia, juga peminat syair-syair yang merangsang semangat jihad.

Bila ditimpa suatu kemalangan atau kesedihan, anggota keluarga ini berkumpul, lalu salah seorang melagukan syair-syair jihad serta kisah-kisah perjuangan Nabi dan para sahabatnya.

Selain belajar di rumah dan di sekolah, Sayyid Abul Hasan juga belajar secara talaqqi (membaca kitab di hadapan guru) kepada Syaikh Khalil bin Muhammad Al-Yamani di bidang bahasa Arab. Karena bakat dan ketekunannya, dalam usia 12 tahun, ia telah mampu bertutur bahasa Arab dengan baik. Di bidang tafsir ia berguru kepada Syaikh Khawwajah Abdul Hayy Al-Faruqi, dan di bidang nahwu (tata bahasa Arab) kepada Syaikh Sayyid Muhammad Thalhah Al-Hasani.

Setelah menyelesaikan pelajaran di Nadwatul Ulama, ia melanjutkan studinya di Lucknow University di bidang bahasa Arab dan menjadi lulusan terbaik. Kemudian ia melanjutkan pelajarannya ke Lahore, pusat ilmu yang terbesar di India ketika itu. Kota ini dikenal dengan ketokohan para ulama dan cerdik pandainya. Lahore juga tempat kediaman penyair Islam yang ulung, Dr. Mohammad Iqbal.

Dalam suatu majelis yang dihadiri Mohammad Iqbal, Sayyid Abul Hasan sempat berkenalan dengannya. Hubungan ini menjadi lebih erat ketika ia menerjemahkan beberapa qashidah Iqbal dari bahasa Urdu ke bahasa Arab. Iqbal menunjukkan kekagumannya atas usaha Syaikh Abul Hasan An-Nadwi ketika itu walaupun dalam usia yang masih muda, baru sekitar 14 tahun.

Setelah setahun di Lahore, ia kembali ke Lucknow, memasuki Daurah Hadits, yaitu kelas khusus yang mempelajari Al-Kutub As-Sittah (kitab-kitab hadits yang enam) dalam satu tahun. Di bidang ini ia berguru kepada Syaikh Haidar Hasan Khan At-Tunki. Setelah itu ia kembali memperdalam bahasa Arab dengan berguru kepada Syaikh Muhammad Taqiyyuddin Al-Hilali yang berasal dari Maghribi. Dialah yang memantapkan bahasa dan sastra Arab Sayyid Abul Hasan sehingga benar-benar menguasainya, yang membuatnya menjadi pujangga Arab yang ulung.

Pada tahun 1931 ia kembali ke Lahore untuk memperdalam ilmu tafsir kepada ahli tafsir paling terkenal saat itu, Syaikh Ahmad Ali Al-Lahori, dan mendapat ijazah darinya. Pada tahun 1932 ia pergi ke Darul Ulum Deoband, pusat pengkajian hadits yang terbesar di India waktu itu, bahkan hingga kini. Di sini ia berguru kepada Syaikh Husain Ahmad Al-Madani (wafat 1377 H), dan secara khusus memperlajari Shahih Al-Bukhari dan Sunan At-Tirmidzi.

Dalam didikan ruhani, Sayyid Abul Hasan berguru kepada Syaikh Abdul Qadir Ar-Raifuri (wafat di Lahore 1962 M/1938 H). Syaikh inilah yang memberikan kepadanya didikan ruhani dan kebersihan batin. Ia juga membai`atnya dalam ilmu Thariqah Naqsyabandiyah Mujaddidiyah Jisytiyah.

Pada tahun 1934, dalam usia 20 tahun, masa belajarnya yang rutin atau resmi telah selesai. Maka mulailah ia membaktikan diri pada pengajaran ilmu tafsir dan sastra Arab di Darul Ulum Nadwatul Ulama. Walaupun masih muda, ia telah dikenal sebagai guru yang pandai mendidik murid dan mempunyai kecakapan dalam mengajar. Para muridnya sangat mudah memahami pelajaran yang ia berikan.

Ilham dari Allah
Kriteria seorang guru ideal memang mudah disebutkan, tetapi tidak mudah merealisasikannya kecuali bila benar-benar mendapat ilham dari Allah SWT. Apabila seseorang telah mendapat ilham, dapatlah ia meletakkan segala sesuatu pada tempatnya. Baik dari segi nada suara ketika mengajar, mengatur pandangan dan perhatian, memberikan contoh-contoh, cara menarik perhatian, mengikatkan hati murid kepadanya, dan sebagainya.

Karena itu, kepada para muridnya, Sayyid Abul Hasan sering mengatakan, “Seorang guru tidak akan dapat menjadi seorang pengajar yang berkesan kecuali bila mendapat ilham dari Allah SWT.”

Selain menjadi guru, ia juga giat dalam penulisan. Berbagai artikelnya dimuat dalam majalah dan surat kabar Timur Tengah. Ia pun menjadi editor An-Nadwah, majalah bulanan berbahasa Arab terbitan Nadwatul Ulama. Darul Ulum Nadwatul Ulama adalah institusi pendidikan Islam di India yang terkenal di seluruh dunia Islam. Lulusannya digelari An-Nadwi. Gelar ini diberikan kepada siapa saja yang telah menamatkan pelajarannya di sini sekurang-kurangnya hingga sarjana muda.

Sayyid Abul Hasan adalah tokoh ulama yang mempunyai pandangan yang jelas dan terbuka di bidang dakwah. Ia telah menggelutinya sejak masa remaja sampai akhir hayat. Suatu pengembaraan yang penjang yang tentu banyak memberikan pengalaman yang dapat dijadikan pelajaran oleh orang lain.

Dalam berdakwah, Sayyid Abul Hasan senantiasa berusaha untuk membangun, bukan meruntuhkan, menyatupadukan, bukan memecah belah. Ia senantiasa menjauhkan diri dari perkataan yang kasar atau yang dapat melukai perasaan orang lain. Ia juga menjauhkan diri dari topik-topik yang menyebabkan perpecahan umat, dan sama sekali tidak mau mempertajam masalah-masalah khilafiyah.

Ia tidak anti Barat dan kemodernan. Hal-hal positif darinya, ia ambil. Tetapi, ia juga sering mengingatkan agar kita tidak terbawa sistem pembelajaran modern yang tidak menyertakan pembinaan ruhani. Ia sering mengutip perkataan Dr. Mohammad Iqbal yang mengkritik pendidikan modern, “Sesungguhnya sistem pendidikan modern sekarang ini tidak mampu mengajarkan mata murid untuk menangis dan tidak mampu pula menanamkan sifat khusyu` ke dalam hatinya.”

Ia juga banyak melakukan perjalanan untuk tujuan dakwah, ziarah, atau mengukuhkan ukhuwwah Islamiyah di kalangan ulama. Pertama kali ia meninggalkan India adalah pada tahun 1947, berangkat ke Makkah untuk menunaikan haji, berziarah ke Madinah, dan berdakwah. Ia pun mendapat kesempatan bertemu para tokoh ulama Makkah. Di antaranya, Sayyid Alwi bin Abbas Al-Maliki, Syaikh Amin Kutbi, Syaikh Sayyid Hasan Al-Masysyath, Syaikh Abdurrazzaq Hamzah, Syaikh Muhammad Al-Arabi At-Tabbani, Syaikh Ali Al-Harakan.

Pada tahun 1950, Syaikh Abul Hasan kembali menunaikan haji. Kali itu persahabatannya dengan para ulama di Makkah dan Madinah lebih meluas. Di antara ulama yang ia temui adalah Syaikh Muhammad Surur As-Subban dan Syaikh Ali Hasan Fad`aq.

Kehangatan Iman
Semasa di Makkah, ia juga beberapa kali diberi kesempatan untuk berbicara di radio siaran Arab Saudi. Di depan corong radio, di antaranya ia mengatakan, “Wahai Semenanjung Arab! Darimulah terpancar cahaya yang menerangi sekalian alam. Di sisimulah terdapat kunci kebahagiaan alam. Wahai Semenanjung Arab! Sebenarnya kami tidak perlu kepada minyak yang engkau hasilkan untuk menjalankan mesin, tetapi yang sangat kami perlukan adalah kehangatan iman yang mampu menghidupkan akal dan hati. Bukankah Allah telah memberimu keistimewaan ini yang tidak diberikan-Nya kepada negeri lain?”

Pada bulan Januari 1951 ia menuju Mesir dari Jeddah. Ini salah satu perjalanan terpenting dalam kehidupannya. Selama kurang lebih enam bulan ia berada di Mesir. Ia sempat bertemu berbagai tokoh di sana. Di antaranya, Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf, Syaikh Mahmud Syaltut, Syaikh Abdurrahman Al-Banna As-Saati (ayahanda Imam Hasan Al-Banna), Syaikh Abdul Wahhab Khallaf, Syaikh Muhammad Fuad Abdul Baqi, Sayyid Quthub, Syaikh Muhibbuddin Al-Khathib, Syaikh Ahmad Asy-Syarbasyi, Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Dr. Sa`id Ramadhan, Dr. Muhammad Husain Haikal, Al-Ustadz Abbas Mahmud Al-Aqqad, Mufti Amin Al-Husaini, Jenderal Saleh Harb Pasha.

Meskipun seorang tokoh terkemuka dan pakar dalam berbagai bidang, Sayyid Abul Hasan tetaplah seorang yang bersahaja. Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi dalam sebuah suratnya kepadanya mengingatkan keadaan tempat tinggalnya ketika mengunjungi Kairo. Ketika itu Al-Qaradhawi masih kuliah di Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar.

Di antaranya Al-Qaradhawi menulis, “Saya senantiasa teringat sebuah bilik sempit yang merupakan tempat tinggal Tuan ketika berada di Kairo dahulu. Sebuah bilik kecil yang ada di sebuah lorong sempit yang menjadi cabang dari Jalan Al-Muski, dekat Al-Azhar. Tuan tinggal di dalam bilik itu bersama sahabat-sahabat yang lain. Kehidupan Tuan penuh dengan kesederhanaan dan kezuhudan. Tuan menolak tawaran kawan-kawan yang meminta Tuan untuk tinggal di hotel yang mewah atau setidaknya cukup baik. Tuan hanya mau hidup sederhana dan tinggal bersama para mahasiswa di rumah-rumah sewa mereka.”

Selain ke negeri-negeri Islam, ia juga berkali-kali mengadakan lawatan ke Eropa dan Amerika. Di antaranya tahun 1977 pergi ke Amerika Serikat dan Kanada atas jemputan Himpunan Mahasiswa Muslim Amerika Serikat dan Kanada.

Ketika berada di Amerika, di antaranya ia mengatakan, “Sesungguhnya negara Amerika mempunyai kemudahan hidup yang serba canggih dan kelihatannya Amerika akan terus membangun ke arah itu. Apa yang disedihkan di negeri ini adalah nasib manusia itu sendiri. Kemanusiaan telah jatuh ke jurang yang dalam. Seandainya tanah Amerika disuburkan dengan agama Islam yang mulia, sudah tentu sejarah dunia akan berubah daripada yang ada sekarang.

Amerika adalah negara bahagia dan pada saat yang sama juga negara yang celaka. Ia dianggap bahagia, karena Allah telah banyak mengaruniakan kepadanya berbagai materi kebendaan yang baik dan kuat, juga bermacam-macam kemudahan yang serba canggih. Tetapi ia juga negara yang celaka, karena jauh dari agama yang benar.

Seandainya saya ditanya, agama apa yang paling sesuai untuk bangsa Barat, sudah tentu jawaban saya adalah Islam….”

Doa untuk Menulis
Sepanjang hidupnya, Sayyid Abul Hasan telah menghasilkan banyak karya yang berbobot. Tulisannya menggambarkan pemikirannya yang jelas dan menunjukkan kedalaman ilmunya di berbagai bidang. Pengamatannya sangat teliti dan topik-topik yang ia pilih sangat tepat untuk dibicarakan serta sesuai dengan masa dan tempatnya. Gaya bahasanya indah dan bercirikan sejarah serta semangat dakwah, disinari cahaya ruhaniah, meresap ke dalam jiwa para pembacanya.

Ia mulai berkarya ketika umurnya baru 16 tahun. Karya pertama yang ia tulis dalam bahasa Arab adalah artikel yang dimuat dalam majalah Al-Manar yang diterbitkan di Mesir oleh Syaikh Sayyid Rasyid Ridha pada tahun 1930. Artikel itu kemudian dicetak dalam bentuk buku kecil. Sejak itu ia terus menulis sampai akhir hayat, baik sendiri maupun dengan bantuan orang lain di saat-saat uzur.

Tujuh puluh tahun dalam alam penulisan adalah masa yang panjang. Dalam masa ini ia telah menulis masalah sejarah, otobiografi, hadits, tafsir, dakwah, pendidikan, sastra, dan tidak ketinggalan pula buku bacaan kanak-kanak. Tetapi ia tidak menulis dalam bahasa Inggris, walaupun ia menguasainya dengan baik. Buku-bukunya yang diterbitkan dalam bahasa Inggris adalah terjemahan dari bahasa Arab atau Urdu.

Sampai akhir hayat, ia telah menghasilkan 60 buku dalam bahasa Arab atau 176 buah jika risalah-risalah kecil dihitung pula. Buku-bukunya telah banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa Barat dan Timur. Rahasia produktivitas dan mutu karyanya, salah satunya, terletak pada doa yang sering dibacanya sebelum mengarang atau membaca kitab:

Allahumma atini bifadhlika afdhala ma tu’ti `ibadakash-shalihin.

(Ya Allah, karuniakanlah kepadaku dengan kemurahan-Mu sebaik-baik apa yang Engkau karuniakan kepada hamba-hamba-Mu yang shalih).

Dalam aktivitas tulis-menulis, pernah terjadi sesuatu yang unik. Yaitu, ketika ia menerjemahkan syair-syair Iqbal dari bahasa Urdu dan Persia ke bahasa Arab dengan judul Rawai`u Iqbal (Untaian Syair-syair Iqbal). Karena ketinggian gaya bahasanya, kitab tersebut diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Urdu dengan judul Nuqusy Iqbal.

Tetapi, karyanya yang paling populer, berpengaruh, dan mencuatkan namanya adalah kitabnya yang berjudul Madza Khasiral-`Alam Binhithathil Muslimin (Apa Derita yang Melanda Dunia bila Umat Islam Mundur), diterbitkan di Mesir tahun 1950. Sebuah karya besar yang mengejutkan dunia Islam saat itu dengan gaya bahasanya yang tinggi dan pemikiran yang jauh ke depan.

Kitab tersebut telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa Barat (Eropa) dan bahasa Timur (Persia, Urdu, Hindi, Melayu, dan lain-lain). Kitab itu pertama diterbitkan di Mesir pada tahun 1950, dan sampai saat ini cetakan edisi Arab yang terakhir sekali adalah cetakan ke-66 (1999), yaitu cetakan Dar Ibnu Katsir, Damaskus, Syria.

Dalam perkembangannya, kitab tersebut mendapat perhatian dan komentar dari para tokoh ketika itu. Di antaranya, Sayyid Quthb, yang mengatakan, “Ia merupakan karya terbaik yang pernah saya temui.” Tokoh lain, Syaikh Muhammad Al-Mubarak, menilai, “Ia merupakan kitab pilihan buat abad ini.”

Simak pula perkataan Dr. Muhammad Yusuf Musa, pengajar Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, “Kitab setebal itu (310 halaman) saya selesaikan membacanya sebelum saya tidur malam. Dan setelah selesai saya membacanya, saya tulis di akhir halaman bahwa kitab itu wajib dibaca oleh setiap orang yang terlibat dalam dakwah dan pemikiran Islam.”

Pujian para tokoh bukan hanya terhadap karyanya, tetapi juga pribadinya. Sayyid Alwi bin Abbas Al-Maliki mengatakan, “Beliau adalah generasi terakhir ulama salaf dan yang sangat diberkahi dari ulama khalaf.” Syaikh Hasan Muhammad Al-Masysyath, tokoh ulama Makkah lainnya, berkata, “Telah sampai kepada kami kitab Tuan, yaitu kitab Millah Ibrahim wa Hadharatul Islam, dan kami telah membacakan isi kitab tersebut di hadapan para penuntut ilmu di Masjid Haram, dan kami mendoakan semoga Allah senantiasa mengaruniakan kebaikan kepada Tuan.”

Shalat Ghaib di Mana-Mana
Setelah lebih setengah abad menggeluti dunianya, pada tengah hari Jum’at tanggal 23 Ramadhan 1420 H/31 Desember 1999 M, Sayyid Abul Hasan An-Nadwi wafat di kediamannya di Kampung Takia Kala, Rae Berily, Provinsi Uttar Pradesh, India. Jenazahnya dikebumikan pada malam harinya selepas shalat Tarawih.

Di tengah hari itu, setelah selesai berwudhu, ia bersiap-siap untuk pergi ke masjid, dan telah mulai membaca surah Al-Kahfi sebagaimana kebiasaannya. Ketika itulah ia kembali ke hadhirat Allah SWT.

Tak lama kemudian, kawasan Zawiyah Syaikh Alamullah Al-Hasan di Takia Kala, Rae Berily, dipenuhi pentakziah. Mereka berdesak-desakan di tengah dahaganya puasa Ramadhan. Namun masing-masing tetap bersabar dan tidak beranjak dari tempatnya hingga tiba saat berbuka puasa.

Selepas shalat Tarawih, jenazah dishalatkan dan dikuburkan di pekuburan keluarganya, As-Sadah Al-Hasaniyyun (para sayyid keturunan Sayyidina Hasan), di belakang masjid kawasan pondok tersebut. Di sana pula dikuburkan kakek, ayah, kakak, dan keluarganya yang lain.

Shalat Ghaib untuk jenazahnya dilakukan di berbagai tempat di India dan di luar India. Di mana saja berita wafatnya didengar, di situ pula dilaksanakan shalat Ghaib, termasuk di Makkah dan Madinah, pada malam 27 Ramadhan. Kita semua tahu, pada malam itu jumlah umat Islam yang membanjiri kedua tanah suci ini lebih dari dua juta orang. Memang shalat Ghaib itu sengaja dilaksanakan pada malam 27, agar bertepatan dengan malam Lailatul Qadar, menurut pendapat Madzhab Hanbali, dan agar lebih banyak orang yang menshalatkannya.

“Selamat jalan, wahai mujahid…. Semoga rahmat Allah SWT bercucuran kepadamu, dan Dia menempatkan-Mu bersama-sama para nabi, wali, dan kekasih-Nya.” Amin.